“Akan datang bangsa berkulit kuning dari Utara, berperawakan tidak tinggi, pendekpun juga tidak. Mereka itu nanti akan menduduki tanah Jawa, tetapi hanya seusia tanaman jagung. Dan akan kembali ke negerinya sendiri, sedangkan Tanah Jawa akan kembali dikuasai anak negeri sendiri pula.” – Jayabaya, Raja Kediri tahun 1157 M.
Eretan adalah sebuah desa kecil di tepi laut di pantai utara Laut Jawa tepatnya di kabupaten Indramayu. Namanya nyaris tidak terdengar oleh orang kebanyakan, kecuali mereka yang sering melintasi pantura sebelum ada jalan tol Cipali. Pasar tumpah dan kemacetan adalah ciri khas wilayah ini dengan bau amis ikan dan garam menguar di mana-mana. Kapal-kapal nelayan berwarna warni tertambat di muara sungai. Meski desa kecil, tapi nama Eretan tercatat dalam buku sejarah Indonesia sebagai tempat pendaratan pasukan Jepang. Sejarah ini seolah tak penting dan tidak signifikan, sehingga hanya disebutkan sepintas saja. Padahal Jepang memilih daerah ini sebagai salah satu titik untuk masuk ke pulau Jawa di tahun 1942 dengan alasan yang masuk akal dan sangat cerdik sekaligus taktis.
Situasi geopolitik dunia memanas menjelang Perang Dunia II. Jepang ingin menguasai dunia dan mematahkan hegemoni negara-negara Barat di Asia. Sejak awal tahun 1930an, Jepang menerapkan kebijakan ekspansionis dan tindakan militer yang agresif di berbagai negara di Asia. Salah satu negara target adalah Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam seperti minyak bumi, sehingga harus direbut dari Hindia Belanda. Kampanye militer bahwa mereka akan membebaskan rakyat Indonesia dari pemerintah Hindia Belanda bertujuan agar kedatangan mereka nanti diterima oleh pemimpin dan rakyat Indonesia. Padahal tujuan besarnya adalah penguasaan wilayah Asia dan Pasifik di bawah Kekaisaran Jepang.
Untuk merebut Hindia Belanda, Jepang melakukan strategi mengepung wilayah Hindia Belanda dan mengunci tentara Hindia Belanda yang jumlahnya tidak seberapa, sehingga sulit mendapat bantuan dari negara-negara Sekutu. Jepang menyerang pangkalan Angkatan Laut Pearl Harbour, Hawaii, pada 7 Desember 1941 untuk mengunci bantuan AS dari arah Timur atau Lautan Pasifik. Di bagian Utara, Jepang masuk dan menguasai beberapa daerah di Kalimantan. Demikian juga dengan bagian Barat yaitu pulau Sumatera dikuasai pula. Setelah itu, Jepang mengarahkan pasukannya untuk masuk dan menguasai pulau Jawa yang merupakan pusat pemerintahan Hindia Belanda.
Untuk menaklukkan pulau Jawa, Jepang merencanakan tiga operasi secara simultan yang bertujuan meningkatkan posisi taktis mereka. Satu, Jepang merebut pulau Timor untuk memutus hubungan transfer pesawat tempur Sekutu antara Hindia Belanda dengan Australia. Dua, Jepang melakukan serangan udara di pelabuhan dan pangkalan pasukan di Darwin, Australia, untuk mencegah penguatan secara langsung pertahanan sekutu dari sana. Tiga, mengamankan pulau Bali dan menjadikannya sebagai pangkalan tempur terdepan untuk melindungi pendaratan pasukan yang akan datang kemudian di Pulau Jawa. Bagian ini dianggap penting untuk keberhasilan dalam mengambil alih pulau Jawa. Belanda baru saja membangun landasan udara yang dilengkapi dengan fasilitas untuk mengoperasikan pesawat tempur di dekat Denpasar. Setelah bagian Utara, Timur dan Barat pulau Jawa sudah dikuasai Jepang, Jepang siap masuk ke pulau Jawa melalui tiga titik pendaratan: Teluk Banten, Teluk Eretan dan Kragan.
Dini hari 1 Maret 1942, Jepang memasuki Teluk Eretan, kabupaten Indramayu dan sekitarnya dan mendarat di desa-desa sepanjang teluk Eretan. Pasukan yang berjumlah kurang lebih 3.500 orang, sekian banyak kapal dan tongkang tentu saja tidak mungkin mendarat di satu titik atau satu desa. Beberapa desa yang mencatat kehadiran Jepang adalah Kampung Sumur Sereh yang sekarang masuk wilayah desa Eretan Wetan dan desa Dadap di kecamatan Juntinyuat. Keduanya berada di kabupaten Indramayu. Kampung Sereh saat ini sudah tidak ada lagi karena abrasi yang cukup masif. Di pantai desa Dadap ditemukan bunker-bunker peninggalan Jepang yang kemungkinan digunakan oleh pasukan Jepang untuk melawan dan menghalau pasukan Sekutu yang mendeteksi kedatangan mereka.
Pasukan yang mendarat di Eretan disebut dengan Detasemen Shoji, sesuai nama pimpinannya yaitu Shoji Toshishige dari Divisi Infanteri ke-38. Detasemen Shoji terdiri dari 3.500 orang, terdiri dari unsur-unsur infanteri, artileri, lapis baja, zeni, senjata anti pesawat terbang dan transportasi. Detasemen ini juga dilengkapi dengan sepeda lipat dan 10 tank ringan type 95. Unit-unit ini diisi oleh dari para veteran yang sudah terlatih dan bermotivasi tinggi dan telah ikut dalam pertempuran-pertempuran sebelumnya. Pasukan infanteri terdiri dari dua batalyon: batalyon Wakamatsu dan batalyon Egashira.

Shōji Toshinari (Toshishige) – wikipedia
Pendaratan Jepang tidak berlangsung mudah. Pasukan sekutu yang bermarkas di Kalidjati, Subang memberondong mereka tak lama setelah fajar menyingsing. Pasukan Jepang kehilangan beberapa tongkang dan kapal kecil juga beberapa lusin personel. Namun serangan udara tersebut tidak menunda niat pasukan Jepang untuk mendarat. Beberapa pesawat tempur P-40 Amerika juga menyerang tempat pendaratan. Korban dari pihak Jepang ada, tetapi Sekutu mendapat hasil yang terbatas.
Setelah berhasil mendarat, pasukan infanteri di bawah pimpinan Wakamatsu menyebar. Ada kelompok yang ke arah selatan melalui Anjatan, ada yang ke arah barat melalui Pamanukan. Sebagian lagi melalui sungai Cipunagara. Tetapi semuanya menuju lapangan terbang di Kalidjati, Subang, yang berjarak 77 km dari Eretan. Inilah alasan utama kenapa Jepang mendarat di Teluk Eretan. Penguasaan lapangan udara, khususnya yang memiliki pesawat tempur adalah prioritas untuk mematikan jalur bantuan kepada pasukan Sekutu di darat. Pada akhir Februari 1942, ada kurang dari 40 pesawat tempur berbagai jenis yang masih tersisa di Jawa. Pesawat-pesawat tersebut berada di lapangan terbang di Kalidjati dan Blimbang.
Pesawat Hurricane juga memberondong konvoi pasukan Jepang selama pergerakan mereka menuju Kalidjati. Meski menimbulkan korban di pihak tentara Jepang, tapi pasukan Sekutu kembali gagal menghentikan kemajuan gerakan pasukan Jepang. Misi-misi itu adalah misi terakhir yang diterbangkan oleh Korps Udara Angkatan Darat AS di Jawa.
Batalyon Wakamatsu mencapai lapangan udara Kalidjati pada sore hari tanggal 1 Maret. Begitu tiba, pasukan Jepang dengan tank-tank mereka ditembaki oleh senjata-senjata Bofors pasukan Inggris. Baku tembak sengit terjadi selama beberapa jam. Tapi pasukan Jepang menang jumlah dan sudah tersebar di sekeliling landasan udara. Tidak terdeteksi dan tidak diperkirakan pasukan Sekutu bahkan rakyat sekitar. Jepang berhasil merebut landasan setelah memusnahkan hampir semua pasukan Sekutu yang bertahan.
Dari Kalidjati Subang, pasukan Jepang menyerang Batavia dari arah timur. Setelah merebut Batavia, Jepang mengambil alih Bogor dan Bandung. Bandung merupakan markas ABDACOM (American-British-Dutch-Australian-Command) atau pasukan Sekutu. Pasukan Jepang bergerak sangat cepat. Di kemudian hari, pasukan Hindia Belanda mengakui kalau mereka tidak siap dengan serangan pasukan Jepang, meskipun sudah dibantu dengan pasukan Sekutu. Terlebih AS yang masih terpukul dengan penyerangan Pearl Harbour. Jumlah tentara Jepang dengan tentara Hindia Belanda juga sangat tidak berimbang. Selang beberapa hari setelah pendaratan di Eretan, tanggal 5 Maret, Batavia dikuasai oleh pasukan Jepang. Dan pada 8 Maret 1942, Belanda menyerah kepada Jepang.
Eretan dan Indramayu kembali sunyi senyap? Tidak juga. Seluruh pasukan Jepang tidak semuanya menuju Batavia, sebagian kecil tetap berada di Kabupaten Indramayu dan menyiapkan logistik untuk pasukan yang bertempur. Kedatangan Jepang yang awalnya disambut oleh rakyat kemudian dibenci oleh rakyat. Kesewenang-wenangan pasukan Jepang inilah yang menyebabkan munculnya gerakan pemberontakan Petani Indramayu tahun 1944.
Pipit Apriani, Research Associate Global Future Institute (GFI)