Dari Malari Sampai ICKI

Bagikan artikel ini

Sarasehan Imajiner Antargenerasi

Oleh: Christianto Wibisono
(DëTIK, no. 062, Tahun Ke XVIII, 18 – 24 Mei 1994)

Di meja saya terdapat laser CD ROM canggih terbaru dengan sampul bertulis URGENT Pro Bung Christianto Wibisono. Naskah CD ROM pemantauan situasi mutakhir dari Kahyangan. Tanda tangan pengirimnya sangat saya kenal: Proklamator Bung Karno. Segera saya pasang Laser CD ROM dimonitor TV.

Bung Karno tampil di monitor TV:
Bung Christ, katanya banyak surat yang mengecam wawancara dan sarasehan, ada juga himbauan dan ancaman “membreidel” wawancara kita. Kenapa kamu tidak menyampaikan kepada saya, bahwa kamu mendapat “tekanan” untuk mengubah dan menyesuaikan judul. Dan bagi sebagian masyarakat, tanggapan saya yang saya ucapkan kadang-kadang dianggap terlalu “liberal” berbau PSI dan tidak kelihatan semangat PNInya.

(Saya terkejut mendengar ucapan itu. Namun tenaga dalam telepati Bung Karno bisa membaca reaksi saya, Sehingga sebelum saya menjawab, Bung Karno terus berbicara.)

Tidak perlu mendebat. Saya sudah paham akan pro kontra terhadap gagasan wawancara imajiner dan juga materi atau substansi yang kita bicarakan yang semuanya kontroversial, aktual dan bisa menyinggung perasaan orang seperti buku Sumitro yang dibantah Panggabean. Tentu saja Bung Karno yang sudah mawas diri di akhirat berbeda dengan Bung Karno ketika di atas tampuk kekuasaan duniawi, Presiden negara berkembang paling populer dan ditakuti negara maju

Kalau omongan saya masih tetap seperti dulu, buat apa gunanya akhirat, agama, filsafat mawas diri, tebus dosa dan berpikiran kreatif sambil menjunjung tinggi moral etika kenegarawanan dan kemanusiaan. Substansinya memang saya ubah sesuai dengan dinamika zaman, tapi romantika intonasi kata-kata dan kalimat yang saya lontarkan merupakan merek orisinal Bung Karno, penyambung lidah rakyat Indonesia.

Baiklah, kali ini saya undang Ali Murtopo untuk menjelaskan soal Malari yang dihebohkan lewat buku Sumitro. Ali, apa komentar kamu soal Malari?

Ali Murtopo tampil dengan kaca mata hitam Yves Laurent, dan safari abu-abu gelap, menyalami Bung Kamo sambil berucap:
Selamat siang bung Christ. Dengan sejujurnya saya berkata, Malari itu merupakan suatu reaksi kimia politik yang misterius. Malari adalah gado-gado, rujak cingur, rujak sentul dan prasmanan rijstafel dari pelbagai interes yang bercampur aduk dan amburadul jadi satu. Soal saya bersaing dengan Sumitro menurut saya wajar-wajar saja. Kalau Pak Mitro lebih senior dengan bintang empat tidak perlu bersaing dengan saya yang cuma bintang dua, itu haknya.

Memang Ramadi itu orang GUPPI dan binaan saya dengan Pak Jono (Sudjono Humardhani). Namun dalam konteks Malari, pelbagai faktor telah berkomplikasi. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 di mana Mayjen dr Mustopo menjadi penggerak demonstrasi anti parlemen dan author intelectualnya jatuh pada AH Nasution dan TB Simatupang. Maka Ramadi barangkali memang salah seorang penggerak. Tapi kalau tidak ada atmosfir yang panas, tak mungkin api meledak.

Kalau anak buah saya dianggap menjadi pelaku Malari, dan Hariman Siregar seolah korban seperti film In the Name of the Father tentang salah tangkap, salah hukum terhadap orang awam Irlandia atas tuduhan teror bom, maka itu analogi yang agak absurd. Ketika mahasiswa bergerak, sama seperti ketika buruh bergerak di Medan. Mereka semua harus insyaf bahayanya bila massa itu sempat terhasut oleh satu atau dua oknum untuk mengadakan pengerusakan.

Ini harus diwaspadai siapa saja yang merencanakan aksi massa. Jika ingin demonstrasi tidak berdarah dan tidak berkekerasan, disiplin massa harus dipelihara dengan kuat oleh pemimpin masssa. Terbukti waktu 1966. Demonstrasi KAMI walaupun sering terpancing menjadi rasialis untuk merusak dan mencelakakan orang yang tidak berdosa, tapi selalu bisa berlangsung tertib. Paling banter mengempeskan ban mobil, truk, serta kendaraan untuk dimalangmelintangkan dan dimacetkan, tapi tidak ada yang main bakar harta orang lain. Kalau sampai begitu itu namanya rampok. Bukan demonstrasi. Kalau namanya rampok ya jangankan kita negara berkembang, di Washington, New York atau Los Angeles pun tentaranya pasti diizinkan menembak. Syukur kalau punya gas air mata air untuk menghentikan massa, tapi jika situasinya sudah mendesak, secara defensif dan juga untuk menyetop teror, tentara tentu menembak untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.

Bung Karno (BK): Secara jujur, apakah bukan Opsus dan kamu, Ali yang memerintahkan sabotase atau teror dengan tujuan memfitnah mahasiswa sekaligus memojokkan Sumitro sebagai penguasa yang gagal memelihara keamanan?

Ali Murtopo (AM): Begini Bung. Seandainya saya mempunyai rencana melempar batu sembunyi tangan, setelah itu tentu aparat keamanan akan mampu membongkar. Sebab saya kan kemudian digeser dan dikurangi bobot kekuasaan saya seperti Sumitro berhenti dari Pangkopkamtib. Sekarang lewat 20 tahun sudah. Baik Yoga Sugama maupun Sumitro tidak mengungkapkan sesuatu yang baru. Kecuali mengutak-atik Ramadi yang dalam kasus ini juga ternyata hanya salah satu wayang dan bukan dalang

Saya baru saja menginterogasi dia, sebetulnya apa betul dia yang memerintahkan aksi merusak. Ramadi bilang, bicara soal massa, sebetulnya siapa saja wak tu itu bisa digerakkan atau menggerakkan massa yang diambang histeris.

Jadi kalau kelompok saya dituduh membonceng dan menggiring massa pada aksi teror, maka saya ingin bertanya, siapa yang merangsang massa untuk berkumpul dan dicekoki slogan ganyang Haji Tokyo. Maksudnya Pak Jono sebagai repetisi dari aksi 1966 yang menjuluki Subandrio dengan haji Peking.

Saya ingin bertanya siapa yang memojokkan saya dan pak Jono dengan tuduhan antek Jepang, antek cukong dan sebagainya. Jadi seperti saya katakan, politisi Indonesia memang gemar bermain api. Termasuk saya yang berlatar belakang intel memang kadang-kadang terlalu percaya pada diri sendiri menciptakan rekayasa politik yang kemudian keblinger dan akhirnya menjerat diri sendiri.

BK: Li, kenapa kamu tidak minta investigasi menyeluruh kasus Malari waktu masih menjadi Wakabakin di bawah Yoga?

AM: Lho saya kan waktu itu sudah berada di luar “favour Pak Harto” akumulatif gara-gara sebuah majalah memuat silsilah yang menyinggung Pak Harto. Sejak itu, sebetulnya saya sudah tidak termasuk inner circle dan apa yang saya lakukan hanya di pinggiran kekuasaan saja tidak menyentuh inti power. Buat apa saya cari gara-gara mengangkat masalah yang waktu itu masih peka.

BK: Jadi menurutmu Li, Malari adalah kolusi pelbagai faktor dan oknum serta vested interest yang kebetulan bertabrakan dan sekali-kali berganti pacar, mitra dan patron. Misalnya dulu katanya kamu yang mengorbitkan Hariman, tapi setelah itu ternyata dia lebih dekat ke Mitro dan justru meluncurkan demonstrasi anti Aspri. Padahal CSIS berperanan dalam naiknya Hariman ke kursi Dewan Mahasiswa UI waktu itu.

AM: Ah, saya sudah melupakan itu. Sebab sekarang ini Rahman Tolleng, Sjahrir, juga Pak Mitro sudah mondar-mandir ikut pertemuan di CSIS. Rupanya adagium there is no permanent friends or permanent enemies, only permanent interest, sangat afdol dalam dunia politik.

Sekarang nasib CSIS, walaupun tentu tidak dibubarkan, tapi power center sudah bergeser ke Kubu Habibie yang harus diakui merupakan fakta yang tidak bisa diabaikan. Betapapun sedihnya saya melihat lunturnya power CSIS sekarang, semua itu adalah risiko politik.

BK: Sayang, kamu sadar setelah berada di alam baka seperti saya Li. Mestinya waktu kamu masih berkuasa malang melintang itu sudah mawas diri.

AM: Tidak apa-apa. Saya toh senasib dengan Bung. Yang penting pengalaman kita supaya dibaca orang lain dan tidak perlu mereka mengalami nasib seperti kita. Waktu berkuasa lupa daratan, setelah post power dan almarhum baru menyesal. Bagi kita mungkin sudah terlanjur, tapi generasi penerus mudah-mudahan tidak perlu mengulangi kesalahan kita dulu.

(Dengan interactive module, saya masuk dalam dialog. Saya melontarkan pertanyaan: bagaimana pandangan Bung tentang gagasan ICKI yang dilontarkan Alamsyah?

BK: Alamsyah itu kan lazarus politik. Sudah mencapai puncak karier sebagai Mensesneg, digeser Sudharmono, terlempar ke Den Haag pulang masih mengorbit jadi Wakil Ketua DPA dan sempat bikin geger di Kongres HIPIS Menado tapi malah diangkat jadi Menteri Agama.

Dia mengorganisir doa politik dan bergandengan dengan umat Islam. Tapi kalau sekarang ia menjadi bidan ICKI, terlepas dari ambisi politik, jika ia ingin me ngoreksi “Islamisasi Politik Indonesia” dan mengemba likan pada kiblat nasionalisme, tentu itu suatu itikad dan pahala.

AM: Ketika saya sering sakit, salah satu yang saya izinkan menelepon atau membezuk saya adalah Alamsyah. Dia politisi militer tulen. Sehingga tidak menjabat apapun dia bisa bikin manuver seperti doa politik. Untuk itu, terlepas dari setuju atau tidak saya angkat topi buat dia.

Kalau dia sekarang merasa ICMI terlalu primordial dan takut momok seperti ramalan Naisbbit tentang Global Paradox, sehingga perlu membangunkan ICKI syukur alhamdulilah. Siswono batal bikin ICNI dan menuntut semua organisasi harus nasionalis, berwawasan kebangsaan ya idealnya begitu.

BK: Tapi sebenarnya kita harus lebih dewasa yaitu nasionalis tanpa menjadikan diri kita chauvinis dan menolak segala sesuatu yang datang dari luar seperti Jepang waktu restorasi Meiji, belajar menjiplak dan berguru kepada Barat dengan tekad suatu saat akan mengejar dan bahkan mengalahkan guru seperti sekarang terbukti. Itulah semangat kita dan itu juga yang saya rumuskan sebagai Pancasila.

Monitor video disc berhenti. Saya melihat Bung Karno merangkul pundak Ali Murtopo, melambaikan tangan ke arah saya sambil berkata: Bung Christ sampai jumpa lagi minggu depan. Semoga bangsa Indonesia mampu menjadi demokrat atas prakarsa putra-putri Indonesia sendiri, bukan atas dukungan bangsa dan kekuatan asing.■

DëTIK, no. 062, Tahun Ke XVIII, 18 – 24 Mei 1994

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com