Di balik Kemesraan Duo Korea

Bagikan artikel ini

Romantika hubungan antara Korut dan Korsel memasuki babak baru dalam upaya rekonsiliasi yang bertemakan Unifikasi Korea. Baru-baru ini, Kim Jong Un dan Moon Jae-in nampaknya ingin mempertontonkan kepada dunia internasional, bahwa persatuan dan perdamaian antar duo Korea bukanlah suatu hal yang mustahil terjadi. Dalam kurun waktu 18-20 September lalu, Moon Jae-in menyambangi Pyongyang dan sekaligus menjadi presiden pertama Korsel yang melakukan lawatan ke Korut selepas tahun 2007.

Pertemuan bilateral yang digelar di jantung kota dari negara Korut itu merupakan konferensi ketiga di tahun ini dan juga menandakan yang kelima pasca masuk era milenium. Di lansir dari kantor berita CNN, adapun yang tercetus sebagai inti hasil kesepakatan konvensi tersebut berkutat perihal stabilisasi keamanan kawasan Semenanjung Korea.

Lebih jelasnya, Kim Jong Un menyepakati terkait beberapa hal; Korut akan menutup fasilitas uji coba rudal utama, lalu Korut akan pula berusaha menghentikan latihan militer di daerah perbatasan, serta Korut juga bakal meniadakan 11 pos penjagaan yang sebelumnya berada dalam kawasan perbatasan.

Dengan komitmen Korut lewat konsensus internasional ini, sepertinya akan mengesankan kepada khalayak dunia kalau tensi konflik sedang mereda dan justru memunculkan fase baru, yaitu fase dimana penyatuan duo Korea serta kondisi hubungan tanpa perang. Hal yang senada pun dilontarkan oleh Kim Jong Un disela-sela acara dengan berujar “The world is going to see how this divided nation is going to bring about new future on its own”. Dan tak seolah ingin ketinggalan, Moon Jae-in pun menyambut reaksi positif pemimpin Korut itu melalui pernyataannya yang mengungkapkan “The era of no war has started”.

Terlepas dari kemajuan diplomasi antar kedua negara ini, tentu interaksi dan perilaku setiap negara yang bersinggungan dengan isu keamanan kawasan tersebut – patut juga dicermati. Karena dalam studi hubungan lintas negara, level of analysis tidak berhenti pada aktor negara-negara utama saja (Jika pada kasus ini Korut dan Korsel), namun ada sistem internasional yang turut juga berpengaruh dalam menuntun jalannya dinamika. Untuk soal itu, adalah AS dan tentunya Cina sebagai aktor negara yang berlabel pemain kunci dalam sistem internasional dewasa ini.

Agenda AS, sebagai perimbangan kekuatan Cina di kawasan?

sumber foto: levert.ma

Jika ditinjau dari klausul demi klausul kesepakatan, terlihat isu keamanan yang jadi konsen utama baik bagi Korut maupun Korsel. Terutama untuk pemerintahan Seoul yang berstatus sebagai sekutu tradisional AS, lalu kemudian tentu Moon Jae-in mengemban misi dari Washington – akibat implikasi dari pertemuan bersejarah antara Trump dan Kim Jong Un di bulan Juni lalu. Pasalnya, inti dari hasil kesepakatan yang digelar di Singapura itu berbicara seputar denuklirisasi Korut demi stabilisasi kawasan di Asia Timur secara khusus dan di kawasan Asia Pasifik secara umum.

Kekhawatiran berlebihan AS akan kemampuan dan agresifitas militer Korut seolah menjadi isu yang coba ditampilkan ke permukaan. Padahal pada kenyataannya, military power AS jauh berada diatas pesaing Korea-nya itu. Bahkan untuk urusan alutsista pun, AS mempunyai kuantitas dan kualitas nomor satu di dunia. Lebih daripada itu, bukankah jika suatu negara mampu memiliki kapal induk, maka kedigdayaan kekuatan militer negara bersangkutan tidak perlu dipertanyakan lagi? Dan AS mempunyai kesemuanya itu.

Di seberang jalan, perimbangan kekuatan AS terkait pengaruh Cina dikawasan juga menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dari isu keamanan Korean Peninsula ini. Bukan menjadi hal yang tabuh, jika hubungan dingin antara Korut dan Korsel ini dijadikan sebagai proxy issues bagi kedua negara tersebut – sembari menebar pengaruh dalam kawasan.

Di tengok secara historis, meletusnya Perang Korea pada dekade 50-an memang sebagai akibat dari pertarungan kekuatan AS dan Uni Soviet di masa Perang Dingin silam. Pada masa itu, Cina yang berada di pihak Uni Soviet menjadi garda terdepan persekutan Blok Timur dalam melanggengkan pengaruh di kawasan Asia Timur.

Kala itu, pemimpin Korut (Kim II Sung) meminta bantuan kepada Mao Zedong supaya Cina turut andil dalam perang. Keputusan untuk berperang tersebut semata-mata ditempuh agar harapan bersatunya duo Korea dapat terwujud. Namun tidak butuh waktu lama, geliat Cina langsung direspon oleh presiden Henry S. Truman melalui pengadaan besar-besaran postur keamanan-pertahanan berupa bala tentara lengkap dengan senjatanya yang mengakibatkan eskalasi perang semakin memanas.

Dari telaah sejarah seperti diatas, tentu dinamika yang tengah terjadi lewat sederet kesepakatan bilateral antara Korut-Korsel – tidak akan luput dari lanjutan persaingan AS dan Cina dalam memperebutkan pengaruh di kawasan. Terlebih saat ini, geliat ‘Sang Naga’ semakin mengkhawatirkan pemerintahan Washington lewat ambisi The China’s Belt Road Initiative (BRI) ala Xi Jinping. Kondisi semakin diperparah dengan masuknya Korut sebagai salah satu negara bidikan Cina dalam skema mega-proyek infrastruktur dan ekonomi BRI-nya itu.

Jika BRI menjadi ancaman bagi supremasi ekonomi AS di kawasan, maka keputusan Moon Jae-in yang memboyong beberapa pengusaha dalam rombongan lawatannya ke Pyongyang–adalah   manuver tepat Korsel guna membendung pengaruh Cina dengan BRI-nya. Tentu hal ini menjadi efek positif bagi AS tatkala Korsel yang berpredikat sebagai sekutunya berusaha meredam pengaruh proyek ekonomi Cina kedepannya.

Ankit Panda dalam analisisnya yang bertajuk What to Watch for at the Fifth Inter-Korean Summit mengatakan Korsel akan menindaklanjuti dari kesepakatan yang sebelumnya digelar di Panmunjom – bahwa Korsel bakal membanjiri Korut dengan produk-produk andalannya seperti Samsung Electronics, Hyundai Group, LG Group, SK Group dan perusahaan lainnya.

Selain itu, kesepakatan di Pyongyang juga menyetujui akan membentuk jalur komunikasi darat berupa lintasan rel kereta api dan jalan antara Utara dan Selatan sebagai salah satu infrastruktur penunjang perdagangan. Melalui konektifitas yang akan dibentuk oleh Korut-Korsel, tentu Skema konektifitas ekonomi Cina melalui BRI-nya akan mendapati batu sandungan, mengingat jalur perdagangan Cina-Korut mau tak mau akan tumpang-tindih dengan jalur antara Utara dan Selatan tersebut.

Jika dinamika yang berkembang sedemikian adanya, tidak terasa berlebihan kalau menempatkan permasalahan duo Korea ini bukan saja sebagai proxy issues, namun lebih daripada itu, yakni sebagai proxy war bagi perseteruan AS dan Cina.

Kohesifitas Duo Korea?

sumber foto: edition.cnn.com

Melihat suatu kelanggengan atau seberapa kuatnya daya ikat dari hubungan kerjasama Duo Korea ini dapat ditinjau lewat beberapa hal. Pertama, dunia internasional akan melihat bagaimana ketika faktor idiosinkratik seorang Kim Jong Un yang terkenal waspada dan ofensif berhadapan dengan realitas politik internasional kekinian.

Bahwa Kim Jong Un yang sekarang terkesan membawa Korut semakin ‘terbuka’ dan ‘luwes’ menyikapi dinamika politik internasional merupakan suatu sinyalemen politik. Di satu sisi, Korut memang ingin melanjutkan harapan menyatukan duo Korea yang sudah diupayakan sejak Perang Dingin. Namun disamping itu, Korut pun akan mencoba mengimbangi tren politik internasional yang menampilkan AS dan Cina sebagai dua kutub yang tengah berkuasa.

Kedua, sejauh mana pengaruh AS terhadap Korsel dalam mempengaruhi kohesifitas hubungan. Karena seperti apa yang disinggung sebelumnya, isu keamanan duo Korea ini adalah proxy issues sekaligus proxy war bagi AS terhadap Cina.

Dan yang terakhir, bagaimana politik luar negeri Cina dalam menyikapi realitas dari apa yang menjadi interaksi dan perilaku antar duo Korea. Karena, suka tidak suka Cina akan menganggap ini sebagai suatu kemajuan disatu sisi (untuk memuluskan ambisi BRI lewat keterbukaan Kim Jong Un). Tapi di lain sisi, ini akan menjadi sebuah kemunduran yang akan menerpa Cina akibat kedekatan Korut-Korsel dan AS.

Demikianlah, percaturan politik internasional akan semakin menarik untuk dikaji kedepannya. Terlebih isu duo Korea ini bukan hanya permasalahan dan kepentingan bagi kedua negara bersangkutan, namun juga terdapat power state lain dengan segudang agenda yang mengiringi dibelakangnya

Rohman Wibowo, Junior Research Associate Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com