Catatan Pendek Geopolitik
Antara kekuasaan (politik) dan aspek ekonomi —dalam perspektif (geo) politik— selain berbanding lurus, keduanya juga saling terhubung dan ada (jalinan) timbal balik. Inilah asumsi sekaligus prolog pada catatan pendek ini.
Poin narasinya begini: “Hancurnya suatu kekuasaan (politik), akan berdampak pada pelemahan atau keruntuhan rezim ekonomi; demikian pula kehancuran rezim ekonomi akan berimplikasi (negatif) pada kinerja pemerintah, atau dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap rezim penguasa”. Bahkan konon, kondisi tersebut mampu meruntuhkan kekuasaan. Jatuhnya Pak Harto dahulu, misalnya, bermula dari krisis moneter, gejolak sosial dan kentalnya public distrust (ketidakpercayaan) kepada rezim orde baru. Ini sekedar contoh sekilas.
Nah, fenomena yang kerap muncul tatkala ekonomi cenderung turun (apalagi sampai kontraksi ekonomi alias minus), biasanya ada berbagai kegaduhan isu di publik yang sifatnya tak signifikan, residu, ecek-ecek atau sektoral. Bagaimana narasinya? Isu tersebut, selain tak menyentuh ke masalah utama bangsa kenapa ekonomi sampai minus atau kontraksi, konten isunya juga (hanya) hal-hal yang bersifat hilir, imajiner atau by design. Imajiner itu maksudnya isu ‘diada-adakan’ (direkayasa) oleh elit kekuasaan demi untuk menutupi kegagalan berbagai sub-rezim yang muaranya kontraksi, serta mengalihkan perhatian publik agar tidak fokus menyoroti hulu persoalan bangsa yang lagi bermasalah. Dalam dunia politik, pola ini dinamai: “demonologi (politik)”.
Ya, inti narasi demonologi politik secara terminologi ialah perekayasaan sistem untuk menempatkan “sesuatu” agar dipandang sebagai ancaman (Aspiannor Masrie, Demonologi Islam Politik, 2013). Hal itu diperkuat oleh Noam Chomsky dalam buku “Pirates and Emperor: International Terrorism in The Real World“. Ia mengartikan demonologi sebagai perekayasaan sistematis untuk menempatkan Islam sebagai ancaman yang sangat menakutkan. Oleh karena itu secara politik, Islam harus dimusuhi, dijauhi bahkan jika perlu dibasmi karena akan mengganggu sistem politik (demokrasi).
Talcott Parsons menyebut pola tersebut sebagai teori pengalihan isu, dimana elit politik dan/atau kekuasaan sengaja mengalihkan isu strategis dengan membuat isu-isu sektoral, sehingga publik bertumpu hanya pada isu sektoral.
Sejalan dengan adagium (politik): “setiap tujuan niscaya membawa korban,” bahwa entitas yang kelak dijadikan korban dari praktik (objek) demonologi dan/atau objek pengalihan isu di atas kerap disebut dengan istilah: “tumbal politik”.
Sesuai judul catatan pendek ini, sudah bisa disimpulkan meski prematur, bahwa ada korelasi secara langsung antara aspek politik dan ekonomi sebagaimana asumsi dalam prolog catatan. Dan boleh dipastikan juga, akan ada korban/tumbal politik sebagai konsekuensi praktik demonologi oleh elit politik atau rezim kekuasaan pada masanya.
Inilah catatan pendek geopolitik. Belum merupakan kebenaran, memang, dan tak ada niat membenarkan diri. Masih diperlukan kritik untuk perbaikan catatan. Dan narasi ini, boleh dianalogi pada beberapa peristiwa baik di level global, regional maupun lokal guna mempertebal asumsi.
Terima kasih
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments