Dibalik Selesainya Kampanye Demokrasi

Bagikan artikel ini

Suhendro, Pengamat Masalah Demokrasi

Pelaksanaan kampanye terbuka Selama 21 hari sudah dilalui. Kini, mulai memasuki masa tenang, hingga waktu pencoblosan, pada 9 April 2014. Masa kampanye terbuka pemilu legislatif yag telah berakhir pada 5 April 2014 menyisakan banyak evaluasi dan sorotan. Mulai dari pelanggaran kampanye terbuka yang dilakuan berbagai parpol maupun banyak caleg hingga model komunikasi antara juru kampanye dan konstituen yang secara subtantif tidak bermakna.

Janji politik dan sekedar pencitraan terhadap caleg dan parpol sering diumbar. Masyarakat diibaratkan individu yang bodoh dan tidak melek politik. Wajar jika ada sorotan dari beberapa kalangan pemerhati, pengamat dan pakar poltik yang menyatakan kampanye terbuka seperti itu tidak mencerminkan pendidikan politik bagi masyarakat.

Kecenderungan kampanye terbuka oleh parpol hanya bersifat pesta hura-hura dan tidak menyentuh titik subtansi yang ditawarkan parpol atau caleg kepada pemilih terkait solusi permasalahan bangsa dan konsep cerdas mempercepat pembangunan. Banyak caleg yang menawarkan dirinya untuk dipilih tanpa jelas, apa alasan harus memilih caleg tersebut. Caleg yang berkampanye hampir tidak memiliki perbedaan sama sekali dalam kampanye terbuka, sehingga terkesan menonton dan tidak perbedaannya. Hal ini disebabka kerana caleg tidak memiliki isu yang jelas untuk ditawarkan kepada masyarakat.

Mestinya proses kampanye terbuka bisa menjadi pendidikan politik bagi masyarakat, yakni siapa calrg yang dipilih? kenapa harus memilih caleg tersebut? dan apa saja yang dilakukan atas pilihannya tersebut.

Dari analisa, apakah pemilih mulai jenuh dengan janji-janji politik yang dikampanyekan dari pemilu ke pemilu sehingga tidak menunjukkan perubahan signifikan. Kampanye selama ini hanya sekadar pencitraan, seharusnya kampanye para peserta pemilu dan caleg seharusnya lebih menekankan pada penyampaian visi, misi, dan program.

Peserta pemilu sudah boleh melakukan kampanye sejak 11 Januari 2013, Bentuknya, antara lain melalui pertemuan terbatas, tatap muka, atau pemasangan alat peraga. Namun, ia belum melihat adanya sisi substansial dari kampanye.  Adakah visi misi program yang ditawarkan?

Alat peraga sebagai sarana kampanye juga hanya di desain untuk pencitraan. Selain itu, peserta pemilu dan caleg masih belum banyak yang paham akan bentuk kampanye seperti alat peraga yang didominasi foto calon ketimbang visi, misi, dan program. Padahal, dalam surat suara nanti tidak ada foto calon. Kampanye tertutup selama ini belum masuk ke ranah pemilih, karena ternyata tidak banyak yang memaparkan visi, misi, programnya kepada para pemilih. Karena itu selama kampanye Bawaslu hanya mengatasi persoalan yang remeh. Semisal baliho, poster, dan spanduk para caleg atau parpol.

Ada beberapa catatan dari kampanye terbuka yang telah dilakukan oleh partai politik (parpol) peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, yakni banyak parpol yang tidak mampu mengoptimalkan pelaksanaan kampanye terbuka. Seringkali tempat terlalu besar, namun peserta tidak menyentuh setengah ruangan, sehingga kampanye parpol terkesan sepi dan lengang. Tentu saja, hal seperti ini dapat mengurangi kesan positif terhadap parpol bersangkutan (tidak laku dan tidak populer).

Panggung politik lebih banyak berisi hal-hal yang terkait dengan hiburan (dangdutan dll). Bahkan dapat disebut wajah panggung kampanye terbuka lebih banyak berisi hiburan dari pada pendidikan politik. Efeknya, terjadi berbagai pelanggaran kampanye. Seperti konvoi yang mengabaikan aturan lalu lintas, saweran, pelibatan anak-anak, serta tarian yang menjurus erotisme/porno aksi. Akibatnya, terabaikannya dengan serius syarat utama kampanye yakni, penyampaian visi – misi dan program partai. Berkaca dari fenomena tersebut, jelas sekali tidak tergambarkan seperti apa Indonesia kedepan.

Lebih lucu dan kekanak-kanakan ajang kampanye menjadi tempat sindiran, hujatan, kritikan kekanak-kanakan politik merajalela terhadap pemerintah sekarang atau parpol pesaingnya dalam pemilu 2014. Membuktikan bahwa masyarakat sudah berubah, dimana model kampanye terbuka klasik sudah tidak diminati dan kesadaran pemilih yang meningkat, pengumpulan massa bukanlah sarana tepat. Untuk itu, Panwaslu wajib melakukan proses terhadap seluruh pelanggaran tanpa pandang bulu. Kendati sistem pemilihan terbuka yang dianut saat ini memungkinkan pelanggaran terjadi secara massif dengan melibatkan banyak orang. Pelanggaran yang ditemukan itu harus diproses segera dan direkomendasi yang jelas dan tegas. Tapi tampaknya sulit berharap banyak pada panwas dalam situasi massifnya pelanggaran akibat sistem pemilihan terbuka. Lebih riskan lagi, ternyata Panwaslu menerima laporan money politic dan pelanggaran lain sepanjang masa tenang di hampir semua kelurahan.

Meski demikian, kondisi keamanan diperkirakan tidak seperti show of forcekampanye masa lalu yang selalu dihantui rasa was-was akan menjadi korban anarkisme pendukung parpol. Pemilu 2014 tidak merasakan greget kampanye terbuka, karena masyarakat sudah berubah memaknai kampanye terbuka, dimana show of force pada kampanye terbuka sekarang ini sudah tidak digemari masyarakat.

Dari pantauan kampanye terbuka berbagai partai politik di berbagai daerah di Indonesia, ‘kampanye’ lebih greget terjadi di media sosial. Jika ada kampanye terbuka dan sifatnya show of force, itu hanya cenderung memuaskan para kader saja. Militansi kader dan simpatisan partai tak seperti masa lalu karena militansinya sudah tidak berbasis ideologi partai yang kuat dan mereka cenderung pragmatis ketika berafiliasi dengan partainya. Sekarang ini upaya membela partai dengan militansi teredukasi dan cenderung pragmatis, meski ada kampanye terbuka, gesekan antar pendukung parpol diperkirakan kecil tidak seperti masal lalu.

Kampanye rapat umum pada Pemilu 2014 belum menunjukkan adanya kemajuan. Secara umum, masih sama dengan pemilu sebelumnya, yaitu mengutamakan hiburan dan sekadar lempar jargon. Selain itu, janji kampanye yang disampaikan terlalu berlebihan dan kurang rasional. “Terlalu muluk. Alih-alih memberikan pencerahan untuk mencerdaskan pemilih, para jurkam dan caleg yang berorasi sering ‘jual kecap’ saja.

Muatan pendidikan politik pada kampanye tersebut juga dinilai masih rendah. Hal sedikit berbeda hanya pada frekuensi pemanfaatan jadwal kampanye umum, di mana metode kampanye yang satu ini pelan-pelan mulai ditinggalkan. Sementara itu, masing-masing caleg lebih fokus pada persaingan dengan teman se-partai di dapil yang sama, hal inilah yang menjadi salah satu alasan caleg kehilangan antusiasme untuk berkampanye bersama-sama di satu panggung yang sama.

Parpol sekarang tidak lagi ngotot untuk menggelar sebanyak mungkin rapat umum. Seringkali ditemukan parpol yang tidak memanfaatkan jatah kampanye rapat umum yang menjadi hak mereka. Ini lantaran persaingan di antara peserta Pemilu telah bergeser dari persaingan antar parpol menjadi persaingan antar calon dalam partai yang sama.

Saat ini di tengah fasilitas media sosial yang menjamur, pemilih yang melek informasi enggan kepanasan atau kehujanan di lapangan demi hadir di kampanye.  “Model tatap muka, dialog yang intens, silaturrahmi yang terus menerus, nampaknya menjadi model kampanye di masa depan. Masa kampanye terbuka partai politik telah berakhir. Lantas, apakah mereka berhasil meraup dukungan masyarakat selama tiga pekan waktu kampanye? apa yang bisa anda dapat dari kampanye yang anda ikuti?….mudah-mudahan saja, pada 9 April 2014 mencoblos sesuai dengan nurani bersih…Bravo Pemilu 2014.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com