Peristiwa telah terjadi. Sebetulnya ia hanyalah sebuah titik dalam lautan peristiwa. Mungkin saja peristiwa itu secara riil atau pun dalam anggapan terkait dengan yang lain, hingga ia menjadi bagian dari suatu proses yang menentukan arah perkembangan masyarakat. Agaknya juga peristiwa itu makin dirasakan sebagai sesuatu yang penting, sesuatu yang berarti dalam kesadaran. Karena itu peristiwa itu dilihat dari dimensi makna (dimension of meaning), sebagai sesuatu aset berharga dan tinggi artinya bagi masyarakat.
Inilah yang menimpa peristiwa pada hari Rabu tanggal 20 Mei tahun 1908, ketika sekelompok pemuda yang berstatus mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) atau Sekolah Kedokteran Jawa, bersepakat untuk mendirikan organisasi yang diberi nama Budi Utomo (BU). Sejarah – atau tepatnya kesadaran sejarah kita – rupanya memberikan “nilai” terhadap aktivitas tersebut. Dan, tanggal 20 Mei itu sendiri sekarang disarati oleh simbol-simbol kenasionalan. Begitulah berhadapan dengan sejarah, kadang dapat juga berhadapan dengan simbol-simbol.
Bukan tanpa sebab kemenangan Jepang atas Rusia pada tahun 1905 dianggap sebagai salah satu awal kebangkitan bangsa-bangsa Asia dalam menghadapi kolonialisme Barat. Juga bukan tanpa alasan tatkala Socrates, si filsuf itu, lebih memilih menenggak racun dari pada menyesali ajaran-ajaran filsafatnya, yang dia anggap benar, dijadikan salah satu tonggak terpenting dalam sejarah kemerdekaan berpikir. Demikianlah melekatnya simbol serba luhur pada hari kelahiran BU tidak hanya terjadi karena suatu surat keputusan atau memo belaka.
Refleksi intelektual
Cobalah kita mengenangkan sejenak lingkungan hidup para pendiri BU itu. Mereka adalah anak-anak dari golongan masyarakat yang terpandang. Sebagai anak dari kelompok priyayi, mereka termasuk golongan atas dalam struktur masyarakat kolonial. Suatu kelompok masyarakat yang relatif memperoleh keuntungan di dalam sistem sosial waktu itu. Apalagi kolonialisme Belanda, bukannya menumpas, justru membiarkan feodalisme priyayi yang tentu saja membuat mereka kerasan dan sreg di bawah pertuanan Gubernur Jendral Hindia Belanda.
Hanya anak-anak priyayi-lah yang berkesempatan masuk STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen), suatu hak isitimewa yang hanya segelintir pribumi yang dapat menikmatinya. Sesuai dengan Politik Etis yang saat itu tengah diterapkan pemerintah kolonial memang hanya memberikan hak tersebut kepada kaum priyayi, yang bertujuan – khususnya bagi lulusan STOVIA – untuk dididik sebagai tenaga medis dan birokrat dalam administrasi kolonial. Robert van Niel dalam bukunya The Emergence of The Indonesiaan Elite bahkan menyebutkan, bahwa bagi mahasiswa STOVIA yang drop out pun sebagian besar direkrut ke dalam birokrasi kolonial. Itulah sebetulnya esensi dari Politik Etis, yakni agar sedikit demi sedikit kelompok priyayi dididik supaya mem-Belanda atau meleburkan diri dalam kultur Barat.
Sudah bisa dipastikan bahwa bagi para mahasiswa STOVIA itu telah disediakan masa depan yang bagus, kedudukan yang tinggi, dan mata pencaharian yang lumayan, baik untuk keperluan ekonomi maupun untuk menopang status mereka. Semua serba terang, semua serba beres. Siapakah yang tidak tergiur kalau diberikan diberikan status yang terhormat dan penghasilan yang tidak sedikit?
Tetapi dari sekian mahasiswa STOVIA itu, ada orang-orang yang dalam suasana adem ayem dan tenteram itu, menyempatkan diri untuk melakukan refleksi. Mereka itulah; seperti Sutomo, Cipto Mangunkusumo, Gunawan, dan lain-lain, merenungi; berdiskusi, dan lalu, mempertanyakan masalah di luar diri mereka dan kepentingan sendiri. Mengapa hanya mereka, anak-anak golongan atas, yang dapat mengecap pendidikan? Mengapa yang lain tidak? Padahal, pendidikan adalah kunci kemajuan.
Ini jelas merupakan pertanyaan yang membutuhkan refleksi intelektual yang mendalam. Serta suatu keberanian, sebab bukankah dengan pertanyaan itu juga mempertaruhkan posisi elite mereka yang memiliki hak-hak eksklusif?
Semangat Kerakyatan
Dengan berbekal refleksi tersebut, maka Sutomo cs mendirikan BU untuk mewujudkan suatu evolusi kemajuan yang membebaskan masyarakat dari keterbelakangan dan kemiskinan. Surat edaran I dari BU yang dimuat dalam surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad (BN) tanggal 23 Juli 1908 memuat semangat BU dengan lebih jelas, yang menegaskan: “Sudah sejak lama pelajar-pelajar STOVIA telah membicarakan gagasan bagaimana caranya untuk memperbaikai keadaan rakyat kita terutama rakyat kecil … Kami berpendapat untuk mempropagandakan maksud itu langsung kepada orang-orang muda yang hidup di bawah tekanan yang sama seperti kami sendiri. Tak ada satu pun yang lebih penting dari pada anjuran untuk menunjukkan rasa cinta kepada rakyat di antara orang-orang yang sama berpikirnya seperti kami, di antara teman se perjuangan … Dari mereka itu kami mengharap pengertiannya dan sebagai pemimpin yang akan datang dari rakyatnya, mereka akan berusaha sebaik-baiknya untuk kepentingan negeri dan penduduknya.”
Halus dan moderat, demikian barangkali kesan kita terhadap bahasa yang dipergunakan oleh para pendiri BU itu. Apa lagi jika dibandingkan dengan bahasa Sukarno yang lugas, langsung, tajam, dan bergelora; surat edaran BU tersebut seperti tanpa arti. Namun kita harus mengingat bahwa itu terjadi pada tahun 1908, saat di mana pergerakan baru saja “bangun” dari tidurnya.
Barulah pada Surat Edaran II BU yang termuat dalam surat kabar BN 5 September 1908 menampilkan isi dan semangat yang lebih radikal, yang antara lain menyatakan bahwa: “… cita-cita BU ialah membuat persatuan Bumiputera seumum mungkin dan dengan demikian dapat dicapai suatu Perserikatan Umum di Jawa, yang hanya akan merupakan perintis, dan tugas utamanya adalah akan merencanakan cara-cara yang tepat untuk mencapai sesuatu pekembangan yang serasi bagi penduduk dan negeri Hindia Belanda. Sesungguhnyalah menjadi maksud untuk tidak mengecualikan seorang pun dari kesempatan untuk kemajuan, tetapi dengan sendirinya, pada pertamanya perhatian tetap dipusatkan kepada unsur penduduk Bumiputera. Dari situ kita berusaha untuk membuat peraturan sedemikian rupa sehingga terbentuklan Persaudaraan Nasional, tanpa perbedaan ras, jenis kelamin maupun kepercayaan.”
Radikalisme konsep dan pemikiran di atas harus dinilai dalam konteks historis. Pada saat suatu “bangsa Indonesia” belum lahir, dan secara riil sehari-hari ikatan suku, ras, dan agama masih dipegang oleh masyarakat, dilemparkan suatu gagasan atau setidak-tidaknya konsep awal tentang pembentukan suatu nation, suatu bangsa yang mengatasi kebhinekaan. Disertai suatu kririk tajam terhadap praktek diskriminasi, sekaligus hasrat egalitarian dalam bentuk pemberian kesempatan bagi siapa pun untuk ikut dalam gerak kemajuan. Untuk ukuran zaman kolonialisme tengah tegak berdiri, konsep dan cita-cita BU seperti itu jelas merupakan suatu loncatan pemikiran yang gemilang.
Mahasiswa pendiri BU itu adalah contoh intelektual muda yang berjuang membela kepentingan rakyat. Dengan memprioritaskan “kepada unsur penduduk Bumiputra” adalah suatu kesadaran untuk berjuang demi mereka yang tertindas. Bukankah pada saat itu dalam struktur masyarakat kolonial, pribumi adalah golongan yang serba kurang, tegasnya lagi: pribumi jelata, rakyat awam dan nonpriyayi.
Bagi intelektual-intelektual muda itu, perjuangan kerakyatan adalah alternatif yang tidak bisa ditawar-tawar. Justru dengan kedudukan elite dan kesadaran sebagai intelektual mereka – para pendiri BU – merasa bertanggungjawab untuk mengangkat nasib rakyat ke jenjang kehidupan yang lebih baik.
“The innovator of idea”
Dengan segala keterbatasan yang disandangnya, para pendiri BU menempatkan dirinya sebagai sosok intelektual. Peranan sebagai intelektual menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo, dapat direalisasikan antara lain dengan: 1.Mengidentifikasikan situasi serta permasalahan, 2.Menghadapi berbagai gejala dan permasalahan secara kritis, 3.Menginterpretasikan gejala sosio-kultural untuk memberikan maknanya, 4.Mentransendensikan realitas kekinian dan membuat proyeksi ke depan (Prisma, 1984). Tidak aneh kalau dengan demikian mereka merupakan The innovator of idea atau para pencetus ide-ide.
Para pendiri BU adalah contoh klasik betapa ide-ide intelektual (yang muda usia) dapat mendinamiskan kehidupan sosial-politik. Benar bahwa ide mereka nantinya oleh orang-orang “dewasa” atau kaum lebih tua diperlunak – bahkan mungkin menurut beberapa orang – kemudian dijinakkan ke arah konservatisme. Seperti terbukti beberapa bulan setelah pendirian BU, pada konggresnya yang pertama BU diambil alih oleh para bupati atau priyayi tua, dan mengarahkannya kepada gerakan kebudayaan semata.
Namun begitu, ide tentang perjuangan untuk membebaskan keterbelakangan dan cita-cita nasionalisme, yang akhirnya menjelma ke arah “kebangkitan.” tetap berlanjut. Catatan sejarah membuktikan bahwa benih yang awalnya ditanam pada tahun 1908 memunculkan tunas sampai akhirnya berbuah kemerdekaan nasional di tahun 1945. Sepertinya memang benar ucapan Soedjatmoko “ ide itu sepertinya punya kaki.” Ide itu tidak berhenti di depan meja tulis si pencetus ide karena manusia punya kemampuan untuk menerima, dan juga menyebarkan suatu ide.
Inilah mungkin jasa yang paling relevan dari pendiri BU, sampai kapan pun.
Drs Herry Anggoro Djatmiko adalah Alumnus Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Undip Semarang. Kini berdiam di Batang.
Sumber: WAWASAN, 18 Mei 1991