Bung Karno dan Perlawanan Indonesia Terhadap Imperialisme

Bagikan artikel ini

Ferdiansyah Ali (Program Manager Global Future Institute)

Pagi itu, Senin 18 April 1955 di Gedung Merdeka, Presiden Pertama RI Ir. Soekarno, berdiri di depan Mimbar Konferensi Asia Afrika. Dengan penampilan yang meyakinkan dan intonasi suara yang gegap gempita berbicara tentang jahatnya kolonialisme …

“Colonialism has also its modern dress, in the form of economic control, intellectual control, actual physical control by a small but alien community within a nation. It is a skilful and determined enemy, and it appears in many guises. Look, the peoples of Asia raised their voices, and the world listened”.

Dan pada penutup pidatonya Bung Karno menyampaikan:
“I hope that it will give evidence of the fact that we, Asian and African leaders, understand that Asia and Africa can prosper only when they are united, and that even the safety of the world at large can not be safeguarded without a united Asia-Africa. I hope that it conference will give guidance to mankind, will point out to mankind the way which it must take to attain safety and peace. I hope that it will give evidence that Asia and Africa have been reborn, that a New Asia and New Africa have been born !” 

Pidato Bung Karno ini berhasil menarik perhatian, mempesona, dan mempengaruhi hadirin, terbukti dengan adanya usul Perdana Menteri India, ketika itu Jawaharlal Nehru, yang didukung oleh ke dua puluh empat peserta konferensi untuk mengirimkan pesan ucapan terimakasih kepada presiden atas pidato pembukaannya.

Pada pidato tersebut tercermin sebuah ketegasan sikap Bung Karno terhadap penentangan kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan terhadap negara-negara Asia dan Afrika. Ketegasan sikap Bung Karno memperjelas posisi Indonesia di mata negara-negara Asia dan Afrika. Indonesia memiliki harkat dan martabat sebagai bangsa penentang ‘kejahatan penjajahan’. Hingga sejarah pun menulisnya dengan ‘tinta emas’ yang terkenang sampai saat ini.

Agresi Negara Koalisi di Libya

Dengan berpegangan kepada mandat Dewan Keamanan melalui Resolusi 1973, seperti bentuk legitimasi negara-negara koalisi untuk melakukan aksi militernya di Libya. Sebuah resolusi yang tujuan awalnya untuk menyelamatkan masyarakat sipil dari kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh penguasa berubah menjadi agresi militer. Mengutip laporan dari beberapa media, serangan tersebut menghantam fasilitas non-militer di kota Tripoli, Tarhuna, Maamura dan Zhmeil. Akibatnya, 48 warga sipil dilaporkan tewas dan 150 lainnya terluka. Serangan itu juga telah merusak sebuah rumah sakit jantung, jalan, dan jembatan.

Agresi militer tersebut semakin terlihat bagaikan penyerangan beberapa negara terhadap negara yang berdaulat. Dan tidak menutup kemungkinan kondisi ini akan berujung seperti yang terjadi di Irak dan Afghanistan. Serangan yang bermaksud untuk meredakan krisis malah justru menjadi pelanggaran terhadap Piagam PBB dan hukum-hukum hubungan internasional.

Disinyalir memang semenjak awal negara-negara koalisi yang dikomandoi oleh Perancis, Inggris dan Amerika mempunyai kepentingan lain. Cadangan minyak adalah alasan utama yang menjadi agenda penyerangan tersebut. Di mana Libya merupakan penyuplai terbesar terhadap sejumlah korporasi energi raksasa semacam Exxon Mobil, Texaco, BP Amoco dan Shell.

Sekadar informasi, Cadangan minyak Libya 44 miliar per barel tiap harinya. Sungguh fantastis mengingat penduduk Libya hanya  sekitar 6 juta. Sedangkan Indonesia saja saat ini cuma 4 miliar per barel padahal penduduk Indonesia saat ini sekitar  230 juta. Ya pantaslah kalau koalisi sekutu sepertinya sangat bernafsu untuk menggempur Libya.

Karenanya sungguh tidak mengagetkan juga ketika muncul pernyataan melegitimasikan adanya opsi militer kala Presiden Obama menyatakan bahwa AS memiliki kebijakan untuk menurunkan Khadafi atau ‘Khadafi need to go’. Yang bertentangan dengan Resolusi 1973 dimana tidak memandatkan agar Moammar Khadafi untuk turun dari kekuasaan. Sebenarnya hal ini sudah dapat dijadikan pegangan untuk menjadikan serangan koalisi dari dapat dibenarkan (sah) menjadi illegal (unjust war).

Posisi Indonesia Dimana?

Setelah agresi meiliter yang dilakukan oleh negara-negara koalisi begitu banyak pengutukan yang disampaikan dari beberapa negara. Dan tentunya, ada juga pernyataan yang mendukung dari beberapa negara yang mempunyai kepentingan terhadap minyak di Libya dan sebagian besar negara-negara yang tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk.

Bisa kita lihat kritikan pedasnya yang disampaikan oleh Beijing dengan menuduh negara-negara pendukung serangan melanggar peraturan internasional dan menghendaki kerusuhan baru di Timur Tengah. Kemudian dari Presiden Paraguay Fernando Lugo yang mengatakan: ”Saya menyesalkan bahwa PBB telah melegitimasi serangan-serangan itu.

Tak kalah galaknya apa yang disampikan oleh Presiden Venezuela Hugo Chavez: ”Imperium Yankee mengambil keputusan untuk menggulingkan Gaddafi dan meraup keuntungan atas pemberontakan yang terjadi di Libya, dan selanjutnya menyedot minyak negara itu.”

Kepala Institut Analisa Politik dan Militer Rusia, Kolonel Anatoly Tsyganok pun mengutuknya dengan menganggap serangan AS, Inggris dan Perancis ke Libya sama dengan invasi mereka ke Irak.

Begitu pula apa yang disampaikan oleh Jurubicara Kementerian Luar Negeri Iran Ramin Mehmanparast dengan mengatakan sebagai kekuatan arogan menduduki negara-negara lain demi kepentingannya dengan dalih mendukung rakyat di negara itu.

Lalu bagaimana dengan sikap Indonesia? Negara yang begitu keras bersikap pada saat pencetusan Konferensi Asia Afrika waktu itu terhadap penentangan kolonialisme dan imperialisme. Negara yang ‘terpandang’ terutama di mata negara-negara Afrika ketika itu. Pada peristiwa ini Indonesia tidak memiliki sikap yang tegas.

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa memberikan pandangannya dalam menyikapi agresi militer tersebut dengan ucapan: “Kita sejak awal memandang perlu masyarakat internasional mengambil langkah untuk menyelamatkan warga sipil yang tidak berdosa. Namun, dalam pelaksanannya dilakukan secara terukur dan tidak menimbulkan masalah baru.”

Sangat normatif dan terkesan berhati-hati. Tidak tampak ucapan yang mewakili sebagai negara penentang keras imperialisme. Seharusnya Pemerintah Indonesia mampu menyuarakan agar serangan negara koalisi segera dihentikan. Jangan sampai pemerintah dianggap tidak sensitif terhadap agresi Barat terhadap negara-negara Afrika atau Timur Tengah. Solidaritas publik Indonesia harus dijadikan acuan pemerintah RI dalam menyikapi situasi di Libya.

Terlebih Indonesia sebagai negara berpenduduk Islam terbesar, negara berkembang, dan saat ini Ketua Asean sebuah organisasi yang memiliki prinsip larangan campur tangan urusan domestik negara lain, harus bersuara untuk mengingatkan negara-negara koalisi agar tunduk pada mandat Dewan Keamanan PBB dalam resolusi 1973.

Hal ini memang bukan merupakan kali pertama yang ditunjukan Indonesia dalam menyikapi tindakan-tindakan neo-imperialisme negara Barat terhadap negara-negara berkembang. Sikap ini juga ditunjukkan pada saat penyerangan yang dilakukan di Irak dan Afghanistan. Bahkan terhadap kondisi yang berkaitan langsung dengan kedaulatan Indonesia sendiri. Hanya sekedar pernyataan yang normatif.

Sebuah PR besar Pemerintahan Indonesia atas kinerja Diplomasi yang dijalankan…

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com