Catatan Kecil Tentang Teori Langit Dalam Praktik UUD 2002

Bagikan artikel ini

Kontemplasi Religi (Geo) Politik

Semenjak UUD NRI 1945 atau “UUD2002″ diberlakukan di republik ini —ini UUD produk amandemen empat kali— banyak ditemui teori (langit) khususnya frasa: ” .. kafir setelah beriman ..” (At – Taubah 66) menjadi marak serta menggejala di publik. Itulah hipokrasi atau kemunafikan alias perilaku pura-pura. Tak sama antara lisan dan perilaku. Mengetahui kebenaran tapi menolaknya.

Hal ini terlihat dari tiga fenomena ekosob (ekonomi, sosial, budaya) di publik yang meliputi:

1. Miskin Mental

Ditandai dengan banyak amanah (kepercayaan) yang dikhianati. “Ini pengkhianatan berjamaah.” Sumpah jabatan cuma formalitas dalam sidang dan ruang pelantikan. Tuhan disebut (dekat) di mulut, tetapi jauh dari qalbu. Gilirannya, jabatan dan kekuasaan bukan digunakan untuk kemaslahatan umat, namun justru dipakai memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Password mereka cuma dua. Pertama, “3-H” alias Halal Haram Hantam. Kedua, “Karaoke”. Keruk sana, keruk sini: OK.

2. Miskin Moral

Hari ini, jarang ditemui lagi tokoh yang berjuang untuk kepentingan rakyat kecil, yang bermunculan justru “toko”. Tempat jual beli dan tawar menawar komoditas. Apapun peluang, isu dan momentum, jika bisa “dilipat”, atau bisa dinegokan, kenapa mesti disia-siakan? Pantas kini bermunculan “tokoh” atau sosok yang mentokohkan diri tanpa berbekal ilmu dan iman. Asal nyablak, kata orang Betawi.

Jika muncul segelintir tokoh berupaya menegakkan kebenaran dan mengulik ketidakadilan, seketika di- bully serta dipersekusi ramai-ramai atas nama stigma dan koor: “itu kelompok pembenci.”

Inilah jiwa-jiwa pragmatisme dan mental transaksional yang kini merebak di publik. Selain hal itu bukti daripada praktik atas teori (langit) di atas —tidak peka pada kebenaran— ini juga akibat operasional UUD NRI 1945 alias UUD2002, UUD produk amandemen (1999-2002) yang karakternya sangat individualis, liberal lagi kapitalistik.

3. Miskin Iman

Hal ini ditandai dengan merebaknya syndrome inferiority complex (red: rasa minder berlebih). Kalau dahulu, pemuda identik dengan gagah perkasa, sehinga Bung Karno mengatakan: “Beri aku 10 pemuda, maka akan kuguncang dunia!” Hari ini, pemuda nyaris tidak ada, yang ada (mental) pemudi. Mbok-mbok’ en. Pemuda kini tidak lagi gagah, tetapi malah “megagah”, apa itu? Minta diperkosa dan dirudapaksa kehormatannya. Mereka rela, bahkan tidak sedikit kaum intelektual serta para tokoh menjadi antek-antek asing demi harta, takhta dan wanita. Dalam bahasa sastra, mereka lebih loyal pada kecurangan asal menguntungkan daripada loyal kepada kebenaran. Inilah gejala tak tahu diri, tak kenal (jati) diri, dan ujungnya tidak punya harga diri.

Pertanyaan gelisah timbul, “Kenapa semua itu terjadi di Bumi Pertiwi?”

Padahal, sesungguhnya dunia membutuhkan (tergantung) Indonesia, bukan Indonesia yang butuh dunia. Ini takdir geopolitik. Kenapa? Selain geoposisi silang di antara dua benua dan dua samudera, lintasan Sealane of Communications (SLOCs) yang tak kunjung sepi, bahwa hampir semua komoditas (water, food and energi etc) ada bahkan berlimpah-ruah di Indonesia.

Kalau pun kini muncul aneka paradoks ketergantungan Indonesia pada faktor eksternal, itulah wajah penjajahan gaya baru secara non militer hasil cipta kondisi asing dan segelintir elit (lokal) pengkhianat akibat tiga kemiskinan yang diurai (miskin mental, miskin moral dan miskin iman) di atas. Ya. Menjual kedaulatan bangsanya demi kepentingan diri dan kelompok.

Sistem yang Buruk Dominan Menyebabkan Perilaku (Buruk) Koruptif

Adakah keterkaitan antara maraknya miskin mental —pengkhianatan terhadap amanah— dengan model one man one vote dalam pemilu yang mengakibatkan politik biaya tinggi?

Tak bisa dipungkiri, pemilu sekarang lebih condong pada popularitas, elektabilitas, dan isi tas daripada mencoblos program dan integritas si kandidat. Yang dicoblos pemilih itu hanya citra, bukan program kandidat. Citra itu realitas semu. Gilirannya politik uang menjadi keniscayaan untuk mempengaruhi pemilih. Sehingga tatkala si kandidat terpilih, di awal-awal tahun, mungkin, digunakan untuk balik modal (break even point), sedang tahun-tahun lainnya dipakai untuk meneguk keuntungan. Inilah salah satu bentuk sistem koruptif yang dibidani UUD2002, selain kegaduhan yang nyaris tak bertepi sebagaimana kita rasakan hari-hari ini.

Oke. Untuk menyingkat kontemplasi ini, pertanyaan selanjutnya dirangkap, “Apa hubungan antara miskin moral —jiwa pragmatis dan mental transaksional— dan miskin iman (minder atau tak percaya diri) dengan operasional UUD2002 yang liberalis lagi kapitalistik?”

Terlalu panjang narasi bila diurai. Menyingkat narasi, bahwa teori “kafir setelah beriman” alias kemunafikan di publik jelas menciptakan jiwa-jiwa khianat. Selain disebabkan gelapnya nurani (qalbu) pada sebagian warga dan elit politik, tidak peka terhadap kebenaran, dan kondisi dimaksud justru terakomodir oleh sistem yang buruk dalam UUD2002.

Bagaimana Solusi Terbaik?

Jenderal TNI (Purn) Try Sutrino, Wapres RI ke-6, pada seminar di Universitas Jayabaya, Jakarta (15/07/25), telah mengingatkan bangsa ini:

” .. ibarat orang berjalan, bangsa ini telah tersesat jauh akibat mengabaikan dan meninggalkan konstitusi warisan Pendiri Bangsa. Muncul beragam propaganda dan agitasi, contoh, adanya framing di publik, bahwa jika kembali ke UUD 1945 asli — identik dengan kembali ke era Orde Baru. Hal itu merupakan cara pandang terbatas dan keliru. SALAH BESAR. Kenapa? Sebab, baik Orde Lama maupun Orde Baru sebenarnya belum melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Banyak manipulatif di sana-sini atas nama program dan situasional. Terlebih lagi pada Orde Reformasi, tak lagi sekadar manipulatif, tapi malah disimpangkan secara brutal melalui sistem bernegara ..”

Nah, sesuai judul bab tadi, bagaimana solusi terbaik atas hal-hal yang telah timbul kerusakan pada bangsa dan negara ini akibat sistem (konstitusi) yang buruk plus perilaku oknum warga dan para elit politik yang juga cenderung buruk?

Catatan ini tidak membahas apa dan siapa penyebab pokok, apakah sistem atau perilaku manusianya? Namun, menyikapi hal tersebut sebagai resonansi. Efek saling getar antara keduanya. Baik sistem buruk yang mampu mempengaruhi perilaku menjadi buruk, ataupun perilaku buruk yang terakomodasi dalam sistem yang buruk pula.

Merujuk wejangan Pak Try di Jayabaya, seyogianya bangsa ini balik lagi ke titik nol kilometer, yaitu kembali pada konstitusi warisan Pendiri Bangsa yang hingga hari ini belum pernah dilaksanakan secara murni dan konsekuen baik oleh Orde Lama, Orde Baru, apalagi pada Orde Reformasi — justru disimpangkan secara brutal.

Kembali ke konstitusi warisan Pendiri Bangsa, bukanlah nggelundung ke UUD 1945 thok, ia melalui teknik adendum serta penyempurnaan guna beradaptasi dengan lingkungan strategis yang berubah, misalnya, hal-hal yang baik dalam UUD2002, tetap dipertahankan, kalau perlu diperkuat, sedang yang kurang pada UUD 1945, disempurnakan. Adil dan bijak. Dan perubahan keduanya, diletak pada adendum — sehingga naskah asli (UUD 1945) tetap orisinil. Utuh.

Barangkali, inilah solusi terbaik agar teori langit yang menggejala di publik berupa miskin mental, miskin moral dan miskin iman di republik ini dapat terkikis oleh karena salah satu objek getar dalam hukum resonansi tereliminasi secara konseptual.

Demikian adanya, demikian sebaiknya.

M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com