Bustaman Al Rauf, peneliti di Kajian Nusantara Bersatu, Jakarta
Sekelompok masyarakat merencanakan membentuk kelompok kerja (Pokja) dengan maksud melakukan pengawasan dan pengamatan atas tingkah laku TNI, Polri dan BIN, selama Pemilu, dengan tujuan apabila ada unsur TNI, Polri atau BIN melakukan pelanggaran Pemilu agar masyarakat melaporkan kepada mereka dan kelompok kerja dari kalangan civil society ini akan bertindak atau meresponsnya. Pemrakarsa pembentukan kelompok kerja tersebut adalah antara lain Kontras dan Imparsial.
Gagasan untuk membentuk kelompok kerja atau Pokja ini perlu diwaspadai dan disimpulkan, sebagai aktivitas yang mengada-ada atau sebuah kreasi yang bermanfaat, mengigat TNI, POLRIdan BIN adalah alat-alat negara yang bersama berbagai lembaga yang dibentuk khusus bagi pengamanan Pemilu, yaitu Bawaslu, DKPP, Panwaslu dan parpol peserta Pemilu sendiri bertugas mengamankan jalannya Pemilu.
Menurut pemberitaan kompas.com pada 10 Februari 2014, Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Kontras bersama Imparsial, sejumlah akademisi, politisi muda, dan jurnalis membentuk kelompok kerja (pokja) netralitas TNI, Polri, dan BIN dalam Pemilu 2014 mendatang. Pokja ini dibentuk karena adanya kecurigaan tak netralnya aparat keamanan pada Pemilu 2009 lalu. “(Pemilu 2009) Ada beberapa kasus lokal di mana aparat keamanan berpihak kepada satu pihak atau calon. Kan ada beberapa yang terbukti tertangkap,” kata Direktur Kontras Haris Azhar saat dihubungi Kompas.com, Senin (10/2/2014) siang. Haris menjelaskan, ada tiga hal yang menunjukkan bahwa seorang aparat keamanan tidak netral dalam pemilu. “Pertama, dia secara ucapan atau tindakan mendukung satu calon atau parpol tertentu. Kedua, dia memberikan gesture untuk mendukung sisi ideologi atau partai tertentu. Ketiga, dia membiarkan praktik kecurangan dilakukan,” jelas Haris.
Alasan lainnya dibentuk Pokja ini, lanjut Haris, adanya kekerasan oleh aparat keamanan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun dan mengancam penyelenggaraan pemilu. “Dari pengalaman, profesionalitas aparat keamanan menurun, angka kekerasan Polri tiap tahun justru meningkat,” ujarnya.
Oleh karena itu, kata dia, Kontras membentuk Pokja ini untuk mengawasi netralitas aparat keamanan dalam Pemilu 2014. Jika menemukan indikasi ketidaknetralan aparat, Pokja meminta masyarakat mengirimkan e-mail ke keamananpemilu@gmail.com. “Nanti Kalau memang ada kasus, akan kami tindak lanjuti. Kami akan sampaikan temuan umum kami dan melakukan mekanisme sesuai dengan apa yang dilaporkan,” lanjut Haris. Dengan adanya Pokja ini, Haris berharap Pemilu 2014 menjadi pesta demokrasi yang sukses. Kecurangan oleh aparat keamanan seperti yang terjadi pada 2009 diharapkan tidak terulang lagi. “Kami ingin pesta demokrasi ini benar-benar menjadi pesta. Jangan sampai pesta ini jadi kekacauan. Jangan sampai jadi makin rusuh karena ulah aparat keamanannya,” katanya
Sebelumnya, terinformasi pada 5 Februari 2014 di Sekretariat Kontras, Jakarta, berlangsung deklarasi Kelompok Kerja Netralitas Aktor Keamanan pada Pemilu 2014 oleh Koalisi Masyarakat Sipil, antara lain Kontras, Imparsial, AJI, dan beberapa akademisi. Dalam deklarasi itu, Haris Azhar, Juru Bicara Koalisi yang juga Koordinator Kontras mengatakan, berkaca pada penyelenggaraan Pemilu sebelum 2014, aktor keamanan dinilai tidak netral dalam pelaksanaannya. Pada Pemilu 2009 didapati spanduk dan selebaran untuk mendukung calon dari partai tertentu di kompleks-kompleks militer.
Berdasarkan hal itu, dibentuk Kelompok Kerja (Pokja) Netralitas Aktor Keamanan pada Pemilu 2014 yang salah satu programnya membentuk posko pengaduan ketidaknetralan aktor keamanan di daerah. Pemantauan akan difokuskan pada antara lain, penggunaan fasilitas negara, pembentukan opini, dan pembiaran oleh aktor keamanan. Selain itu, koalisi akan memantau pelanggaran etika seperti pengerahan keluarga maupun ormas yang berafiliasi dengan TNI/Polri. Sedangkan Batara Ibnu Reza (Imparsial) mengatakan, TNI dan Polri seharusnya tidak mempermasalahkan anggaran pengamanan Pemilu.
Dilarang Saja
Menurut catatan penulis, kelompok civil society khususnya Kontras dan Imparsial adalah dua diantara berbagai kelompok lainnya yang paling aktif mengkritisi kinerja dan “kurang bersahabat” dengan aparatur negara khususnya TNI, POLRI dan Intelijen.
Gagasan Kontras dan Imparsial membentuk “kelompok kerja atau Pokja” hanyalah menciptakan sarana untuk bisa memobilisasi massa mengamati, mematai-matai, melaporkan dan menyarankan agar ada unsur TNI, POLRI atau Intelijen yang dituntut ke pengadilan. Gagasan membentuk “Pokja” secara prematur dan sederhana dapat diterjemahkan secara jelas hanya ingin merekayasa tuduhan, fitnah dan mendikreditkan TNI, POLRI atau Intelijen.
Menurut penulis, ada beberapa jenis ancaman Indonesia ke depan yaitu pertama, kelangsungan hidup atau eksistensi serta keutuhan bangsa dan negara oleh invasi militer, ekonomi atau budaya negara asing. Kedua, ancaman infiltrasi atau provokasi militer dan non militer terhadap kepentingan nasional yang secara tidak langsung mengancam kedaulatan. Ketiga, gangguan ketertiban umum yang secara tidak langsung mengancam kepentingan nasional seperti konflik horizontal, teror dan separatisme. Keempat, ketidakstabilan sistem politik. (Adji Suradji, 2013). Pembentukan “pokja” oleh Kontras dan Imparsial cs dapat diterjemahkan sebagai gerakan atau ancaman non militer terhadap kepentingan nasional yang secara tidak langsung mengancam kedaulatan.
Munafrizal Manan dalam “Gerakan Rakyat Melawan Elite (2005)“ menyatakan, selama periode transisi menuju demokrasi, pola hubungan negara masyarakat ditandai oleh ketegangan diantara kedua belah pihak. Namun, masing-masing pihak tidak mampu mendominasi dan menghegemoni pihak lain. Keduanya memiliki daya tangkis dan daya tahan sejajar, karena sama-sama mengalami penguatan dan pelemahan relatif. “Keberanian dan kenekadan” Kontras dan Imparsial untuk “memata-matai” aparat keamanan terkait netralitasnya dalam Pemilu 2014 sedikit banyak terjadi karena situasi di era reformasi sekarang ini seperti yang dikemukakan Munafrizal Manan.
Menurut penulis, tanpa bermaksud menafikan keterlibatan civil society dalam pengawasan dan pemantauan Pemilu 2014, maka gagasan Kontras dan Imparsial hanya mengada-ada ingin memanfaatkan peluang untuk menteror TNI, POLRI dan Intelijen, oleh karenanya sebaiknya dilarang dengan berbagai cara.