(Buku) Sejarah dan Kekuasaan

Bagikan artikel ini

Buku adalah barang yang berbahaya. Buku membuat Anda berpikir, merasa, dan bertanya. Buku membuat Anda mengajukan banyak pertanyaan. George Suttle

Belum lama ini Pemerintah Jepang kembali diguncang masalah penulisan sejarah. Pasalnya, pemerintah Negeri Sakura itu memerintahkan para penerbit agar menghapus dari buku mata pelajaran sejarah narasi mengenai paksaan bunuh diri massal oleh tentara pemerintah terhadap penduduk Pulau Okinawa selama Perang Dunia II (Kompas, 5/4/2007).

Padahal, menurut para saksi sejarah, pemaksaan itu memang terjadi dan diakui oleh pemerintah. Namun, beberapa oknum dalam pemerintahan Jepang menghendaki agar bagian itu dihapus. Kritik pun bermunculan, termasuk dari pemenang Nobel, Kensaburo Oe.

Pelarangan

Campur tangan pemerintah dalam penulisan buku tentu bukan baru. Sudah lama pemerintah di sejumlah negara melakukan intervensi atas penulisan buku-buku, khususnya sejarah. Pada abad ke 16, Pemerintah Prancis melarang buku Jerusalem Delivered karya Tasso, yang dinilai bisa membahayakan kekuasaan raja. Tahun 1772 Pemerintah Inggris memberangus buku Thomas Paine, The Rights of Man, dengan pertimbangan Paine mendukung Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika sehingga dapat mengancam kedudukan para penguasa di London.

Sejumlah pemerintahan otoriter seperti di Italia dan Yugoslavia pada tahun 1920-an dan 930-an melarang buku-buku karya Jack London karena dapat mengguncang praktik otoritarianisme. Sementara itu, pemerintahan otoriter Nazi Jerman melarang buku The Iron Heel, yang dikhawatirkan mengganggu kepentingan Hitler dan konco-konconya.

Di tahun 1950-an, senator dari Amerika Joseph McCarty, menentang peredaran buku Civil Disobedience karya Thoreau karena dipandang dapat membuat rakyat bersikap kritis terhadap pemerintah. Tahun 1955 para penguasa apartheid di Afrika Selatan tidak membolehkan publikasi buku Anna Sewell, Black Beauty, meski buku itu hanya bercerita tentang seekor kuda. Pada tahun 2003 pemerintah komunis Kuba memenjarakan 75 warganya, termasuk Pedro Moran dan Pablo Avilla, dengan dalih menyebarkan “gagasan-gagasan subversif” melalui jaringan perpustakaan mereka.

Campur Tangan Pemerintah

Mengapa pemerintah merasa perlu campur tangan dalam penulisan buku-buku, khususnya buku sejarah? Tentu ada bermacam alasan. Dalam kasus Pemerintah Jepang, alasan resmi penguasa adalah penghapusan diperlukan guna mengubah persepsi masyarakat Jepang atas masa lalunya agar lebih percaya diri. Namun, perlu diperhatikan juga, jika narasi dibiarkan, bisa jadi akan timbul kesadaran di kalangan rakyat, di masa lalu ternyata pemerintah tega mengorbankan nyawa demi kepentingan militernya.

Kesadaran semacam itu dapat menimbulkan sikap kritis, yang bisa mempersulit posisi mereka yang sedang berkuasa. Alasan serupa kiranya mewarnai keputusan beberapa pemerintah yang campur tangan dalam penulisan dan penerbitan buku.

Bagi sejumlah orang di Jepang, Inggris, Kuba, atau tempat lain─berkuasa itu menyenangkan dan menguntungkan sehingga harus dipertahankan dengan segala cara, termasuk dengan menghapus atau mengubah catatan sejarah.

Menariknya, dalam hal intervensi atas penulisan dan penerbitan buku, rupanya Pemerintah Indonesia bukan merupakan kekecualian. Sudah lama, sejak Orde Baru naik, para penguasa amat berkepentingan dalam mengawasi penerbitan buku, khususnya buku-buku sejarah, lebih khusus lagi buku-buku yang topiknya terkait legitimasi dan kedudukan para penguasa. Dalam hal ini sejumlah figur dari kalangan penguasa cenderung mendukung versi sejarah yang menguntungkan kekuasaan, serta menentang narasi yang dipandang akan membuat orang mempertanyakan keabsahan kekuasaan mereka atau berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah di masa lalu.

Masalahnya campur tangan itu biasanya terkait kekuasaan daripada dengan masalah kebenaran sejarah, apa pun definisinya. Alasan yang biasa dipakai para penguasa terdengar manis, misalnya, alasan legal, moral, pedagogis, dan atau alasan lain. Namun, yang menjadi alasan pokok sejatinya hasrat berkuasa. Dalam lingkaran kekuasaan, sejumlah orang merasa tak enggan mendukung suatu narasi sejarah tertentu meski itu keliru atau melarang narasi lain meski itu benar. Mengapa? Karena, sekali lagi, bagi para penguasa, urusan utama mereka bukan kebenaran sejarah, tetapi perlunya mempertahankan kekuasaan selagi masih ada di tangan.

Hilangnya Dialog Kritis

Itu sebabnya menanggapi berbagai bentuk pelarangan buku─di mana pun─dengan hanya bertolak dari kurikulum, legalitas, dan lainnya sebenarnya kurang lengkap. Tanggapan akan menjadi lebih memadai jika disertai analisis mendalam terhadap hasrat untuk mempertahankan kekuasaan, di balik pelarangan itu. Perlu dipertanyakan, siapa yang diuntungkan jika narasi sejarah dibelokkan atau dihapus? Siapa yang akan puas jika sebuah buku sejarah dilarang? Jawaban atas pertanyaan itu membawa kita ke alasan sesungguhnya.

Apa pun alasannya, jika praktik-praktik destruktif ini dibiarkan masyarakat akan dirugikan. Lama-kelamaan sejarah bukan lagi wahana “dialog kritis” dengan masa lalu guna mencari bahan pemikiran bagi masa kini dan masa depan, tetapi menjadi soal tarik-ulur ideologis-politis yang digunakan untuk mengabdi kepentingan sesaat penguasa yang kurang bertanggung jawab.

Atas praktik-praktik seperti itu, masyarakat perlu “melawan” dengan menulis sejarah yang sejauh mungkin bebas dari aneka kepentingan politis sempit dan sesaat. Untuk itu perlu dicari cara tepat dan efektif, antara lain dengan menulis sejarah alternatif berdasar sumber-sumber tertulis di luar sumber-sumber resmi pemerintah, atau dengan memberi ruang yang cukup bagi saksi sejarah yang selama ini ditekan suaranya.

Diharapkan buku-buku yang terbit dari upaya demikian bukan buku yang akan membuat orang terus mengamini hasrat politis penguasa. Diharapkan buku-buku yang terbit justru mengajak sebanyak mungkin warga untuk terus berpikir, merasa, dan mengajukan banyak pertanyaan demi terciptanya masyarakat lebih adil, lebih demokratis, dan lebih dihormati hak-hak asasinya.

BASKARA T WARDAYA
Pengajar Sejarah; Direktur Pascasarjana Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Sumber: Kompas, 24 April 2007

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com