Deasy Silvya Sari, Mahasiswa Magister Hubungan Internasional UNPAD
Seringkali konflik muncul hanya karena masalah sepele: Urusan Perut! Tapi dalam upaya pemenuhannya, manusia melakukan berbagai cara ekspansi ekonomis yang menunjukkan derajat keberadaban dan kebarbaran. Meningkatnya kerja sama ekonomi transnasional, tumbuh pesatnya blok-blok perdagangan regional, meningkatnya investasi asing dalam berbagai aspek kehidupan, gencarnya bantuan luar negeri yang bersifat politis, semua ini menunjukkan cara ‘beradab’ manusia, baik negara maupun aktor non negara dalam melakukan ekspansi ekonomis guna memenuhi kebutuhan perut mereka.
Tetapi sejarah juga mencatat, torehan kelam kehidupan manusia, perbudakan massal yang dilakukan atas nama negara melalui elit-elit barbar dalam masa imperialisme dan kolonialisme. Tak terhitung berapa banyak nyawa manusia yang melayang karena eksploitasi Utara atas Selatan. Kini ekspansi ekonomis barbar ala baru yang kian agresif mencekik leher-leher manusia dengan cara yang sangat halus semakin mencengkeramkan taring-taring hegemoni mereka. Riba!
Riba-lah yang telah menghancurkan tatanan ekonomi dunia dalam waktu yang sangat singkat, menenggelamkan dunia dalam krisis ekonomi pada 1997 dan 2008. Laksana penyakit menahun yang kumat begitu sering. Film Wall Street 2 menggambarkan bagaimana para jutawan muda pialang-pialang saham itu menjadi pengangguran yang kebanjiran utang hanya dalam hitungan menit. Dan bagaimana seorang pemilik perusahaan yang teramat kaya, pada akhirnya melemparkan tubuhnya ke rel kereta api bawah tanah. Hanya karena perusahaannya telah bangkrut dan kebangkrutannya ditentukan oleh konsensus diantara kelompok para pemilik saham dan permainan angka-angka mata uang yang sangat manipulatif. Inilah cara-cara barbar yang sangat halus dalam memenuhi urusan perut manusia.
Dalam fitrah manusia yang seperti paparan di atas, tulisan ini bermaksud untuk menguraikan upaya-upaya Amerika Serikat dalam mencengkeramkan taring hegemoninya melalui Dollar Diplomacy yang mempengaruhi suasana politik keamanan di Asia Pasifik. Dollar Diplomacy adalah penggunaan kekuatan suatu negara secara aktif terhadap negara-negara lainnya untuk meningkatkan kepentingan rakyatnya di bidang investasi. Kebijakan politik semacam ini memerlukan intervensi militer jika dianggap perlu dalam rangka menjamin stabilitas dan mencegah intervensi asing.
Asia Pasifik merupakan peristilahan politis hubungan negara-negara di lingkar Pasifik, yakni negara-negara yang secara geografis berbatasan langsung dengan Samudera Pasifik. Posisinya menempati 600LU-600LS dan 1000BT – 600 BB. Luasnya cakupan Asia Pasifik membuat kawasan ini memiliki nilai geoekoomis yang sangat penting. Pertama, keberagaman ras yang menyebabkan beragamnya bahasa dan kebudayaan. Keberagaman budaya dalam era globalisasi menjadi asset berharga, khususnya dalam bidang pariwisata, dalam menikmati magis keunikan lokal. Eat, Pray and Love, misalnya, menggambarkan bagaimana Bali mampu menarik banyak orang dengan latar belakang ras yang berbeda dalam menikmati magis Bali. Ras yang menempati Asia Pasifik, secara umum adalah Ural-Altaic, Eropa, Indo-Cina, Melayu, Negro-Hamit, Australia, Indian, dan Eskimo. Bahasa yang umumnya tersebar di wilayah ini adalah Rusia, Jepang-Korea, Cina/Mandarin, Inggris, Spanyol, Perancis, dan bahasa lokal seperti Melayu, Jawa, Sunda, dan sebagainya.
Kedua, temperatur dan arus samudera yang dinamis yang memungkinkan arus lalu lintas laut sepanjang tahun. Hal ini sangat penting bagi kelancaran perdagangan, migrasi, dan transportasi. Dengan karakteristik geografis seperti ini, memposisikan Asia Tenggara, khususnya Selat Malaka, sebagai transit sekaligus penghubung Asia Pasifik dengan Samudera Hindia dalam rute laut; dan benua Asia-Autralia dalam rute darat.
Ketiga, beragamnya iklim yang memungkinkan beragamnya sumber daya alam, baik yang dimanfaatkan dari laut maupun kontinental di negara-negara lingkar Pasifik.
Keempat, pangsa pasar yang sangat luas karena populasi penduduk yang banyak. Cina memiliki kepadatan penduduk yang tinggi, lebih dari 50 orang/km2. Daerah Asia Tenggara dan Amerika Latin memiliki kepadatan sedang, sekitar 6-49 orang/km2. Sementara wilayah Rusia, Amerika Utara, Australia dan sebagian Indonesia kepadatannya antara jarang (1-5 orang/km2) atau bahkan terpencil (kurang dari 1 orang/km2). Tingkat kepadatan ini diiringi dengan tingkat pertambahan penduduk yang tinggi dan sedang di wilayah Cina, sebagian Asia Tenggara dan Amerika Latin; atau pertumbuhan yang kurang dari rata-rata dunia di wilayah Indonesia, Rusia, Australia, Amerika Utara dan sebagian Cina. Dengan piramida penduduk yang umumnya seimbang, memungkinkan dinamisnya hubungan antar orang-orang dalam berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan potensi geoekonomis Asia Pasifik, tak heran jika AS akan berupaya terlibat dalam setiap dinamika hubungan di kawasan ini guna meningkatkan pengaruhnya terhadap negara-negara lain.
Namun, hasrat AS akan menghadapi tantangan domestik yang cukup berarti dari masing-masing negara. Tantangan keamanan, muncul dari Rusia dan Cina. Sebagai pewaris Uni Sovyet, Rusia menjadi pemilik nuklir Sovyet dan juga mengembangkan teknologi persenjataan serta militer mereka. Rivalitas berbau Perang Dingin antara AS dan Rusia masih tetap akan menjadi pusat perhatian politik keamanan Asia Pasifik.
Selain tantangan dari sisi keamanan, Cina juga tumbuh menjadi negara yang mengancam dari sisi ekonomi. Bergabungnya Cina dengan pasar ASEAN melahirkan zona perdagangan bebas yang luas, kaya sumber daya alam, dan padat penduduk. Meski mengembangkan teknologi persenjataannya serta ekspansi pasar ekonomi yang agresif, namun Cina menyatakan secara formal bahwa Cina tidak ingin menjadi ancaman bagi negara-negara tetangganya. Kejelasan kebijakan luar negeri Cina ini meraih simpati positif dari negara-negara Asia Pasifik.
Selanjutnya, muncul tantangan terorisme sebagai kelanjutan dari respon gegabah Mr. Bush dalam menanggapi tragedi 9/11. Pembidikan tantangan terorisme muncul dari kawasan Asia Tenggara. Isu ini muncul pada saat yang bersamaan ketika 10 negara ASEAN semakin meningkatkan kohesi regional mereka dalam wujud kerja sama regional yang diarahkan pada satu komunitas bersama pada 2015. Kompleksitas rivalitas Asia Tenggara, ditambah lagi dengan bersatunya perekonomian dengan Cina, akan menjadi tantangan berat bagi Amerika Serikat.
Terlebih, ada ancaman pelik bagi AS yang muncul dari kawasan tetangganya Amerika Latin, yakni masalah kejahatan transnasional. Meliputi, perdagangan manusia (terutama perempuan dan anak-anak), kartel narkoba, peredaran senjata gelap, serta uang palsu.
Semua tantangan itu membuat Amerika Serikat harus lebih aktif berkiprah dalam organisasi regional Asia Pasifik, seperti APEC; meninjau perkembangan ASEAN, ataupun terlibat dalam berbagai kerja sama ekonomi.
Karena banyaknya ancaman dari aspek keamanan, ekonomi, terorisme, kejahatan transnasional, maupun ketidakstabilan politik domestik, AS harus senantiasa terjaga guna mengamankan asset-aset invetasinya di negara-negara Asia Pasifik, baik milik pemerintah maupun swasta. Misalnya, PT. Freeport di Papua, pabrik Nike di Tangerang yang mensuplai sepatu untuk kawasan Asia Tenggara, dan lainnya. Oleh karena itu, AS perlu meningkatkan dan mempertontonkan kapabilitas power militernya sebagai penggetar guna mempertahankan posisi tawar (bargaining position) AS di Asia Pasifik.
Pola penempatan pangkalan militer AS menggambarkan pengepungan Asia Pasifik dengan kekuatan militer. Di Asia Pasifik, Rusia dan Cina dibayang-bayangi militer AS di jepang (40.045 personil), Korea Selatan (40.258 personel), ketersebaran di Asia (97.000 personel). Pengepungan ini dihubungkan melalui Filipina (100 perseonel), Thailand (113 personel), dan Singapura (196 personel) ke benua Australia (200 personel). Dilanjutkan ke pangkalan-pangkalan terapung AS di lautan sekitar 16.600 personel, melalui Hawaii dan kembali ke AS melalui pangkalan di sebagian Amerika Latin (Kolombia, Peru dan Guatemala) .
Manajemen keamanan AS di Asia Pasifik berada di bawah USPACOM yang berpusat di Honolulu, Hawaii. Hal ini seperti terlihat dalam pembagian komando militer AS di seluruh dunia. Penyebaran pangkalan militer AS ini didukung oleh anggaran militer yang kian meningkat, seperti terlihat dalam gambar berikut ini .
Namun, dengan kapabilitas power AS yang melingkupi Asia Pasifik tidak berarti AS dengan mudah menguasai kawasan ini atau dengan mudah menekan negara lain. Karena tindakan yang sembrono seperti ini, hanya akan membuat negara lain antipati terhadap AS. Sementara saat ini, AS masih menelan pil pahit kemenangan semu invasinya ke Iraq, perang yang berkelanjutan di Afghanistan, serta dampak krisis 2008 yang masih belum mampu membuat perekonomian domestik AS berjalan stabil. Terlebih, capital flying geesemerupakan ancaman sporadis kaum Merchant jika suatu negara petantang-petenteng dengan power militernya tanpa mengedepankan stabilitas domestik.
Karakter seorang pedagang adalah, ia hanya akan memberikan loyalitasnya pada negara yang memang mampu menyediakan kondisi yang mendukung usahanya. Jika sebuah negara tidak lagi mampu mendukung usahanya bahkan malah menjadi penyebab masalah yang akan merugikan usahanya, dengan mudah kaum pedagang ini akan pergi. Terlebih, biasanya kaum pedagang ini terdiri dari jaringan-jaringan kekerabatan. Perpindahan kaum pedagang berpengaruh terhadap perpindahan aset dan menguapnya investasi. Akibatnya, barang-barang bisa menjadi langka, hilangnya lapangan pekerjaan sehingga timbul ledakan pengangguran, munculnya instabilitas politik domestik karena timbulnya mosi tidak percaya pada pemerintah dan banyaknya demonstrasi. Capital flying geese ini, perlahan sedang melanda AS dimana banyak negara yang semakin mencibir peran AS sebagai polisi dunia.
Dollar Diplomacy yang dimainkan AS, khususnya di kawasan Asia Pasifik, merupakan cara efektif mengamankan posisi dalam waktu singkat dalam kondisi persaingan yang ketat. Namun, tidak ada satu orang pun yang suka digertak atau melakukan sesuatu di bawah ancaman. Inilah yang harus disadari AS dengan semakin memperhalus kebijakan-kebijakan politik luar negerinya dengan mengedepankan diplomasi yang bebas dari ancaman.
Guna mengurangi efek Dollar Diplomacy alangkah lebih baiknya jika AS mengembangkan prinsip tetangga yang baik (good neighbouring) seperti yang dilakukan Cina dalam propaganda diplomatisnya di Asia Pasifik. Hal ini seperti harapan Aa Gym dalam suratnya yang ditujukan pada Presiden AS.
“… Mr. Bush,
Ketahuilah, betapapun Anda menggenggam persenjataan dan media yang luar biasa hebatnya, Anda tidak akan pernah mampu memaksa dan memperdaya hati nurani manusia.
Alangkah indahnya jikalau di suatu saat Amerika menjadi negara besar dan terhormat bukan karena hebatnya persenjataan dan bala tentaranya tetapi karena kemuliaan pribadi orang-orang yang memerintahnya dan kesungguhan untuk memajukan peradaban dunia dengan adil dan bijak… (Gym, 2003)”