Penulis: Dina Y Sulaeman, mahasiswa Program Doktor Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, research associate of Global Future Institute (GFI)
Humanitarian intervention (intervensi kemanusiaan, untuk selanjutnya dalam tulisan ini disingkat HI) bisa didefinisikan sebagai penggunaan kekuatan militer lintas nasional untuk menghentikan atau mencegah penderitaan manusia dalam skala besar (Bakry, 2013). HI dilakukan NATO di Libya pada tahun 2011 dengan alasan bahwa saat itu telah terjadi pembunuhan massal rakyat sipil oleh rezim Qaddafi. PBB menyetujui HI dengan tujuan mencegah pembantaian yang lebih besar lagi. Serangan militer NATO terhadap Libya ini disebut ‘intervensi kemanusiaan’, sebuah frasa yang terdengar positif dan bertujuan baik.
Namun, benarkah demikian adanya? Dalam disertasi yang disusun oleh Umar Suryadi Bakry, kita bisa mendapatkan jawabannya secara ilmiah. Bakry adalah Doktor Hubungan Internasional lulusan universitas dalam negeri pertama di Indonesia (Universitas Padjadjaran), yang lulus dengan yudisium cumlaude pada tanggal 27 September 2013. Dalam disertasinya yang berjudul Intervensi Kemanusiaan NATO di Libya: Perspektif Konstruktivis, Bakry menjelaskan bahwa pada dasarnya, HI memiliki itikad baik untuk melindungi umat manusia dari pelanggaran HAM berat yang dilakukan pemerintah suatu negara. HI dianggap sah bila memenuhi empat kriteria berikut ini:
- Just cause: intervensi militer boleh dilakukan bila negara sasaran perang itu benar-benar dalam kondisi bencana kemanusiaan; bila ada realitas ‘kehilangan jiwa dalam skala besar’ atau ‘pembersihan etnis dalam skala besar’.
- Just intention: intervensi militer harus dilakukan dengan tujuan yang benar, yaitu untuk menghentikan penderitaan manusia.
- Just authority: keputusan intervensi militer harus diambil oleh otoritas yang paling berhak (yaitu PBB)
- Last resort: intervensi militer hanya boleh dilakukan ‘jika dan hanya jika’ semua upaya damai lain sudah dilakukan dan tidak menemui hasil.
Hasil penelitian Bakry menemukan bahwa dari keempat kriteria itu, hanya criteria just authority yang terpenuhi dalam operasi HI di Libya (yaitu bahwa keputusan intervensi memang diambil oleh Dewan Keamanan PBB). Untuk just cause, sama sekali belum ada data akurat yang menyebutkan berapa jumlah korban kekejaman Qaddafi. Untuk just intention, penelitian Bakry menemukan bahwa motif utama para negara-negara pendukung perang Libya sesungguhnya bukanlah untuk menyelamatkan rakyat Libya, melainkan untuk menggulingkan Qaddafi. Sementara itu kriteria last resort juga tidak terpenuhi, mengingat sangat pendeknya jarak antara fenomena ‘krisis kemanusiaan’ di Libya dengan pengambilan keputusan intervensi militer oleh DK PBB. Ini menunjukkan bahwa komunitas internasional sebenarnya belum melakukan upaya damai yang cukup sebelum memutuskan menyerbu Libya.
Seperti pernah penulis ungkapkan pada tulisan berjudul Kebohongan Media di Libya. Perang di Libya dimulai dengan aksi-aksi demo anti Qaddafi pada bulan Februari yang dilakukan rakyat Libya di Benghazi. Namun, ada yang aneh dalam aksi-aksi demo itu: Benghazi sebenarnya justru kawasan yang makmur. Secara umum pun, rakyat Libya cukup makmur. Pendapatan penduduk per kapita Libya adalah US$ 14581.9 (sekedar perbandingan, Indonesia US$ 2149.7). Rakyat Libya menikmati pendidikan dan kesehatan gratis, bahkan diberi bantuan mobil dan rumah. Itulah sebabnya, HDI (Human Development Index) Libya tertinggi di Afrika, dan di dunia berada di peringkat 57, lebih bagus daripada Rusia. Fakta ini sungguh tidak cocok dengan berita ‘rakyat Libya bangkit secara massal untuk menumbangkan Qaddafi.” Bahwa ada kelompok oposan, wajar. Tapi pemberontakan massal di seluruh negeri (seperti diberitakan media massa), sungguh menunjukkan pola yang aneh.
Menyusul aksi-aksi demo dan kekerasan yang terjadi, dunia pun digiring untuk ‘mengizinkan’ AS dan kroni-kroninya melakukan HI demi membantu rakyat Libya. Media-media mainstream, seperti CNN atau Fox News, Al Jazeera, berusaha membentuk opini publik, bahwa sedang terjadi pembantaian sipil besar-besaran di Libya. Bahkan media-media ini kemudian terbukti melakukan kebohongan dalam pemberitaan mereka soal Libya. Karena itulah, tak banyak yang memprotes saat NATO mulai melancarkan membombardir Libya dengan alasan kemanusiaan tanggal 31 Maret 2011. Target serangan NATO justru bukan kompleks militer, tetapi rumah-rumah (termasuk istana Qaddafi sehingga menewaskan beberapa anak dan cucunya), rumah sakit, sekolah, dll.
Usai NATO membombardir dan menghancurkan infrastruktur Libya, negara-negara anggota NATO pula yang beramai-ramai menawarkan bantuan untuk rekonstruksi. Menurut Financial Post (10/9/2011), beberapa hari setelah pemimpin negara-negara NATO menyetujui pencairan aset Libya (yang sebelumnya dibekukan oleh Barat), diadakan pertemuan G8 di Marseille. Dalam pertemuan itu, negara-negara G8 setuju untuk menggelontorkan dana pinjaman sebesar 38 milyar dollar kepada negara-negara Arab, dan ‘menawarkan kepada Libya untuk menerima dana pinjaman itu’. Siapa saja negara-negara G8 yang ‘berbaik hati’ memberikan pinjaman kepada negara-negara Arab yang kacau-balau akibat berbagai aksi penggulingan rezim itu? Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, AS, Kanada, dan Rusia. Sementara itu, asset $150 milyar dollar Libya yang dibekukan itu, ternyata berada di Perancis, AS, Inggris, Belgia, Netherland, Italia, Kanada. Benar-benar sebuah ‘kebetulan’ bahwa negara-negara ini sebagiannya bergabung di G8, dan semuanya bersama-sama bergabung dalam NATO. Sungguh ini sebuah perampokan terang-terangan. Bukankah dana yang dibekukan oleh Barat itu adalah milik rakyat Libya sendiri?
Fakta ini secara terang-benderang menunjukkan motif apa di balik ‘intervensi kemanusiaan’ NATO di Libya. Ironisnya, justru ‘pejuang Islam’-lah yang menjadi pelaksana awal dari rencana Barat ini. Sebagaimana telah penulis ungkapkan dalam buku Prahara Suriah (2013), kelompok pemberontak yang ‘berjuang’ menggulingkan Qaddafi adalah Al Qaida; mereka membawa-bawa nama Islam dan bercita-cita mendirikan khilafah di Libya. Namun, ironisnya, para pejuang khilafah ini pula yang kemudian langsung bersalaman (dalam arti sebenarnya) dengan Menlu Hillary Clinton setelah tewasnya Qaddafi.
Dan tokoh-tokoh pemberontak Libya pula yang kemudian ‘membantu’ perjuangan ‘mujahidin’ Suriah. Salah satu tokohnya, Mahdi Al Harati, sejak tahun 2011 sudah tertangkap kamera jurnalis Spanyol, Daniel Iriarte, sedang berkeliaran di Suriah. Al Harati kemudian terungkap menjadi pendiri salah satu milisi jihad, Liwaa al Tauhid.
Dan seperti sudah penulis prediksikan sejak awal konflik Suriah: yang dikejar Barat adalah alasan untuk menyerang Suriah dengan kedok humanitarian intervention (HI). Bahkan, para provokator HI menggunakan jasa si cantik Angelina Jolie untuk menggalang dukungan internasional bagi serangan HI ke Suriah. Pada Mei 2012, wacana HI dikembangkan menyusul tragedi pembantaian di Houla. Namun, misi khusus PBB di Suriah tidak menemukan bukti bahwa militer Suriah pelaku pembantaian tersebut (dan kemungkinan besar justru pihak pemberontaklah pelakunya). Akhir-akhir ini, isu senjata kimia di Ghouta yang dijadikan alasan untuk menggalang dukungan bagi operasi HI. Dan dengan segera terungkap pula berbagai fakta yang menunjukkan indikasi kuat bahwa pelaku serangan senjata kimia justru pemberontak, bukan tentara Suriah. Kali ini publik dunia jauh lebih cerdas dan tidak mau tertipu lagi. Demo besar-besaran di berbagai penjuru dunia menentang serangan ke Suriah menyebabkan DK PBB tidak berkutik dan AS pun mundur dari rencananya menyerang Suriah.
Dunia sudah menyaksikan bahwa HI di Libya hanya berujung pada perampokan kekayaan Libya. Selain itu, dunia juga menyaksikan bahwa meskipun dibungkus label ‘kemanusiaan’, nyatanya NATO justru telah melakukan kejahatan kemanusiaan di Libya. Itulah sebabnya, kini ada gerakan untuk mengajukan NATO ke Pengadilan Penjahat Perang Internasional dengan tuduhan melakukan intervensi terhadap sebuah negara berdaulat, melakukan serangan dan pengeboman terhadap kota-kota, desa, menghancurkan gedung-gedung, dan membunuh rakyat sipil yang tidak bisa dijustifikasi sebagai kepentingan militer (berdasarkan The Hague International Penal Court semua perilaku NATO ini sudah cukup alasan untuk divonis sebagai penjahat perang).
Lalu, dengan terungkapnya semua kemunafikan atau hipokritas Barat ini, apakah kaum muslimin yang masih mau diadu-domba dengan isu Sunni-Syiah dan mengobarkan perang atas nama agama, demi keuntungan Barat? Saya ingin mengulangi kata-kata analis politik Tony Cartalucci: jangan lagi kita tertipu oleh frasa ‘musuhnya musuh adalah teman kita’, karena ‘musuh’ yang ada adalah hasil pengkondisian dari para arsitek perang (AS dan sekutunya). Menurut Cartalucci, Sunni dan Syiah, bahkan seluruh umat manusia dari berbagai agama dan ras, sesungguhnya memiliki satu musuh yang sama, yaitu imperialisme Anglo-Amerika (Barat). Barat-lah yang selama berabad-abad telah melakukan kejahatan yang sama: memecah-belah, mengadu-domba antara etnis, agama, dan mazhab, lalu menghancurkan dan menaklukkan bangsa-bangsa di dunia.
Dan kita, bangsa Indonesia, perlu mengambil pelajaran dari sini. Imperialisme Anglo-America yang saat ini tengah mengobok-obok Libya, Suriah, dan Timur Tengah secara umum, juga memandangIndonesia sebagai salah satu target untuk dipecah-pecah menjadi negara-negara kecil agar kekayaan alamnya semakin mudah dieksploitasi. Bangsa ini perlu melatih kecerdasan berpikir. Kemampuan melihat mana yang kawan, mana lawan; mana propaganda jahat, mana berita jujur, sangat menentukan nasib kita di masa yang akan datang.