Jenny Suziani, Penulis dan Peneliti Lepas
Tulisan ini merupakan bagian dari hasil penelitian penulis terhadap buruh-buruh yang bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta Utara pada tahun 2005. Bagian tulisan ini menggambarkan dampak globalisasi pada buruh perempuan yang hamil, melahirkan, menyusui dan pada bayi.
Di perusahaan yang diteliti, ditemukan bahwa manajemen yang menjumpai buruh perempuan yang hamil akan ‘dipecat’ secara halus. Caranya adalah ‘merumahkan’ buruh tersebut. Dan apabila buruh sudah melahirkan, boleh melamar kembali dari awal dan dari posisi terendah. Karena dampak globalisasi ini perusahaan tidak mau menanggung segala beban. Dengan demikian, bagi buruh perempuan yang hamil, melahirkan dan menyusui, globalisasi menimbulkan kerugian dari segi finansial karena harus keluar dari pekerjaan dan masuk kembali dengan status baru sebagai buruh kontrak dengan upah yang tetap rendah.
Dengan dipecatnya buruh perempuan yang hamil, dia tidak memiliki penghasilan dan akan membuatnya tetap miskin. Kalaupun dia kembali bekerja sebagai buruh kontrak dengan upah yang rendah, mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi yang diperlukan untuk merawat kesehatan dirinya dan janin yang dikandungnya dan untuk mempersiapkan kelahiran bayinya. Dari wawancara yang dilakukan terhadap narasumber, mereka mengaku tidak memiliki alat pendingin untuk menyimpan ASInya. Di perusahaan pun tidak disediakan fasilitas untuk buruh perempuan yang menyusui bayinya.
Untuk memenuhi segala kebutuhan, buruh perempuan yang hamil dan menyusui bersedia bekerja dengan jam kerja yang panjang dengan kondisi kerja yang tidak memenuhi standar K3 internasional. Akibatnya, mereka melahirkan bayi dengan berat badan yang kurang atau keadaan bayi yang kurang sehat. Dan, akibat bagi buruh perempuan yang menyusui, mereka tidak memiliki waktu untuk menyusui bayinya di rumahnya. Selama bekerja dengan jam kerja yang panjang di pabrik (mereka tidak tahu bahwa mereka memiliki hak menyusui bayi dengan tetap mendapat upah), ASI yang keluar dari payudara banyak dibuang secara percuma di kakus-kakus pabrik atau disumpal dengan lap basah agar tidak banyak keluar membasahi pakaian mereka.
Sementara di rumah, bayi-bayi mereka mengkonsumsi susu formula yang kandungannya sudah dapat dipastikan tidak lebih baik dari ASI, karena mereka tidak memiliki alat pendingin. Dapat diprediksi, bahwa bayi-bayi yang lahir dari mereka akan kehilangan zat besi, kekurangan gizi dan menderita anemia. Jika ini terjadi, akan dihasilkan generasi penerus yang memiliki perkembangan mental dan kecerdasan yang terganggu.
Jika hal itu terjadi pada satu perusahaan, dapat dibayangkan berapa jumlah bayi yang merupakan generasi penerus yang akan kekurangan gizi jika terjadi di semua perusahaan di KBN Marunda, atau di KBN-KBN lain? Berapa jumlah bayi yang kekurangan gizi di Indonesia, jika terjadi juga di perusahaan lain di luar KBN?
Para peneliti University Hospital, Amsterdam melakukan wawancara terhadap sekitar 700 orang berusia 50-an tahun, yang lahir sekitar November 1943 dan Februari 1947, yaitu ketika Amsterdam sedang mengalami masa sulit. Saat itu orang dewasa yang mengkonsumsi kalori di bawah 400 Kkal setiap hari. Padahal jumlah kalori normal untuk orang dewasa, normalnya sekitar 1400 Kkal per-hari.
Dari riset itu ditemukan bahwa 24 orang diantaranya, sekitar tiga persen mengalami jantung koroner. Pada saat dilahirkan, berat lahir mereka cenderung di bawah rata-rata, juga ukuran kepala, dan berat badan ibu yang lebih rendah dibanding mereka yang tidak berpenyakit jantung. Ketika dewasa, mereka juga menderita tekanan darah tinggi, berat badan berlebih, dan berkolesterol tinggi.
Sementara mereka yang dilahirkan dari ibu yang kekurangan makan sepanjang 13 minggu pertama masa kehamilan, risiko terkena penyakit jantung tiga kali lebih tinggi dibanding mereka yang dilahirkan dari ibu yang mendapat cukup gizi. Pengaruh ini tidak ditemukan pada mereka yang dilahirkan dari ibu yang kelaparan sepanjang pertengahan atau akhir masa kehamilan.
Buruh perempuan juga tidak berfikir tentang dampaknya pada kesehatan payudara (kesehatan reproduksi) mereka. Dengan demikian, selain berdampak buruk pada bayi sebagai generasi penerus, globalisasi juga berdampak pada buruknya kesehatan reproduksi buruh perempuan.
Bagi bayi sendiri, kerugian yang paling fatal dan dapat dilihat akibatnya selama 20 tahun-an kemudian adalah kehilangan haknya yang paling azasi, yakni mendapatkan ASI eksklusif selama enam bulan penuh. Atau dengan kata lain, kekejaman globalisasi adalah telah merampas hak bayi mendapatkan ASI eksklusif selama enam bulan penuh, agar anak tetap hidup dan berkembang sebagai manusia, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 6 Konvensi Hak Anak.
Kasus 13 :
Gerber Co. lawan Guatemala
Gerber Food dengan gemilang memaksa WTO untuk menekan Guatemala agar menghapus batasan pada produk makanan bayi. Guatemala sebelumnya menetapkan undang-undang untuk mendukung pemberian ASI dan membatasi penggunaan, juga penyalah-gunaan susu formula bayi, karena terkait dengan tingginya tingkat kematian bayi di negara-negara miskin. Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkann panduan yang berguna bagi konsumen buta huruf. Dalam panduan ini tercantum juga batasan pemakaian adegan atau gambaran pemberian susu botolan pada bayi dalam iklan dan kegiatan pemasaran lainnya.
Setelah undang-undang ini diberlakukan secara efektif pada tahun 1988, seluruh pemasok susu dalam dan luar negeri di Guatemala mengubah cara pengemasan produk mereka. Hasilnya, tingkat kematian bayi turun drastis. PBB berpendapat bahwa Guatemala adalah contoh yang baik dalam hal penerapan aturan bagi penggunaan susu formula bayi.
Akan tetapi, salah satu perusahaan AS, Gerber Food, menolak peraturan baru ini. Perusahaan ini tetap memakai gambar bayi gemuk dan ‘sehat’ di kemasan dan iklan mereka. Pemerintah Guatemala gagal memaksa Gerber untuk mengubah kemasan. Gerber meminta pemerintah AS untuk melaporkan tindakan pemerintah Guatemala ini kepada WTO. Pemerintah AS ternyata tidak harus bersusah-payah memberikan laporan, karena pemerintah Guatemala sudah takut terlebih dahulu pada tindakan WTO. Akhirnya pemerintah Guatemala menyatakan bahwa peraturan tentang citra bayi dalam iklan dan pemasaran tidak berlaku bagi produk Gerber. Dengan demikian, Guatemala dipaksa untuk mengorbankan kesejahteraan bayi-bayinya demi kepentingan korporasi tersebut.
Dikutip dari: Modul Pelatihan “Globalisasi”, Labour Education Centre, 2004.
Kasus 14:
The International Nestle Boycott
Hingga medio tahun 1980-an di dunia termasuk Indonesia, praktis semua kaleng susu formula masih memasang gambar bayi montok, dan menyebut diri sebagai susu yang serupa dan tak kalah dengan ASI. Ini pun masih ditunjang dengan iklan mencolok dan promosi besar-besaran seperti pembagian susu gratis di klinik bersalin, memberi imbalan materi hingga bonus jalan-jalan ke luar negeri kepada bidan dan dokter yang ‘berjasa’ meningkatkan omzet penjualan susu formula. Ada pula yang sampai memakai cara supresi laktasi secara sengaja dengan obat tertentu, dengan promosi agar payudara si ibu tetap indah!
Namun, akibat semua promosi susu formula itu, di negara-negara miskin atau yang sedang berkembang setiap tahun sedikitnya satu juta bayi mati karena diare dan karena kekurangan gizi. Produsen susu formula tentu saja berkelit jika mereka dituding sebagai biang penyebab diare dan kekurangan gizi pada bayi-bayi tadi. Mereka berdalih, diare pada bayi-bayi itu adalah akibat kurang bersihnya air, dot dan botol yang dipakai untuk memberikan cairan susu formula. Susu formula sendiri sebenarnya adalah produk teknologi permrosesan susu sapi yang membuat susu hewan ini menjadi produk yang ‘semirip’ mungkin dengan ASI. Namun, susu formula juga menyandang teknologi pemasaran yang mampu memanipulasi dan memutarbalikkan apa yang sesungguhnya dibutuhkan dan apa yang sekadar diinginkan oleh seseorang.
Akibatnya, penggunaan ASI merosot secara mencolok di sebagian negara Dunia Ketiga. Belum pernah tercatat dalam sejarah manusia ada perubahan tingkah laku yang begitu cepat sampai ASI tergeser oleh susu botol. Melonjaknya kasus diare dan marasmus tidak saja mengejutkan petugas kesehatan, tapi juga membangkitkan kesadaran sosial di negara Barat.
Kampanye menentang cara promosi pabrik susu formula yang tidak etis, mulai berlangsung akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an. Semula diwarnai tanda tanya, mampukah itu melawan jaringan industri raksasa yang begitu rapi organisasinya. Terbitlah buku The Baby Killer tahun 1974 yang berisi pemantauan kelompok konsumen Inggris War on Want amat menghebohkan. Buku yang diterjemahkan ke dalam hampir semua bahasa Eropa Barat itu langsung menggugat nama baik Nestle, pabrik susu formula terbesar di dunia asal Swiss.
Salah satu versi terjemahan buku tadi diterbitkan di Swiss dalam bahasa Jerman. Dengan perubahan judul yang provokatif, Nestle Membunuh Bayi-bayi. Penerbitnya langsung dituntut ke pengadilan oleh Nestle. Lewat proses pengadilan selama dua tahun, 13 orang aktivis konsumen Swiss yang menerbitkan buku terjemahan tadi dinyatakan bersalah, tapi Nestle sendiri memperoleh peringatan keras untuk memperbaiki cara pemasarannya.
Akibatnya, jutaan orang dari puluhan negara bergandengan tangan mengkampanyekan The International Nestle Boycott, yang berlangsung selama enam setengah tahun, sehingga akhirnya perusahaan multinasional itu pada September 1984 memutuskan untuk mengubah citranya. Nestle merupakan perusahaan susu formula pertama yang menghilangkan gambar bayi montok pada kaleng produknya, tiga tahun setelah keluarnya Kode Internasional Pemasaran PASI (Pengganti ASI).
Dikutip dari artikel Irwan Julianto ‘Air Susu Ibu dan Konvensi Hak Anak’ dalam “ASI, Hak Asasi Anak: Untaian Bunga Rampai”. Jakarta, 2002.