Episode Baru Pasca Serangan AS dan Sekutu ke Suriah

Bagikan artikel ini

Andrew Korybko, analis politik Moskow dan sering menjadi kontributor untuk Global Research
Sudarto Murtaufiq, Direktur Diplomasi Pubilk Global Future Institute (GFI) Jakarta

Kebanyakan orang telah mendengar beragam komentar tentang alasan AS melakukan serangan ke Suriah. Sebagian besar alasan tersebut adalah upaya AS mengirim sinyal ke Iran dan Hezbollah serta menekankan batas-batas apa yang akan bisa dilakukan Rusia di wilayah udara Suriah, meskipun tidak banyak diungkap tentang keikutsertaan Inggris dan Perancis dalam serangan tersebut.

Pertama, harus kita urai terlebih dahulu mengapa Inggris ikut serta dalam “rombongan” serangan ke Suriah. Pertama, Inggris saat ini tengah terjebak dalam kekacauan politik dalam negeri pasca-Brexit dan berupaya mencari pengalih perhatian yang nyaman, terutama sejak kasus Skripal yang mulai diungkap dan diekspos sebagai serangan senjata kimia palsu sebagaimana yang ditegaskan Rusia selama ini. Inggris juga ingin mempertahankan relevansi internasionalnya setelah media global berhasil meyakinkan komunitas internasional bahwa negara itu akan menjadi kurang penting di konstelasi percaturan global setelah Brexit.

Kedua, faktor lain di balik keputusan Inggris untuk ambil bagian dalam serangan ini adalah bahwa Prancis juga sangat antusias terhadap serangan tersebut. Mengapa Perancis sebagai pasal kedua keikutsertaan Inggris dalam serang AS ke Suriah. Karena Inggris tidak ingin kalah pada apa yang disebut “hubungan khusus”nya dengan Washington terhadap rival bersejarahnya, yaitu Perancis. Sementara Paris tertarik untuk menampilkan diri sebagai sekutu utama Uni Eropa AS mengingat keretakan hubungan antara Amerika dan Jerman karena alasan ideologi dan ekonomi. Perancis adalah satu-satunya kekuatan Eropa yang bekas penjajahan kolonialnya dapat bersaing dengan bekas penjajahan kolonial Inggris dalam lingkup geografis, dan sangat ingin untuk membangun kembali dirinya sebagai Kekuatan Besar global yang penting melalui serangan diplomatik militer baru-baru ini di Timur Tengah. Terlebih menyusul intervensi Macron selama episode Hariri dan pengiriman pasukannya baru-baru ini ke Suriah utara.

Secara keseluruhan, kombinasi dari keterlibatan Amerika, Inggris, dan Prancis dalam serangan Suriah yang terakhir terdiri dari 3/5 anggota UNSC yang secara simbolis mewakili Barat di mata dunia. Jerman, meski penting, cukup hanya menjadi kekuatan UE dan tidak memiliki warisan pengaruh di luar benua seperti tiga Kekuatan Besar lainnya. Tiga negara Barat yang disebutkan di atas kerap mempertontonkan permusuhannya dengan Rusia, Iran, dan Cina baik dalam konteks apa yang baru saja terjadi akhir pekan lalu dan juga dalam konteks yang lebih luas. Dengan demikian, terjadilah pergeseran pemaknaan tentang kontur geopolitik umum dari apa yang bahkan Sekjen PBB baru-baru ini akui sebagai Perang Dingin Baru, meskipun kali ini antara pendukung sistem unipolar dan multipolar Hubungan Internasional, bukan ideologi kapitalis dan komunis.

Secara luas memang dilansir banyak media mainstream dunia bahwa akan terjadi permulaan “Perang Dunia III” yang diduga akan segera terjadi dan kiamat nuklir setelah orang-orang dikondisikan demi alasan manipulatif untuk mengharapkan yang tepat setelah itu tidak pernah terjadi. Tetapi sama saja, ada perjuangan di seluruh dunia yang terjadi di mana-mana demi masa depan Hubungan Internasional yang lebih baik. AS, Inggris, dan Prancis memimpin kubu unipolar sementara Rusia, Iran, dan Cina melakukan hal yang sama dengan yang multipolar, meskipun harus ditekankan bahwa semua anggota dari masing-masing pihak tidak berada dalam “harmoni sempurna” antara satu dengan yang lain. Karena itu, meskipun ada banyak medan perang proksi dan bahkan domain tak berwujud di mana persaingan global ini sedang dilancarkan, Suriah sejauh ini adalah yang paling penting diantara negara-negara yang lain. Itulah sebabnya mengapa eskalasi akhir pekan lalu sangat signifikan.

Episode Pasca Suriah

Sebagaimana disinggung di awal, serangan AS dan sekutu-sekutunya ke Suriah, adalah sinyal yang sengaja dialamatkan ke Iran, meski akhirnya menyasar pula Rusia dan China. Mengapa demikian? Karena tujuan strategis jangka menengah dari perang global, yang ditandai dengan serangan ke Suriah baru-baru ini adalah menargetkan Iran dan menetralisir sekutu-sekutunya melalui diplomasi senjata api. Adapun tujuan militer jangka panjang adalah langsung menargetkan Cina dan Rusia, yang selama ini dikenal lebih memihak Iran dari segala tekanan AS dan sekutu-sekutunya.

Patut dicermati bahwa saat ini Iran memang menjadi target langsung pemerintahan presiden AS Donald Trump dan menjadi agenda militer global. Hal ini ditandai dengan ditempatkannya pasukan AS yang bukan hanya terkonsentrasi di Timur Tengah dan Asia Tengah.

Pengerahan pasukan koalisi dan sistem persenjataan canggih oleh AS, NATO dan mitranya terjadi bersamaan hampir di semua wilayah utama di Dunia.

Maka, seperti dalam salah satu simpulan dari seminar terbatas GFI belum lama ini, sepak terjang militer AS di lepas pantai Korea Utara termasuk adanya perang di kawasan memang sepertinya menjadi bagian dari desain global itu.

Simpulan GFI itu sangat beralasan, mengingat dalam mengimbangi pengaruh dan kekuatan Rusia dan Cina di kawasan misalnya, AS, NATO, termasuk adanya latihan militer sekutu atau latihan perang, penyebaran senjata, dan lain-lain dilakukan secara bersamaan di lokasi yang selama ini menjadi hotspot geopolitik utama.

Sebut saja misalnya bahwa apa yang terjadi di Semenanjung Korea, Laut Jepang, Selat Taiwan, Laut Cina Selatan sangat mengganggu kepentingan Cina. Begitu juga dengan penyebaran rudal Patriot di Polandia, pusat peringatan dini di republik Ceko, termasuk penyebaran angkatan laut di Bulgaria dan Rumania di Laut Hitam yang berpotensi mengancam Rusia. Belum lagi penyebaran pasukan AS dan NATO di Georgia dan penempatan angkatan laut yang tangguh di Teluk Persia termasuk kapal selam Israel yang sengaja diarahkan untuk menyerang Iran.

Pada saat bersamaan apa yang terjadi di Mediterania Timur, Laut Hitam, Karibia, Amerika Tengah dan wilayah Andean di Amerika Selatan adalah wilayah militerisasi yang saat ini sedang berlangsung. Adapun, di Amerika Latin dan Karibia, ancaman diarahkan terhadap Venezuela dan Kuba.

Dari gambaran di atas, maka bukan isapan jempol kalau skenario Perang Dunia III bakal terjadi suatu saat nanti. Lihat saja misalnya bagaimana AS melakukaan transfer senjata berskala besar di bawah bendera “bantuan militer” AS ke negara-negara tertentu, termasuk kesepakatan senjata 5 miliar USD dengan India agar mampu membangun kemampuan militernya untuk menghadapi Cina.

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com