Telaah Kecil Geopolitik
Kemarin dulu banyak pihak mengira bahwa substansi masalah hulu bangsa adalah pengendalian ekonomi dan pencaplokan SDA oleh swasta (dan asing) akibat sistem ekonomi telah berubah menjadi kapitalis. Tidak salah asumsi tersebut. Tetapi, semakin kemari — ternyata asumsi tadi kurang akurat. Tidak keliru, hanya tidak tajam.
Memang, pencaplokan ekonomi dan SDA merupakan bagian masalah hulu bangsa, tetapi kadarnya masih di level bawah. Artinya, penguasaan ekonomi dan SDA oleh asing bukanlah sumber utama atau masalah pokok. Jadi, semacam side effect. Dampak ikutan saja.
Kronologisnya seperti apa?
Era Orde Lama, misalnya, kepemilikan saham oleh asing hanya 5%; masuk ke Orde Baru meningkat 49%; dan di Era Reformasi kini kepemilikan saham oleh asing sudah di atas 51% bahkan pada sektor-sektor tertentu malah 100%. Luar biasa.
Bila pencaplokan ekonomi dan SDA oleh asing hanya level bawah pada persoalan hulu bangsa, lantas — apa permasalahan hulu di level tertinggi atau puncak, ataupun sumber utamanya?
Tidak lain, akar masalah atau persoalan hulu di level paling atas adalah amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali (1999, 2000, 2001, 2002). Inilah sumber kegaduhan selama Era Reformasi pasca-Orde Baru tumbang. Kenapa?
Betapa amandemen UUD 1945 telah menyebabkan “tiga hal prinsip” menjadi lenyap dalam konstitusi yang lahir pada 18 Agustus 1945 alias UUD 1945 asli, sebelum diamandemen.
Adapun tiga hal prinsip yang hilang tersebut antara lain:
Pertama, kedaulatan telah berpindah dari tangan rakyat ke partai politik (parpol), sedang dalam praktik, parpol cenderung bersandar kepada oligarki. Kaum pemilik modal.
Pada gilirannya, kedaulatan rakyat cuma di bilik-bilik TPS. Kenapa begitu? Sebab usai pencoblosan — kedaulatan pun berpindah dari tangan rakyat ke parpol. Bahkan setelah itu, antara rakyat dan wakil – wakilnya, apalagi kepada para pemimpinnya — hampir tidak nyambung dan tak ada saluran guna menitipkan aspirasinya karena dominannya ketua parpol dalam dinamika politik praktis. Mengapa?
Ya, UU MD3 telah mencabut kedaulatan rakyat beralih ke tangan para ketua parpol melalui hak recall dan PAW. Gilirannya anggota parlemen seperti ‘petugas partai’, mereka hampir tak berani vocal menyuarakan aspirasi rakyat yang memilihnya karena khawatir direcall, misalnya, atau di-PAW dan seterusnya.
Apa lagi?
MPR sebagai ujud kedaulatan rakyat —penjelmaan rakyat— tidak lagi menjadi lembaga tertinggi namun hanya lembaga tinggi seperti MA, DPR, DPD, Presiden, BPK dan seterusnya.
Dan presiden kini tidak lagi menjadi mandataris MPR yang menjalankan politik rakyat (GBHN) dan tidak lagi mempertanggungjawabkan di MPR setiap lima tahun, atau di depan Sidang Istimewa ketika “ada sesuatu”.
Akibat amandemen empat kali yang mengubah teks asli tersebut, presiden sekarang cenderung menjalankan politiknya sendiri. Tidak ada lagi mekanisme pertanggungjawaban secara berkala kepada si pemberi mandat/MPR;
Kedua, imigran kini bisa menjadi presiden, karena kalimat “orang Indonesia asli” dalam pasal 1 ayat 2 diubah menjadi “presiden adalah warga negara Indonesia”. Artinya kelak —entah kapan— Indonesia bisa dipimpin oleh warga negara keturunan Jerman, misalnya, atau keturunan Yahudi, Cina, Amerika dan lain-lain;
Ketiga, sistem perekonomian berubah total kapitalisme. Hal ini terlihat atas pembiaran segelintir orang menguasai 50% aset nasional serta dibolehkan menguasai tanah ribuan bahkan ratusan ribu hektar.
Perubahan memang keniscayaan karena dunia terus berubah. Tak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Ini kredo. Dan langkah-langkah amandemen —entah penyempurnaan atau perbaikan— adalah hal mutlak apabila sebuah negara, misalnya, ingin tetap bertahan serta langgeng menyesuaikan gerak perubahan. Tetapi, sebuah amandemen tidak serta merta kudu mengubah teks dan naskah asli UUD 1945 yang dibuat oleh founding fathers, para pendiri bangsa.
Di Amerika Serikat (AS) pun, perubahan konstitusi diletak pada adendum, tidak mengubah ‘akte awal’ berdirinya Negeri Paman Sam.
Sekali lagi, perubahan itu keniscayaan karena dunia terus berubah sesuai mekanisme tesis – antitesis – sintesis. Tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Artinya, akan terjadi perubahan secara terus menerus mengikuti “hukum evolusi”-nya Charles Darwin. Bahwa satu-satunya realitas adalah perubahan, kata Herakletos. Itu kredo kehidupan.
Dan langkah-langkah perubahan —entah amandemen, atau penyempurnaan, perbaikan— adalah keniscayaan dan sifatnya mutlak bila sebuah negara ingin tetap eksis serta langgeng menyesuaikan gerak perubahan. Ini pakem geopolitik. Menurut Frederich Ratzel: “.. hanya bangsa unggul yang bertahan hidup dan langgeng serta membenarkan (melegitimasi) hukum ekspansi“.
Seyogianya penyempurnaan, perubahan atau amandemen dituangkan dalam adendum (aturan tambahan), bukan dengan cara mengubah naskah asli. Tatkala naskah asli UUD 1945 diganti teks-nya maka ibarat merobohkan bangunan NKRI yang didirikan oleh para bapak pendiri bangsa.
Nah, peristiwa pengubahan teks atau naskah asli UUD sebanyak empat kali tersebut oleh Pak Try Sutrisno disebut dengan ungkapan “pengkhianatan terhadap UUD 1945”; atau SBY menyebut dengan istilah silent revolution (revolusi senyap); atau ada yang menamai invasi senyap; kudeta konstitusi dan lain-lain.
Lantas, dimana sumber kegaduhan yang dituduhkan ke UUD hasil empat kali amandemen?
Banyak sisi untuk mengurai sumber kegaduhan dimaksud. Tetapi, pada catatan ini, saya ingin menyorot satu hal yang sifatnya fundamental, yakni berubahnya pola pemilihan presiden (pilpres), atau pileg, ataupun pilkada dan seterusnya dari sebelumnya melalui mekanisme musyawarah mufakat (hak bicara) berubah menjadi hak suara (satu orang satu suara) alias one man one vote. Inilah ‘salah satu’ sumber kegaduhan di NKRI.
Ada beberapa narasi negatif akibat pola pemilihan menjadi one man one vote, antara lain:
1. Tercabutnya kearifan leluhur berupa hak bicara melalui musyawarah mufakat menjadi hak suara (satu orang satu suara);
2. Menjadi alat pembelah bangsa yang efektif;
3. Menciptakan politik berbiaya tinggi (high cost politics);
4. Membidani dinasti politik dan politik dinasti baik di tingkat nasional maupun di daerah;
5. Semakin suburnya KKN di berbagai lini dan strata birokrasi, sehingga berkembang asumsi bahwa korupsi di Indonesia diciptakan oleh sistem;
6. Melahirkan industri pencitraan dan membidani berbagai komunitas buzzer dengan beragam motivasi;
7. Menciptakan ketidakadilan (strata) sosial, oleh karena suara profesor, misalnya, atau suara tokoh masyarakat dll disamakan dengan (suara) pemilih pemula dan lain-lain.
Ada satu hal lagi yang paling prinsip tetapi jarang dipahami oleh publik, yaitu bahwa sejak 10 Agustus 2002 MPR periode 1999-2004 yang diketuai Amien Rais telah memberlakukan UUD 1945 hasil amandemen, tetapi anehnya tidak ada satu pun produk hukum mengesahkan, sedangkan UUD 1945 asli yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945 tidak pernah dicabut oleh satu produk hukum pun.
Maka boleh disimpulkan, bahwa sesungguhnya ada 2 (dua) konstitusi yang beroperasi, yaitu:
(1) secara de jure ialah UUD 1945 asli; tetapi
(2) secara de facto adalah UUD 1945 hasil empat kali amandemen.
Mengakhiri telaah kecil ini, ingin disampaikan bahwa tidak ada niatan dan maksud menggurui siapapun terutama para pakar dan pihak-pihak yang berkompeten, hanya sekedar sharing pengetahuan terkait permasalahan hulu bangsa. Dan sepertinya, masalah hulu tersebut justru dikaburkan alias dialihkan dengan persoalan-persoalan hilir yang sengaja digaduhkan melalui tik-tok game politics.
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments