Bukan Dokumen BIN

Bagikan artikel ini

Dokumen tersebut dipublikasikan 4 bulan sebelum Jokowi dilantik sebagai Presiden pada Oktober 2014. Kalangan media massa di Australia menilai bahwa dokumen tersebut milik BIN yang berisi sasaran operasi intelijen untuk mengeksploitasi figur-figur tersebut dengan tujuan agar mereka tidak mendukung gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan mendukung agenda program pemerintah Indonesia dalam menerapkan program otonomi khusus buat Papua.

Disamping itu, media-media Australia juga menyiarkan kekecewaan dari sejumlah tokoh Papua yang namanya dipublikasikan dalam dokumen yang dikatakan sebagai dokumen milik BIN seperti Marcus Haluk yang tentunya mengkritik pemerintah Indonesia. Dampak nyata dari publikasi dan penyebarluasan dokumen tersebut adalah menimbulkan sikap kemarahan dari beberapa tokoh di Papua yang namanya disebutkan dan mereka mengutuk pemerintah Indonesia. Mereka menilai pemerintah Indonesia telah menyinggung mereka.

Artikel ini berupaya menjelaskan bahwa adanya informasi yang menyebutkan bocornya dokumen BIN dan beredar di media massa Australia adalah sebuah bentuk manipulasi dan merupakan bentuk psychological warfare untuk menjelekkan BIN serta tentunya pemerintah Indonesia. Penulis sangat yakin bahwa psychological warfare ini dilakukan oleh para pendukung OPM di Australia.

Psychological warfare untuk Mendiskreditkan BIN

Disebut sebagai dokumen BIN yang bocor dan beredar diantara media massa di Australian perlu dipahami sebagai bentuk kebohongan atau propaganda dari seseorang yang menulis informasi terkait pemimpin-pemimpin Papua yang dihormati namun dicurigai aktif mendukung OPM. Terkait dengan kejadian ini, jelas hal tersebut bukanlah dokumen BIN, karena informasi-informasi rahasia di era sekarang ini tidak dicetak namun disimpan di komputer atau flash disk. Semua orang intelektual di dunia ini menyimpan informasi rahasianya secara berhati-hati, sehingga yang menulis dan menyebarkan informasi yang disebut-sebut sebagai dokumen BIN jelas-jelas merupakan orang yang bukan intelektual namun avonturir, kutu loncat dll.

Beberapa pejabat BIN menjawab pertanyaan yang disampaikan Harian Sydney Morning Herald menjelaskan bahwa BIN tidak pernah membuat dokumen seperti itu, sehingga dokumen seperti itu pasti dibuat oleh seseorang yang berada di Australia. Kita percaya dengan jawaban dari pejabat BIN tersebut adalah jawaban yang benar, karena dokumen rahasia tidak akan pernah dicetak dan hanya tindakan orang bodoh yang membuatnya dan tentu bukan pegawai BIN.

Disebut sebagai dokumen BIN yang bocor oleh media massa di Australia hanyalah sebuah skenario yang ditulis seseorang atau kelompok tertentu di Australia untuk memprovokasi menciptakan kerusakan terhadap hubungan baik yang selama ini dibangun antara pemerintah Indonesia dengan tokoh-tokoh di Papua termasuk dengan masyarakat Papua.

Tidak ada urgensi bagi BIN untuk membuat dokumen seperti itu, sehingga penulis cenderung mempercayai bahwa apa yang disebut sebagai dokumen BIN yang bocor hanyalah sebuah manipulasi atau tulisan yang dibuat seseorang sebagai bentuk psychological warfare untuk memprovokasi masyarakat Papua agar marah terhadap pemerintah Indonesia. Mengekspos kelemahan dari sejumlah tokoh di Papua jelas telah menyebabkan perasaan tersinggung dari tokoh Papua yang namanya tercantum dalam dokumen tersebut, termasuk masyarakat Papua tentunya, sehingga cara-cara seperti ini tidak akan pernah dilakukan pemerintah Indonesia khususnya BIN.

Informasi yang disebarkan media Fairfax sebenarnya tidak menjelaskan terkait bahasa apa yang digunakan dalam menulis tulisan tersebut dan apa klasifikasi tulisan tersebut serta mengapa hal tersebut beredar di kalangan media massa di Australia. Last but not least, juga tidak jelas bagaimana dan dengan cara apa tulisan tersebut diterima Fairfax Media di Australia. Fairfax Media seharusnya secara bijaksana menjelaskan dari mana mereka mendapatkan informasi yang bocor tersebut, jika benar-benar ada dokumen tersebut. Jika hal ini tidak dilakukan, maka tidak salah jika masyarakat Papua pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya menilai bahwa media massa di Australia yang mengangkatkan isu ini hanya menyebarkan aura permusuhan, sehingga pantas kepada mereka dikategorikan sebagai “the brazen mass media” atau media massa yang kurang ajar.

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com