Covid-19 dan Kejahatan Geopolitik

Bagikan artikel ini

Tidak seperti krisis-krisis yang terjadi sebelumnya, misalnya Depresi Hebat, Perang Dunia II, peristiwa 9/11, pandemi Covid-19 sepertinya menjadi titik pembeda di antara krisis-krisis terjadi sebelumnya. Betapa tidak. Pandemi Covid-19, membawa teror kepada masyarakat dunia, menyusul tidak pastinya kesejahteraan masa depan, dan mungkin kelangsungan hidup dari spesies manusia. Hingga kini, meski dampak pandemi Covid-19 sudah berangsung menyusut, namun ketidakpastian pandemi yang menghantui ini cukup menakutkan karena berpotensi menjadi bencana besar di lingkup global, selain yang sudah tampak saat ini seperti perubahan iklim, rusaknya keanekaragaman hayati, juga persenjataan nuklir.

Masyarakat dunia sepertinya teroambang ambil dalam gelombang besar pandemi Covid-19. Tidak sedikit pemerintahan di banyak negara gagap dan kelimpungan karena ketidaksiapannya untuk menghadapi gelombang besar tersebut. Bahkan pandemi tersebut sudah menjadi konsensus politik, yang berimplikasi pada kesedihan setiap warga bangsa dan menjelma menjadi darurat nasional. Memang, diakui atau tidak, pandemi Covid-19 di abad ke-21 ini ditandai dengan meningkatnya ketakutan dan kepanikan global yang mengakibatkan adanya disorientasi kepercayaan dan harapan, juga menjadi ladang subur dari bagi ekstremisme politik, pengkambinghitaman, termasuk operasi gelap dan terselubung dari kelompok elite tertentu yang memanfaatkan pandemi ini.

Seolah menjadi tontonan mengerikan dimana banyak rumah sakit tanpa tempat tidur untuk pasien yang sakit kritis dan belum lagi jumlah pasien yang masih banyak ditemukan di kamar jenazah. Maka banyak pemerintah, termasuk Indonesia, berupaya keras mengatasai dampak kematian yang diakibatkan oleh Covid-19. Apalagi, ahli epidemiologi dan pakar kesehatan lainnya memprediksi bahwa pandemi virus akan terjadi di tahun-tahun mendatang. Itu hanya masalah waktu.

Pelajaran paling mendasar dari pandemi sejauh ini adalah bahwa penerapan Prinsip Kehati-hatian harus menjadi kewajiban bagi organ-organ pemerintah dan pejabat politik di setiap tingkat organisasi sosial hingga PBB, dan terutama pada tingkat pemerintahan negara-negara berdaulat. Kesejahteraan, keamanan, dan pertahanan populasi nasional secara luas dianggap sebagai tugas utama para pemimpin politik dalam sistem tatanan dunia yang masih berpusat pada negara.

Hal yang paling penting dilakukan oleh pemerintah di pelbagai penjuru pascapandemi ini adalah tidak hanya merenovasi sistem kesehatan agar dipersiapkan secara memadai, tetapi juga mentransfer pengetahuan dasar tentang cara dan strategi menghadapi ancaman kesehatan global ke ranah kebijakan lain sambil mengakui keragaman risiko, juga jenis kerusakan yang mungkin terjadi. Belum lagi dengan krisis lain yang dihadapi dunia, seperti pemanasan global yang semakin berbahaya di masa depan dan berkurangnya keanekaragaman hayati jika penyebaran gas rumah kaca tidak berkurang secara drastis.

Masyarakat tidak memiliki kemampuan yang sebanding untuk membuat prediksi kepercayaan diri yang tinggi sehubungan dengan potensi munculnya perang nuklir atau bahaya meteor besar yang menghantam bumi. Dengan kata lain, kesetiaan pada Prinsip Kehati-hatian tergantung pada kalibrasi cerdas untuk kekhasan risiko yang berkaitan dengan setiap masalah yang menjadi perhatian, tetapi dengan tekad yang sama untuk menerapkan secara bijaksana pengetahuan antisipatif yang tersedia.

Dalam pengertian mendasar ini, apa yang berlaku untuk Covid-19 juga berlaku untuk perubahan iklim dan keanekaragaman hayati, dan dalam potensi krisis yang lain. Tingkat informasi saat ini menunjukkan bahwa pandemi mengakibatkan jumlah fatalitas yang besar, serta tingkat dislokasi ekonomi dan sosial yang tinggi, namun pandemi diperkirakan mereda, meskipun disertai dengan beberapa risiko baru kambuh. Sehingga memungkinkan semua aktivitas sehari-hari setidaknya bisa kembali normal.

Sebaliknya, begitu pemanasan global melintasi ambang batas yang tidak diketahui atau keanekaragaman hayati menurun melampaui titik tertentu, mungkin tidak ada jalan untuk kembali, keseimbangan ekologis bisa menjadi di luar jangkauan perubahan oleh tindakan manusia atau hanya dapat dicapai dengan penyesuaian ke bawah yang sangat keras atau mahal di standar hidup dan gaya hidup. Ini akan menimbulkan banyak penderitaan manusia dan kerusuhan politik di pelbagai negara, terutama jika proses penyesuaian menguntungkan orang kaya dan berkuasa, dan mengorbankan orang miskin dan rentan, yang tampaknya tak terhindarkan pada titik ini mengingat cara kebijakan dibentuk dan keadaan kehidupan berlangsung secara “terstruktur.”

Pelajaran penting lainnya dari pandemi Covid-19 adalah globalitas tantangan yang berbeda dengan fragmentasi statistik dari struktur respons yang memecah belah. Termasuk pemberlakuakn sanksi yang termotivasi secara geopolitik pada negara yang sebenarnya juga bisa melemahkan kemampuan sosialnya untuk melawan penyebaran Covid-19. Belum lagi dengan persoalan terkait penanganan virus yang secara nyata bisa mengakibatkan penularan dalam jumlah yang lebih besar, dan meningkatkan perpanjangan pandemi serta meningkatkan jumlah infeksi di tempat lain, termasuk sangat mungkin di negara-negara yang terkena sanksi. Sanksi yang saat ini masih diberlakukan kepada negara-negara seperti Iran dan Venezuela sejatinya menciptakan serangkaian hubungan antagonistik antarnegera harus juga dianggap sebagai ‘kejahatan geopolitik’ atau kejahatan terhadap kemanusiaan.

Bahkan presiden AS Donald Trump tidak menyadari argumentasi pragmatis tentang mutualitas dengan masih kekehnya mempertahankan sanksi selama pandemi COVID-19 bahkan mengabaikan argumen normatif kemanusiaan berdasarkan hukum dan moralitas yang melanggar hukum penggunaan kekuatan internasional yang memiliki dampak utama pada populasi sipil.

Sangat membantu untuk mengingat kembali pernyataan terkenal Madeleine Albright, Menteri Luar Negeri AS, ketika ditanya oleh Leslie Stahl dalam wawancara ’60 Minutes’ apakah sekitar 500.000 kematian anak-anak disebabkan oleh sanksi hukuman yang dijatuhkan pada Irak setelah Perang Teluk Pertama lima tahun sebelumnya pada tahun 1991 sebanding dengan mahalnya biaya hidup anak-anak muda yang tidak bersalah. Pertanyaan Stahl kepada Albright, “Kami telah mendengar bahwa setengah juta anak telah meninggal. Maksudku, itu lebih banyak anak daripada yang mati di Hiroshima. Dan, tahukah Anda, apakah harganya sepadan? ” Dan tanggapan Albright yang mengesankan: “Saya pikir itu adalah pilihan yang sangat sulit, tetapi harganya, kami pikir, harganya sepadan.”

Pertanyaan selidik pun muncul. Mengapa sanksi akan dipertahankan jika tidak dianggap berharga dari perspektif geopolitik? Di luar ini, bukti menunjukkan bahwa pemerintah Irak bertindak secara bertanggung jawab, menetapkan pengaturan penjatahan makanan yang melakukan segala upaya untuk melindungi warga sipil Irak dari kelaparan. Trump, dan jurubicara kebijakan luar negerinya, Mike Pompeo tampaknya melangkah lebih jauh dari pernyataan Albright dengan mengintensifkan sanksi selama pandemi, secara aneh mencari untuk mengeksploitasi kerentanan tambahan dari masyarakat yang ditargetkan ini sambil memenuhi tuntutan krisis kesehatan.

Trump yang menentang globalitas dengan cara yang lebih memalukan dengan menyalahkan Cina atas wabah Covid-19, lagi-lagi memilih ketegangan antagonistik daripada menyuarakan solidaritas antarnegara dan kerja sama yang saling menguntungkan. Memang bagi AS, Cina selama ini dianggap sebagai musuh. Mestinya negara-negara berdaulat bisa membangun koordinasi kebijakan dan kolaborasi dengan cara internasionalisme, serta menunjukkan apresiasi konkret dari manfaat praktis dan berprinsip pada penghormatan, empati, keramahan, dan solidaritas kemanusiaan.

Implikasi geopolitik COVID-19 memang sulit untuk diramalkan, terlebih mengenai evolusi masa depan situasi global dari sudut pandang geopolitik. Namun dengan banyaknya informasi dari para pakar atau analis, maka sampailah pada satu kesimpulan bahwa pandemi Covid-19 telah mengguncang perekonomian di banyak negara.

Bahkan setelah gelombang epidemi berlalu, banyak negara di dunia akan mengalami kesulitan untuk mengembalikan ke kondisi normal dan bisa bertahan lebih lama dari yang diperkirakan saat ini. Negara-negara yang dirugikan oleh destabilisasi di hampir setiap lini kehidupan akibat epidemi tersebut merasakan beratnya untuk memulihkan konsisi negara terkait kelangsungan hidup finansial dan ekonominya.

Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com