Covid-19 dan Restrukturisasi Ekonomi, Sosial dan Politik Global

Bagikan artikel ini

Krisis COVID-19 ditandai oleh “darurat” kesehatan masyarakat di bawah naungan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang digunakan sebagai dalih dan pembenaran untuk memicu proses restrukturisasi ekonomi, sosial dan politik di seluruh dunia.

Rekayasa sosial sedang diterapkan. Pemerintah ditekan untuk memperluas lockdown (penguncian), meskipun konsekuensi ekonomi dan sosialnya menghancurkan. Peristiwa semacam ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah dunia.

Betapa banyak ilmuwan juga harus terlibat dalam mendukung penguncian karena dianggap sebagai jalan keluar atau solusi dalam mengatasi darurat kesehatan global.

Pelbagai upaya pun dilakukan dengan mendokumentasikan secara luas, perkiraan penyakit akibat COVID-19 termasuk kematian yang juga dimanipulasi secara luas. Lebih lanjut silahkan baca ulasan penulis Data Covid-19 Meragukan, Kepanikan Meyakinkan.

Pada gilirannya, warga masyarakat pun harus mematuhi aturan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah mereka. Mengapa? Karena mereka takut?

Penutupan ekonomi nasional yang diterapkan di seluruh dunia pasti akan berdampak pada meledaknya kemiskinan, pengangguran massal dan peningkatan angka kematian. Semua ini tidak lain adalah tindakan perang ekonomi.

Tahap Satu: Perang Perdagangan melawan Cina

Pada 30 Januari 2020, Direktur Jenderal WHO menetapkan bahwa wabah COVID-19 merupakan Keadaan Darurat Kesehatan Masyarakat Internasional (PHEIC). Keputusan diambil berdasarkan 150 kasus yang dikonfirmasi di luar Cina, Kasus pertama penularan orang ke orang: 6 kasus di AS, 3 kasus di Kanada, 2 di Inggris.

Direktur Jenderal WHO mendapat dukungan dari Bill and Melinda Gates Foundation, Big Pharma dan World Economic Forum (WEF). Keputusan WHO untuk mendeklarasikan Global Emergency diambil di sela-sela pertemuan World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss (21-24 Januari silam).

Satu hari kemudian (31 Januari) setelah peluncuran Global Emergency WHO, pemerintahan Trump mengumumkan bahwa AS akan menolak masuknya warga negara asing “yang telah melakukan perjalanan di Cina dalam 14 hari terakhir”. Hal ini segera memicu krisis terhadap transportasi udara, perdagangan Cina-AS serta industri pariwisata. Italia pun mengikutinya, membatalkan semua penerbangan ke Cina pada 31 Januari.

Tahap pertama disertai dengan gangguan hubungan perdagangan dengan Cina serta penutupan sebagian sektor manufaktur ekspor.

Sebuah kampanye segera diluncurkan terhadap Cina dan juga etnis Cina. The Economist melaporkan bahwa “Virus corona menyebarkan rasisme terhadap dan di antara etnis Cina.” Komunitas Cina di Inggris menghadapi rasisme karena wabah virus corona.

Menurut SCMP, “Komunitas Cina di luar negeri semakin menghadapi pelecehan rasis dan diskriminasi di tengah wabah virus corona. Beberapa orang etnis Cina yang tinggal di Inggris mengatakan mereka mengalami permusuhan yang meningkat karena virus mematikan yang berasal dari Cina.” Dan fenomena ini juga terjadi di seluruh AS.

Tahap Dua: Krisis Keuangan Dipicu oleh Ketakutan dan Manipulasi Pasar Saham

Krisis keuangan global terjadi pada bulan Februari yang memuncak dengan jatuhnya nilai pasar saham secara dramatis serta penurunan besar dalam nilai minyak mentah. Krisis ini dimanipulasi dan menjadi objek perdagangan orang dalam dan pengetahuan sebelumnya. Kampanye ketakutan memainkan peran utama dalam memporak-porandakan pasar saham. Pada bulan Februari, sekitar $ 6 triliun telah dihapuskan dari nilai pasar saham di seluruh dunia. Kehilangan massif tabungan pribadi telah terjadi belum lagi kegagalan dan kebangkrutan yang dialami oleh banyak perusahaan. Itu adalah bonanza bagi spekulan institusional termasuk dana lindung nilai perusahaan. Keruntuhan keuangan telah menyebabkan transfer kekayaan uang yang cukup besar ke dalam kantong segelintir lembaga keuangan.

Tahap Tiga: Lockdown (Penguncian) dan Penutupan Ekonomi Global

Krisis keuangan pada bulan Februari segera diikuti oleh kebijakan lockdown (penguncian) pada awal Maret. Penguncian dan pengurungan yang didukung oleh rekayasa sosial sangat berperan dalam restrukturisasi ekonomi global. Diterapkan hampir secara bersamaan di sejumlah besar negara, penguncian tersebut telah memicu penutupan ekonomi nasional, belum lagi dengan terjadinya destabilisasi perdagangan, transportasi, dan kegiatan investasi.

Pandemi tersebut merupakan tindakan perang ekonomi melawan kemanusiaan yang telah mengakibatkan kemiskinan global dan pengangguran massal.

Para politisi pun terkesan bungkam karena pada prinsipnya kebijakan penerapan lockdown (penguncian) maupun penutupan ekonomi nasional bukan merupakan solusi bagi krisis kesehatan masyarakat.

Siapa yang Mengontrol Politisi? Mengapa politisi terkesan bungkam?

Mereka tidak lain adalah instrumen politik dari lembaga keuangan termasuk para “dermawan ultra-kaya”. Tugas mereka adalah untuk melaksanakan proyek restrukturisasi ekonomi global yang terdiri dari pembekuan kegiatan ekonomi di seluruh dunia.

Dalam kasus Demokrat di AS, mereka sebagian besar khawatir menentang pembukaan kembali ekonomi AS sebagai bagian dari kampanye pemilu 2020. Penentangan untuk membuka kembali ekonomi nasional dan global ini didukung oleh “Uang Besar”.

Apakah ini oportunisme atau kebodohan. Di semua wilayah utama di dunia, politisi telah dikendalikan oleh kepentingan keuangan yang kuat untuk mempertahankan kebijakan penguncian dan mencegah pembukaan kembali ekonomi nasional.

Kampanye ketakutan dan kepanikan pun menjadi sebuah kemenangan. Bagimana tidak? penjarakan sosial atau penjarakan fisik pun ditegakkan. Ekonomi ditutup. Langkah-langkah semi totaliter diberlakukan. Menurut Dr. Pascal Sacré, “… di beberapa negara, pasien dapat meninggalkan rumah sakit dengan menyetujui untuk mengenakan gelang elektronik. Ini hanya contoh dari semua tindakan totaliter yang direncanakan atau bahkan sudah diputuskan oleh pemerintah kita yang mendukung krisis virus corona. Protokoler yang cenderung dipaksakan ini tidak terbatas dan memengaruhi sebagian besar dunia, jika bukan seluruh dunia.

“Naluri Menggiring” dari Politisi

Apakah pemerintah yang korup bertindak seperti “anjing polisi” dengan “naluri menggiring” memburu domba mereka. Apakah “kawanan” tersebut terlalu takut untuk mengejar “pemerintah” mereka? Analogi ini mungkin sederhana tetapi tetap dianggap relevan oleh para psikolog.

“Sejumlah ras anjing memiliki naluri menggiring yang dapat dikontrol dengan pelatihan dan dorongan [suap]yang tepat. … ajarilah anjing Anda [proxy politik]kepatuhan dasar dan lihat apakah [dia]menampilkan kecenderungan menggiring. … Selalu cari seorang pelatih yang menggunakan metode pelatihan berbasis hadiah [suap, keuntungan pribadi, dukungan politik, aksesi ke jabatan tinggi]”

Tapi ada dimensi lain. Politisi di kantor tinggi yang bertanggung jawab untuk “meyakinkan kawanan mereka” sebenarnya percaya adanya potensi kebohongan atau manipulasi yang dipaksakan kepada mereka oleh otoritas yang lebih tinggi.

Kebohongan menjadi kebenaran. Politisi mendukung konsensus, mereka menegakkan “rekayasa sosial”, mereka percaya pada kebohongan mereka sendiri.

Ini Bukan Epidemi, Ini adalah Operasi

Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo secara diam-diam mengakui dalam pernyataan yang agak kontradiktif bahwa COVID-19 adalah “Latihan Langsung”, sebuah “Operasi”. “Ini bukan tentang retribusi, … Masalah ini akan terus maju – kita sedang dalam latihan langsung…”

Geopolitik

Kita perlu jernih dalam menghubungkan satu narasi dengan narasi yang lain atau satu peristiwa dengan peristiwa yang lain. Sebagaimana yang pernah penulih nyatakan bahwa persebaran COVID-19 adalah semacam sebuah operasi yang direncanakan dengan cermat. Tidak ada yang spontan atau kebetulan. Resesi ekonomi dirancang pada tingkat nasional dan global. Pada gilirannya, krisis ini juga terintegrasi ke dalam perencanaan militer dan intelijen AS-NATO. Semua ini dimaksudkan tidak hanya pada pelemahan Cina, Rusia dan Iran, tetapi juga terhadap upaya destabilisasi struktur ekonomi Uni Eropa (UE). Lebih lanjut lihat juga ulasan penulis, Covid-19 dan Kejahatan Geopolitik.

“Tata Kelola Global”

Tahap baru dalam evolusi kapitalisme global sedang berlangsung. Sistem “Tata Kelola Global” yang dikendalikan oleh kepentingan finansial yang kuat termasuk yayasan korporasi dan lembaga think tank Washington mengawasi pengambilan keputusan di tingkat nasional dan global. Pemerintah nasional menjadi bawahan “Tata Kelola Global”. Konsep Pemerintah Dunia diangkat oleh mendiang David Rockefeller pada Pertemuan Bilderberger, Baden Jerman, Juni 1991, yang menyatakan “Kami berterima kasih kepada Washington Post, The New York Times, Time Magazine dan publikasi besar lainnya yang direkturnya telah menghadiri pertemuan kami dan menghormati janji kebijaksanaan mereka selama hampir 40 tahun. … Mustahil bagi kita untuk mengembangkan rencana kita bagi dunia jika kita menjadi sasaran sorotan publisitas selama tahun-tahun itu. Tetapi, dunia sekarang lebih canggih dan siap untuk berbaris menuju pemerintahan dunia. Kedaulatan supranasional dari elite intelektual dan bankir dunia tentunya lebih disukai daripada penentuan nasib sendiri secara nasional yang dipraktikkan di abad-abad lalu. ” (dikutip oleh Aspen Times, 15 Agustus 2011)

Dalam Memoirsnya David Rockefeller lebih lanjut menyatakan: “Sebagian bahkan percaya kami adalah bagian dari komplotan rahasia yang bekerja melawan kepentingan terbaik Amerika Serikat, mencirikan keluarga saya dan saya sebagai para ‘internasionalis’ dan berkonspirasi dengan yang lain di seluruh dunia untuk membangun struktur politik dan ekonomi global yang lebih terintegrasi, satu dunia jika Anda mau. Jika itu tuduhannya, saya bersalah, dan saya bangga karenanya.”

Skenario Tata Kelola Global memaksakan agenda totaliter melalui rekayasa sosial dan kepatuhan ekonomi. Ini merupakan perpanjangan dari kerangka kebijakan neoliberal yang dikenakan pada negara-negara berkembang dan maju. Hal ini bisa dalam bentuk penghapusan hak menentukan nasib (bangsa) sendiri dan membangun nexus rezim pro-AS di seluruh dunia yang dikendalikan oleh “kedaulatan supranasional” (Pemerintah Dunia) yang terdiri dari lembaga keuangan terkemuka, miliarder dan yayasan filantropi mereka.

‘Melalui deklarasi keadaan darurat, semuanya bisa dikendalikan. Lihat lebih lanjut ‘Rockefeller Blueprint For Police State Triggered By Pandemic Exposed’. Dalam kasus apa pun, melalui media korporasi yang terus-menerus mempromosikan kepanikan, kebanyakan orang lebih memilih untuk ‘mencari selamat’ dengan menerapkan pembatasan yang lebih ketat terhadap kebebasan mereka. Lihat ‘As Trump Eyes Restarting Economy, Nearly 3 in 4 Voters Support National Quarantine’.

“Skenario untuk Masa Depan Teknologi dan Area Pengembangan Internasional” dari Rockefeller Foundation 2010 yang diproduksi bersama dengan Global Business Monitoring Network, GBN) telah menguraikan fitur-fitur Tata Kelola Global dan tindakan yang harus diambil sehubungan dengan Pandemi Dunia. Rockefeller Foundation mengusulkan penggunaan perencanaan skenario sebagai sarana untuk melaksanakan “tata kelola global”.

Laporan ini membayangkan (hal. 18) simulasi skenario Lock Step termasuk jenis virus influenza global: “Lock Step: sebuah dunia kontrol pemerintah dari atas ke bawah yang lebih ketat dan kepemimpinan yang lebih otoriter, dengan inovasi yang terbatas dan meningkatnya tekanan warga pada tahun 2012, pandemi yang telah diantisipasi dunia selama bertahun-tahun akhirnya melanda. Tidak seperti H1N1 2009, jenis influenza baru ini – yang berasal dari angsa liar – sangat ganas dan mematikan. Bahkan negara-negara yang paling siap pandemi dengan cepat kewalahan ketika virus melanda seluruh dunia, yang menginfeksi hampir 20 persen dari populasi global dan membunuh 8 juta hanya dalam tujuh bulan”

Perlu dicatat bahwa simulasi ini dipertimbangkan pada tahun setelah Pandemi flu babi H1N1 2009, yang dinyatakan sebagai upaya yang benar-benar korup di bawah naungan WHO bekerjasama dengan Big Pharma yang mengembangkan program vaksin bernilai miliaran dolar.

“Pemerintah Dunia”

Instruksi dikirimkan ke pemerintah nasional di seluruh dunia. Kampanye ketakutan memainkan peran penting dalam membangun penerimaan dan kepatuhan sosial terhadap “kedaulatan supranasional dari elite intelektual dan bankir”.

Tata kelola global menetapkan konsensus yang kemudian dikenakan pada pemerintah nasional “berdaulat” di seluruh dunia, yang dinyatakan oleh David Rockefeller sebagai “penentuan nasib sendiri secara nasional yang dipraktikkan di abad-abad lalu”. Pada dasarnya, ini adalah bentuk perpanjangan dari “perubahan rezim”.

Banyak politisi dan pejabat harus diyakinkan dan atau disuap agar operasi ini berhasil. Ini adalah bentuk “memutar lengan politik” yang tidak sopan (sambil mengapresiasi kebijakan “jarak fisik” atau “jarak sosial”).

Operasi penutupan ini mempengaruhi jalur produksi dan pasokan barang dan jasa, kegiatan investasi, ekspor dan impor, perdagangan grosir dan eceran, pengeluaran konsumen, penutupan sekolah, perguruan tinggi dan universitas, lembaga penelitian, dan lain-lain.

Pada gilirannya semua ini menyebabkan pengangguran massal, kebangkrutan perusahaan kecil dan menengah, kehancuran daya beli masyarakat, meluasnya kemiskinan dan kelaparan di pelbagai negara.

Padahal, tujuan mendasar dari restrukturisasi ekonomi global berikut konsekuensinya adalah pengondisian konsentrasi terhadap kekayaan secara besar-besaran, destabilisasi terhadap usaha kecil dan menengah di semua bidang utama kegiatan ekonomi termasuk ekonomi jasa, pertanian dan manufaktur, merongrong hak-hak pekerja, mengacaukan pasar tenaga kerja, menekan upah (dan biaya tenaga kerja) di negara maju yang berpenghasilan tinggi serta di negara berkembang yang miskin.

Keputusan untuk menutup ekonomi global dengan tujuan “menyelamatkan nyawa manusia” tidak hanya diterima sebagai sarana untuk memerangi virus, tetapi juga ditopang oleh, terutama disinformasi media-media arus utama dan kampanye akan ketakutan dan kepanikan.

 

Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com