Charles Dickens, Kemiskinan Yang Menyalakan Api

Bagikan artikel ini

Sebelum Charles Dickens menjadi salah satu penulis paling dicintai sepanjang sejarah, ia hanyalah seorang anak yang diabaikan di tepi sungai Thames.

Pada usia 12 tahun, dunianya runtuh. Ayahnya ditangkap dan dijebloskan ke penjara debitur. Tanpa uang dan pilihan, Charles dikeluarkan dari sekolah dan dikirim untuk bekerja di pabrik semir sepatu yang kotor—menempelkan label pada pot-pot semir sepatu selama berjam-jam. Pabrik itu dingin, penuh tikus, dan tak kenal ampun. Ia dikelilingi oleh orang dewasa, benar-benar sendirian.

Bagi seorang anak yang penuh imajinasi dan harapan, hal itu sangat menghancurkan. Ia merasa tak terlihat. Dibuang. Dilupakan oleh dunia.

Namun, itu tidak berakhir di sana. Kepedihan itu terukir di hatinya—dan dari situ tumbuhlah berkah yang luar biasa. Itu memberi Dickens empati yang dalam dan membara bagi orang miskin, yang tak bersuara, dan yang hancur. Itu menyalakan api di dalam dirinya untuk tidak pernah melupakan bagaimana rasanya menjadi tak berdaya. Api itu menjadi jiwa tulisannya. Oliver Twist. David Copperfield. Great Expectations.

Semua lahir dari masa kecil yang penuh bayang-bayang. Kisah-kisahnya bukan sekadar hiburan—itu adalah seruan untuk berbelas kasih, keadilan, dan reformasi. Ia mengungkap kekejaman pekerja anak, kemiskinan, dan kesenjangan kelas karena ia mengalaminya sendiri.

Ayahnya akhirnya dibebaskan. Charles kembali ke sekolah. Namun luka-luka itu tetap ada—dan ia mengubahnya menjadi kebijaksanaan yang mengubah dunia. Kehebatan sejati tidak datang dari kemudahan. Itu datang dari kebangkitan, terluka tetapi kuat, dan memilih untuk mengubah penderitaan menjadi sesuatu yang membantu orang lain. Itulah yang dilakukan Charles Dickens.

Daniel Indrakusuma, Penulis Lepas

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com