Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September & Kudeta Suharto

Bagikan artikel ini

Mengapa Gerakan 30 September 1965 hingga kini belum berhasil diusut tuntas dalangnya? Karena para sejarawan baik yang memandang PKI sebagai dalang tunggal maupun yang memandang PKI hanya salah satu mata rantai dari konspirator G30S 1965, selalu memulai dari pertanyaan yang salah. Siapa dalang utama, siapa otak utamanya, siapa aktor intelektual atau sutradaranya?

Padahal G30S 1965 adalah buah dari penataan panggung untuk benturan. Jadi bukan hajatan dan tema yang dipagelarkan itu sendiri. Belum sampai di situ sebenarnya.

Lantas, panggung seperti apa yang sebenarnya sedang dipagelarkan? Di sinilah menarik dan pentingnya buku John Rossa. Berbeda dengan para sejarawan sebelumnya, Rossa berhasil secara teliti menelisik dokumen dokumen CIA yang sudah dideklasifikasi.

Misalnya saat Dubes AS Howard Jones masih bertugas di Jakarta, dapat laporan dari seorang informan bahwa pada Januari 1965 ada pertemuan para pemikir Angkatan Darat, kliknya Achmad Yani untuk menyusun rencana khusus mengambil alih pemerintahan saat Sukarno turun panggung.

Lebih lanjut infornan tersebut melaporkan pada Dubes Jones bahwa jika Angkatan Darat memang bermaksud mengambil alih kekuasaan sebelum Sukarno meninggal, “kup akan diselenggarakan sedemikian rupa untuk menjaga agar kepemimpinan Sukarno tetap utuh.”

Dengan demikian John Rossa dalam bukunya bertajuk Pretex for Mass Murder: The September 30th Movement and the Suharto Coup in Indonesia, berani menyimpulkan dari laporan informan itu kepada Dubes Howard Jones bahwa kup yang direncanakan itu akan merupakan kup yang tidak tampak sebagai kup.

Sebab jika kudeta dilancarkan secara frontal model Amerika Latin atau di Mesir dan Thailand, menurut informan itu tak akan berhasil diterapkan di Indonesia. Lantaran Sukarno sangat populer. Ia masih dicintai rakyat. Sehingga menurut informan itu mengingatkan Jones, bahkan para penghujat presiden di Angkatan Darat pun yakin tak akan terjadi kup apapun yang berhasil.

Laporan informan kepada Jones yang kala itu masih dubes di Jakarta, dinilai Jones valid dan bisa dipercaya karena dalam istilah Jones merupakan sumber yang sangat bagus. Artinya, si informan itu sendiri berarti ikut dalam pertemuan Januari 1965. Entah ia itu sipil atau militer. Dan yang lebih penting lagi, laporan ini terdokumentasi dalam berkas CIA yang bisa dibuka lantaran sudah berumur 30 tahun.

Jadi inilah fondasi awal untuk memahami peristiwa 30 September 1965. Umumnya sejarawan yang mengkaji peristiwa ini, titik berat perhatian mulai pada Mei 1965 ketika Sukarno jengkel terhadap para perwira Angkatan Darat menentang haluan politik luar negeri kita yang condong ke blok Timur terutama ke Cina.

Sehingga bung Karno bermaksud menetralisir secara politis perwira-perwira pro Barat tersebut. Dan Agustus 1965 ketika Sukarno tiba-tiba jatuh sakit sehingga memicu Aidit menggagas serangan mendahului Angkatan Darat jika sewaktu-waktu bung Karno wafat.

Padahal bukan tidak mungkin manuver Mei 1965 yang dilakukan Sukarno maupun manuver Aidit Agustus 1965 sebenarnya merespons pertemuan para pemikir Angkatan Darat pada Januari 1965 yang pastinya Bung Karno pun sudah dapat laporan.

Malah saya punya dugaan kuat laporan informan kepada Dubes Jones terkait pertemuan para jenderal Angkatan Darat itu Januari 1965 itu, juga dilaporkan oleh si informan yang sama kepada Sukarno.

Lantaran berfokus pada Mei 1965 dan Agustus1965 maka arah penyelidikan para sejarawan berfokus pada siapa dalang. Padahal G30S 1965 merupakan panggung untuk berperang atau benturan. Jadi masuk akal jika tak ada aktor intelektual atau sutradara.

Apa tujuan strategisnya? Ya itu tadi. Melancarkan kudeta tapi tidak seperti kudeta. Lantas apa yang dimainkan AS atas dasar laporan informan tadi kepada Dubes Jones? Mari simak dokemen CIA lainnya yang sudah dipublikasi namun belum banyak yang mengetahui kecuali berkat kejelian John Rossa yang menurut saya lebih pas jadi penyelidik sejarah.

Laporan Ellswoeth Bunker, deputi menteri luar negeri AS urusan Timur Jauh pada April 1965 patut dicermat karena menganjurkan agar: “AS harus diarahkan untuk menciptakan kondisi yang memberikan elemen-elemen kekuatan yang potensial kondisi kondisi yang paling menguntungkan untuk konfrontasi.”

Sarana saran yang digunakan untuk menciptakan kondisi adalah melalui operasi-operasi rahasia. Hal ini diperkuat adanya dokumen yang mengungkap bahwa pada Maret 1965 sebuah komisi National Security Council telah menyetujui proposal untuk aksi aksi rahasia seperti black letter (surat kaleng) kalau sekarang Hoax atau DFK kali ya.

Maka jadi nyambung ketika dalam laporan Ellsworth Bunker April 1965, sebulan setelah NSC menyetujui proposal mendukung cipta kondisi bentrokan antara militer dan PKI, menganjurkan agar: “Ketertampakan AS harus dikurangi sehingga mereka yang menentang kaum komunis dan ekstremis bisa bebas melancarkan operasi, tanpa kekhawatiran akan diserang sebagai pembela-pembela kaum neokolonialis dan imperialis.”

Dari konstruksi laporan informan kepada Dubes Jones maupun laporan Bunker, bisa disimpulkan bahwa AS sudah memperkirakan G30S 1965 akan terjadi. Hanya saja belum tahu bentuk dan kapan akan terjadinya bentrokan.

Maka untuk menutup bagian ini menarik menyimak pidato Howard Jones pada Maret 1965 untuk konsumsi intern kementerian luar negeri AS:

“PKI mungkin tidak akan melakukan aksi apapun terhadap Sukarno. PKI berada di posisi terlalu baik melalui taktik kerja samanya dengan Sukarno dewasa ini. Kecuali jika pimpinan PKI lebih gegabah dari yang saya pikir tentang mereka, mereka tidak akan memancing angkatan darat melakukan serangan balik yang efektif.”

Entah Jones cuma berhipotesis atau ini semacam rekomendasi terselubung untuk operasi, yang jelas kemudian Aidit, Sjam Kamaruzaman memang akhirnya masuk perangkap lewat G30S 1965. Dan mengubur PKI selamanya.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com