M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Sebuah Telaah Geopolitik
Kendati banyak dimensi dan/atau aspek atau isu lain dalam lingkungan strategis seperti HAM misalnya, atau isu LGBT, demokratisasi, freedom, ataupun isu fluktuasi harga minyak dan lainnya, seyogianya titik cermatan terhadap lingkungan (strategis) pada era kini yang mutlak diintensifkan ialah cermatan terhadap dua isu saja, yaitu isu pertama tentang pergeseran geopolitik (geopolitical shift) dari Atlantik ke Asia Pasifik; dan isu kedua soal perubahan power concept (penggunaan kekuatan) dalam geopolitik para adidaya untuk menjalankan ekspansi —meluaskan living space— dimana tak lagi menonjolkan peran militer sebagaimana tempo dulu, tetapi lebih kepada penggunaan power ekonomi.
Pada Abad ke 21 ini, atau di Era Asia Pasifik kini jarang ditemui peperangan secara militer dalam skala besar (interstate) namun cenderung pada perang nirmiliter —asymmetric warfare— yang langsung menukik ke (geo) ekonomi, meski sejatinya peperangan militer pun muaranya adalah geoekonomi yakni penguasaan ekonomi dan pencaplokan sumber daya alam (SDA) pada sebuah negara.
Penyerbuan militer secara terbuka, terakhir dijumpai dalam Abad ke 21 adalah keroyokan militer koalisi (NATO dan ISAF) pimpinan Amerika Serikat (AS) terhadap Afghanistan, Irak, Libya, Syria dan terakhir Yaman (via proxy agents) yang hingga kini masih berlangsung secara masive beragenda “perang antarmazhab dalam agama,” kendati hakikinya tidak demikian. Ya. Tak ada peperangan di dunia karena agama, budaya, etnis dan lain-lain semua disebabkan faktor geoekonomi. Faktor agama, dalam hal ini radikalisme contohnya, atau konflik antarmazhab, dan seterusnya adalah dalih semata. Dalam perspektif geopolitik, isu-isu di atas hanya didudukkan sebagai (geo) strategi negara penjajah (kolonialisme) guna menyusup serta memasuki kedaulatan negara koloni dalam rangka menancapkan hegemoni. Inilah tren atas dinamika geopolitik kontemporer global.
Ketika hari ini, Donald Trump mengumumkan “Trade War” atau Perang Dagang, maka sifatnya cuma menggarisbawahi ataupun menstabilo tren dinamika geopolitik yang tengah berlangsung secara senyap. Kenapa? Karena dinamika tersebut sesungguhnya sedang berlangsung secara terstruktur, sistematis, dan masive. Tanpa letusan peluru.
Sekali lagi, tidak ada perang karena faktor agama melainkan muaranya adalah geoekonomi. Ini clue geopolitik.
Dan agaknya, dinamika geopolitik Abad ke 21 lebih ringkas, short cut, menukik tajam, bahkan tanpa basa-basi. Artinya, guna mencaplok SDA dan menguasai ekonomi negara koloni, para kolonialisme tak perlu lagi mengerahkan kekuatan militer secara terbuka, namun cukup dengan mengirimkan Multi-National Corporations (MNCs) atau kartel-kartel raksasa di bidang pangan dan energi, kemudian mengubah UU negara target agar pro pasar, dan lain-lain guna mengkoloni negara target. Tanpa asap mesiu. Dan kerap kali, power militer hanya sebagai shock and awe (menakuti-nakuti) saja, kendati secara internal di sebuah negara, pembangunan postur militer merupakan keniscayaan.
Menjadi keniscayaan bersama bahwa pada Abad Asia Pasifik ini, peran militer terkesan tersisih dari dinamika geopolitik meski sesungguhnya tidak demikian. Cuma pengurangan atas perannya saja. Kenapa demikian, bila dianalogi dalam sebuah bagan yang terdiri atas input – proses – output – outcome, maka jika dulu inputnya adalah pengerahan militer – prosesnya ialah pendudukan suatu negara – lalu output-nya kolonialisme – sedang outcome-nya adalah merampas gatra ekonomi dan mencaplok SDA negara target, sedang di era kini skema/bagan tersebut berubah. Inputnya kini adalah pengerahan MNCs atau kartel-kartel raksasa – prosesnya mengubah UU dan segala aturan agar pro pasar – output-nya terkuasainya gatra ekonomi dan SDA – maka outcome-nya ialah tertancapnya penjajahan gaya baru di negara target. Tanpa bau asap mesiu, kekayaan suatu negara bisa dibawa lari keluar oleh kepentingan asing karena “sistem”-nya merekomendasi seperti itu. Inilah yang kini terjadi.
Merujuk judul Democratic Policing: “Di antara Geopolitical Shift dan Perubahan Power Concep di Indonesia,” sesuai bahasan di atas, tatkala peran militer mulai dikurangi maka ada ruang-ruang kosong akibat diturunkan tensi militer yang mutlak harus tetap dalam kendali negara cq institusi berwatak sipil namun memiliki struktur seperti militer, ada garis komando dari pusat, provinsi, kota/kabupaten, kecamatan hingga ke desa-desa. Itulah Kepolisian Negara Republik Indonesia atau akronimnya Polri.
Menyikapi perubahan era sebagaimana diurai sekilas di atas, Kapolri menerbitkan Democratic Policing sebagai jawaban atas kontekstasi kondisi tersebut.
Democratic policing selain dianggap model pemolisian yang mampu menyerap aspirasi global terkait perubahan power concept dan geopolitical shift, ia juga dianggap sebagai paradigma pemolisian yang menjunjung tinggi HAM, mendahulukan local wisdom masyarakat berbasis tiga hal pokok yakni ekonomi, sosial dan budaya (ekosob). Kenapa? Sering kali, serangan asimetris asing (kolonialisme gaya baru) terhadap sebuah negara justru menumpang pada bidang ekosob dengan mengatasnamakan freedom, globalisasi, dan lain-lain.
Menurut Bung Karno (BK), geopolitik adalah sejarah, budaya dan filosofi. Itu unsur utama geopolitik versi BK. Dan tak boleh dipungkiri siapapun, sejarah Polri selain sebagai sosok profesional dan dipercaya oleh rakyat, ia juga sosok pejuang pembela tanah air. Peristiwa 10 Nopember 1945 adalah bukti sejarah. Siapa motor pergerakan berbagai elemen bangsa terutama kaum ulama tatkala melawan Belanda yang menumpang sekutu hendak kembali menjajah; siapa yang membagi-bagi senjata kepada rakyat kala itu? Polri! Yang saat itu disebut Polisi Istimewa —embrionya Brimob— di bawah pimpinan Pak Yasin. Dan pemenang Perang Dunia II pun harus menanggung malu atas heroiknya perlawanan arek-arek Suroboyo. Tanpa bermaksud menggurui siapapun terutama pihak yang kompeten, bahwa democratic policing yang kini dilaunching sebagai paradigma baru di Indonesia, selain hal-hal yang telah disampaikan di atas, ia juga model pemolisian yang berpihak kepada masyarakat, dekat dengan ulama, berorientasi kepada Kepentingan Nasional RI terutama aspek ekonomi, sosial dan budaya (ekosob), juga berbasis jiwa juang yang tak mundur selangkah pun dalam membela tanah air.
Demikianlah adanya, demikian sebaiknya.