Di Balik Aksi Spionase Cyberspace NSA: Masih Kuatnya Ambisi Global AS-Inggris Sebagai Kekuatan Unipolar

Bagikan artikel ini

Segi lain dari sepak-terjang badan intelijen AS yang bernama National Security Agency (NSA) di bidang cyberspace ternyata tidak hanya sebatas memata-matai negara-negara yang dipandang sebagai musuh potensial atau pesaing seperti Republik Rakyat Tiongkok dan Rusia. Dokumen Edward Snowden yang dibocorkan pada 2013 lalu menyingkap operasi spionase NSA memata-matai secara intensif salah satu negara sekutu andalan AS pasca Perang Dingin, Jerman dan Prancis.

NSA menyadap telepon milik Kanselir Jerman Angela Markel. Fakta menarik tentang Markel, politisi terkuat di Eropa selama 16 tahun terakhir ini, tumbuh di lingkungan Republik Demokratik Jerman yang saat Perang Dingin merupakan Jerman Timur dan berkiblat ke komunisme dan Uni Soviet.

Terungkapnya dokumen Snowden mengirim sebuah pesan tersirat yang cukup penting dalam membaca konstelasi global saat ini. Pada satu sisi, gencarnya penyadapan NSA terhadap Cina dan Rusia memang merupakan hal yang patut dimaklumi mengingat posisi kedua negara tersebut sebagai lawan ideologis maupun pesaing antar sesame negara adikuasa. Namun fakta lain dari bocoran Snowden tersebut mengungkap bahwa NSA ternyata juga menyadap kedutaan negara sahabat yang jumlahnya, menurut file bocoran Snowden pada September 2010, mencapai 38.

Adapun targetnya juga termasuk misi Uni Eropa dan Prancis, Italia serta kedutaan Yunani. Juga Jepang, Meksiko, Korea Selatan, dan Turki, tak luput dari sasaran operasi mata-mata NSA. Bagaimana cara NSA mendayagunakan cyberspace sebagai mesin mata-mata? Program DROPMIRE, NSA memasang penyadap di dalam mesin faks kantor Uni Eropa di Washington. Badan intilejen AS itu juga mengincar gedung Justus Lipsius Uni Eropa di Brussels, di mana para pemimpin dan menteri Eropa kerap mengadakan pertemuan.

(Baca Luke Harding, The Snowden Files, Kisah Pembocoran Dokumen Paling Rahasia Sepanjang Sejarah.  Jakarta: Gagas Bisnis, 2015). 

Yang lebih mengherankan lagi, Jerman dan Prancis yang notabene merupakan sekutu strategis AS dan sesame anggota pakta pertahanan atlantik utara (NATO), ternyata melalui dokumen Snowden AS memandang kedua negara Eropa Barat tersebut sebagai fair game. Artinya, meskipun sekutu dekat, kedua negara tersebut tidak termasuk Five Eyes, klub negara-negara yang berbahasa Inggris seperti Australia, Selandia Baru dan Inggris.

Bahkan menurut catatan NSA, Prancis dan Jerman dipandang sebagai mitra asing ketiga. Bahkan Jerman berada di level teratas dalam daftar negara yang dimata-matai oleh AS, sama seperti Cina, Irak, dan Arab Saudi.

Dalam kasus Jerman, NSA rupanya telah menyadap telepon Market sejak 2002, pada periode pertama kepresidenan George W. Bush. NSA menyadap telepon pribadinya yang sering dipakai setiap hari dalam kedudukannya sebagai ketua partai Demokrat Kristen (CDU). Aktivitas tersebut berlanjut hingga beberapa minggu sebelum lawatan Obama ke Berlin pada Juni 2013 lalu.

Prancis juga menjadi obyek penyadapan NSA. Melalui harian terkemuka Prancis Le Monde, koran itu mengungkapkan bahwa AS telah memata-matai Prancis dalam skala besar. Selama 30 hari, yaitu antara 10 Desember 2012 sampai 8 Januari 2013, NSA telah mencuri data 70,3 juta panggilan telepon di Prancis. Masih menurut koran itu, NSA melakukan penyadapan hingga 3 juta data per hari di Prancis, 7 juta pada 24 Desember 2012 dan 7Januari 2013.

Edward Snowden.  (AP Photo)

Meskipun terkesan fokus dari bocoran dokumen Snowden itu adalah menyadap para pemimpin dunia, namun terungkap juga upaya diam-diam NSA menyasar badan usaha milik negara (BUMN) perminyakan Brazil, Petrobras. Petrobras merupakan salah satu dari 30 bisnis terbesar di dunia. Dengan saham yang sebagian besar milik negara, perusahaan itu menjadi mesin pendapatan terbesar pemerintah Brazil. Petrobras menggarap lapangan minyak baru secara besar-besaran di Samudra Atlantik.

Berdasarkan file bocoran Snowden yang kemudian diserahkan kepada program berita Brazil Fantastico, menunjukkan bahwa NSA berusaha menerobos jaringan virtual milik Petrobras. Dalam melakukan aktivitasnya, NSA menggunakan program rahasia bersandi BLACKPEARL.

Seturut dengan bocoran dokumen Snowden, dokumen lain milik badan intelijen Inggris Government Communication Headquarters (GCHQ) yang merupakan sekutu strategis NSA, melalui file berjudul “network exploitation” mengungkapkan bahwa AS dan Inggris secara rutin membidik jaringan privat milik perusahaan energi, organisasi keuangan, perusahaan penerbangan, dan pemerintah asing.

Intel Amerika Serikat dan Inggris meretas jaringan komputer angkatan udara Israel dan berhasil menyadap komunikasi serta persenjataan rahasia negara tersebut.

Hal ini menyingkap hal terburuk di balik operasi mata-mata NSA tersebut. Bahwa hal ini merupakan bukti nyata aksi spionase industri AS. Padahal selama ini pemerintah AS selalu mengecam keras spionase ekonomi dan industri yang dilakukan Cina maupun Rusia. Ternyata skala operasi spionase AS melalui cyber jauh lebih besar skala aktivitasnya. Aktivitas pengumpulan data Informasi lintas negara, yang tentunya berskala global.

Maka masuk akal ketika Presiden Brazil kala itu, Dilma Rousseff, menggambarka aksi spionase NSA tersebut bukan saja merusak hubungan antar negara, melainkan juga merupakan pelanggaran hukum internasional.

Aksi penyadapan NSA yang dilakukan terhadap negara-negara sekutu AS itu, rupanya berdasarkan pada pandangan bahwa negara-negara itu dipandang setengah teman, setengah musuh. Atau dalam artian yang lebih buruk lagi, dipandang sebagai “negara jajahan”yang bisa diperlakukan seenaknya.

Dengan kata lain, seluruh rangkaian cerita ihwal aksi spionase lewat cyber tadi menggambarkan betapa AS dan Inggris masih berupaya menjadi kekuatan hegemoni global. Yaitu menciptakan kekuatan bersama antara Eropa dan Amerika Serikat yang dimotori AS-Inggris. Seraya menyatukan sikap terhadap kebijakan(geopolitik), ekonomi dan strategi. Sehingga tercipta One World Government atau Pemerintahan Satu Dunia. Maka salah satu sasaran dari skema ini adalah memasukkan kedaulatan negara-negara merdeka di Eropa ke dalam Pemerintahan Satu Dunia atau One World Government  menurut skema Inggris-Amerika Serikat.

(Baca: Daniel Estulin, The Bilderberg Group, Organisasi Rahasia Paling Berpengaruh Yang Mengendalikan Dunia Saat ini. Jakarta: Daras Books, 2009).  

Dalam konteks inilah, Prancis dalam pandangan para perancang kebijakan strategis Inggris-AS yang merupakan motor penggerak sebuah klub siluman The Bilderberg Group yang bermula sejak 1954, Prancis tetap dipandang sebagai negara yang tidak bisa sepenuhnya dipercaya sebagai sekutu dari AS-Inggris sebagai pendukung skema Kutub Tunggal atau Unipolar Dan begitu juga halnya dengan Jerman.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute (GFI).

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com