Executive Summary Seminar Terbatas Global Future Institute 24 Oktober 2024

Bagikan artikel ini

Meningkatkan Kualitas Literasi Bangsa, Perlu Revitalisasi Budaya Bangsa dan Kearifan Lokal

Tim Penyusun: Hendrajit, Hari Samputra Agus dan Korie Soenarko

Masih dalam suasana memperingati hari jadinya yang ke-17 Global Future Institute (GFI) yang kali ini menggelar seminar terbatas mengangkat topik Kebudayaan. Membedah pertautan erat yang terintegrasi antara Teknologi, Literasi dan Kebudayaan, di era digital dan abad informasi.  Bagaimana merangkai ketiga isu tersebut dalam konteks ke-Indonesian kita saat ini? Mungkin keynote speech  Hari Samputra Agus, Direktur Pendidikan GFI, bisa kita jadikan sebagai kerangka awal untuk membingkai diskusi selama hampir 3 jam yang berlangsung di Wisma Daria, Jakarta Selata, Kamis 24 Oktober 2024 lalu.

Hari Samputra: “Oleh sebab kemampuan literasi masyarakat dibentuk oleh linkungan sosial dan budaya dimana warga masyarakat tersebut bermukim, maka literasi tidak hanya sebatas kegiatan personal, melainkan juga merupakan proses aktivitas sosial untuk membentuk pikiran kolektif  masyarakat dan bangsa pada umumnya. Dalam lingkup diskusi kita, berarti bangsa Indonesia.

Berarti, penguasaan literasi masyarakat erat kaitannya juga dengan kondisi geografis maupun karakter kolektif masyarakat kita di daerahnya masing-masing. Literasi dalam maknanya yang hakiki, merupakan kemampuan menyerap apa yang didengar maupun dibaca, baik tersurat maupun tersirat. Sehingga kemampuan literasi bukan sekadar menelan mentah-mentah apa yang diserap lewat pendengaran dan bacaan pustaka, melainkan juga mampu mengunyah dan mengolahnya sehingga mengispirasi munculnya pemahaman baru.

Dengan begitu, Hari Samputra menyimpulkan, literasi berarti juga merupakan sumber inspirasi, jendela menuju pemahaman, dan memantik pencerahan wawasan. Maka itu, penguasaan literasi sebagai tolok ukur kemajuan peradaban bangsa, menjadi sangat penting. Artinya, lewat penguasaan literasilah, daya cipta dan temuan-temuan baru muncul. Baik di bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Industri, Pertanian, dan Seni-Budaya.

Berarti literasi juga mencakup kemampuan mempertanyakan kondisi kekinian yang tidak adil, mempertanyakan norma norma sosial  yang berlaku sekarang, juga kemampuan melihat perkembangan dan dinamika dunia dari sudut pandang beragam.

Maka dalam era digital,  dan abad informasi dewasa ini, literasi tak cukup hanya kemampuan membaca dan mengekspresikan pikiran dan rasa, melainkan juga jadi sarana mengubah cara pandang dan pola pikir dalam merespons perkembangan global, regional dan lokal yang perubahannya begitu cepat dan pesat.

Di sinilah pentingnya penguasaan literasi sebagai tolok ukur kemajuan peradaban bangsa.  Artinya, lewat penguasaan literasi lah, daya cipta dan temuan temuan baru muncul. Di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, industri, pertanian, dan bahkan sosial dan budaya. Termasuk di ranah kesenian.

Korie Soenarko, Direktur Informasi dan Komunikasi Global Future Institute, yang bersama Hari Samputra memprakarsai seminar terbatas ini, melengkapi paparan Hari tentang Literasi dengan mengetengahkan pandangannya dari sudut pandang teknologi. Menurut alumni Fakultas Sosial-Politik Universitas Mustopo itu, teknologi di era digital seperti sekarang ini, ibarat kata sama pentingnya seperti seorang kekasih,” tutur sarjana komunikasi lulusan Universitas Mustopo ini. Selanjutnya Korie menegaskan, Literasi yang bertaut erat dengan seni-budaya utamanya music, sejatinya akan menyebabkan karya-karya yang dilahirkannya akan bernyawa dan berjiwa.

Maka itu, Korie berani berkesimpulan, secanggih apapun teknologi, sejatinya manusia tak akan mungkin dikalahkan oleh teknologi. Jadi, dalam kalimat pamungkasnya, Korie Soenarko mengajak para peserta seminar terbatas GFI untuk menjadikan teknologi cukup sebagai alat pelengkap saja. Sehingga kita sebagai insan manusia jangan sampai mengalami ketergantungan pada teknologi, apalagi kalau kemudian kita kehilangan rasa fikiran akibat semuanya serba mekanis seperti robot. Dengan kata lain, literasi sejatinya tetap berperan sebagai Stabilisator, Dinamisator dan Katalisator di bidang teknologi, saens, hingga seni dan kebudayaan pada umumnya.

Ambar Triadi, pegiat fotografi, sepakat dengan pandangan Korie. Khususnya berkaitan dengan Artificial Intelligence atau AI. Menurut Ambar, adanya Artificial Intelligence memang perkembangan teknologi yang tak terhindarkan, sehingga manusia dan teknologi boleh dibilang menjadi satu. Namun di atas semua itu, manusia tetaplah yang harus memainkan peranan penting. Jadi, Artificial Intelligence hanya alat bantu saja. Untuk mencari referensi dan memantik munculnya ide-ide.

Lantas, apakah yang menjadi masalah krusial bangsa saat ini ketika diperhadapkan pada tantangan tersebut di atas? Giri Basuki, seniman lukis dan budayawan, memandang masyarakat kita dari berbagai komponen, tidak siap menghadapi pesatnya perkembangan teknologi, utamanya teknologi komunikasi dan informasi.

Giri Basuki: “Hari ini kita terhubung menjadi satu dunia yang namanya Globalisasi. Yang digerakkan oleh Teknologi (Digitalisasi, Internet dan Jaringan Data berkecepatan tinggi), kita sebagai salah satu bangsa dunia yang masih termasuk negara berkembang, akhirnya menjadi “gagap” dalam memasuki abad teknologi digital yang semakin menglobal saat ini”

Implikasinya di bidang sosial-ekonomi bagi bangsa dan negara-negara berkembang umumnya, jadi runyam. Salah satunya, menurut Giri yang kemudian menekuni hukum hak cipta dalam program pasca-sarjananya, banyak warga masyarakat yang kehilangan pekerjaan karena tidak siap sebagai tenaga-tenaga ahli di bidang Information Technology (IT). Baik sebagai perancang circuit, perancang program maupun sebagai tenaga ahli pengguna komputerisasi (teknisi).

Selanjutnya Giri Basuki yang sudah beberapa kali menggelar pameran tunggal, termasuk di Pusat Kebudayaan Prancis jalan Wijaya, juga menaruh keprihatinan pada bidang literasi.

“Selain dampak hilangnya pekerjaan karena tidak siap menghadapi disrupsi seturut semakin cepatnya perkembangan dan perubahan teknologi, masyarakat kita juga semakin hilang dorongan minat membaca. Lantaran arus deras informasi mengalir tiada henti setiap hari masuk di kepala kita melalui gadget. Tapi ya itu tadi. Informasi tidak menjelma menjadi wawasan.”

Dengan itu, senada dengan Hari Samputra Agus dalam keynote speech di awal seminar, merosotnya kemampuan dan penguasaan literasi, berakibat merosotnya kemampuan dalam pemahaman dan penguasaan pengetahuan. Bisa jadi banyak tahu, namun miskin pemahaman. Akhirnya Giri Basuki berharap bahwa seminar terbatas yang terkesan sederhana ini, akan melontarkan pertanyaan-pertanyaan besar, yang pada perkembnangannya juga gagasan-gagasan besar, yang pada gilirannya akan melahirkan gerakan-gerakan besar. Dan menciptakan arus utama baru di masa depan.

Mengaktualisasikan Kembali Budaya Nusantara dan Kearifan Bangsa

Ketika Hari Samputra tadi mengatakan bahwa kemampuan literasi masyarakat dibentuk oleh lingkungan sosial dan budaya dimana warga masyarakat tersebut bermukim, maka literasi tidak hanya sebatas kegiatan personal, melainkan juga merupakan proses aktivitas sosial untuk membentuk pikiran kolektif  masyarakat dan bangsa pada umumnya. Frase kalimat di atas mengundang sebuah pertanyaan penting: Kalau begitu, faktor-faktor apakah yang mempengaruhi meningkatnya kualitas penguasaan literasi masyarakat dan bangsa kita umumnya? Atau pertanyaan sebaliknya, faktor-faktor apakah yang mempengaruhi merosotnya kualitas penguasaan literasi masyarakat kita pada saat justru teknologi dan digitalisasi semakin pesat perkembangannya saat ini?

Martiono Hadianto, mantan Direktur Pertamina era Presiden BJ Habibie, menawarkan dua kata kunci penting untuk meningkatkan penguasaan literasi tersebut tadi: Pemberdayaan Masyarakat. Mendorong sumberdaya manusia yang Kreatif dan Inovatif. Maka itu menurut Martiono, kita sebagai komponen-komponen bangsa, harus berani mengakui kenyataan pahit sejarah bangsa di masa lalu. Dengan begitu kita sebagai bangsa memahami terlebih dahulu akar penyakit yang diderita bangsa kita sampai sekarang.

Martiono Hadianto: “Dari era pra kolonial Belanda, hingga datangnya Belanda dan Jepang sebagai penjajah, hingga kita menghirup alam kemerdekaan, secara sosial masyarakat kita tidak berubah. Hanya ada dua golongan. Golongan Ndoro atau bangsawan priayi yang merasa superior dan merasa golongan penguasa, dan golongan abdia, yang berkebalikan dengan golongan yang pertama tadi, merasa rendah diri dan merasa tidak berdaya.”

Pada poin ini, Martiono menyinggung satu isu strategis yang cukup penting, jika kita serius untuk menyusun Strategi Kebudayaan Bangsa. Bahwa sejak era pra penjajahan asing Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris dan Jepang ke negeri kita, masyarakat nusantara kita saat itu sangat kuat dipengaruhi sistem sosial yang feodalistik, yang mana secara kultural struktur sosial maupun politik-nya pun didominasi oleh raja atau sultan, berikut para pangeran dan kaum bangsawan sebagai lingkar utama penopang kerajaan. Alhasil, masyarakat secara kultural tidak dikondisikan untuk punya prakarsa, apalagi untuk menjadi masyarakat yang kreatif dan inovatif di segala bidang seperti yang sudah disinggung dalam keynote speech Hari Samputra.

Namun ketika negara-negara penjajah asing tersebut masuk ke bumi nusantara, maka yang terjadi kemudian adalah bersekutunya feodalisme dan kolonialisme-imperialisme yang dilandasi paham kapitalisme monopoli untuk menguasai sumberdaya alam negara-negara di luar Eropa, mulai dari rempah-rempah sampai ke minyak dan gas bumi, hingga tambang-batubara dan emas.

Rupanya, seperti ditengarai oleh Martiono, di era pasca-kolonial, persenyawaan antara kaum feodal dan kaum koloniali-imperialisme asing belum berubah sama sekali. Bedanya, kalau dulu kaum feodal merupakan turunan darah biru kraton atau kesultanan, sekarang kaum feodal gaya baru adalah para sarjana dan intelektual, atau kaum pengusaha yang sejatinya lebih tepat disebut broker politik alih-alih pebisnis atau enterprenur sejati.

Dalam lanskap seperti itu, sangatlah logis ketika Martiono merasa pesimis jika masyarakat kreatif dan inovatif dapat tumbuh subur di negeri kita, seturut semakin pesatnya perkembangan teknologi digital. Bukankah pesatnya teknologi digital saat ini merupakan buah dari masyarakat yang kreatif dan inovatif? Maka itu Martiono dengan tegas mengatakan, perlu Pemberdayaan Masyarakat, dan Aktualisasi Budaya Nusantara dan Kearifan Lokal Bangsa. Sebab Menurut telaah Martiono, dalam konstitusi kita konsep rakyat sama sekali terabaikan.

Rusman Rusli, Direktur GFI bidang Teknologi Informasi dan Korporat, tentu saja sangat sepakat dengan bapak Martiono. Bahwa Kearifan Lokal, harus jadi dasar untuk mengaktualisasikan kembali budaya bangsa.

Husni Mubarak Raharusun, Alumni Studi Hubungan Internasional Universitas Nasional dan lulusan S-2 Universitas Pertahanan yang masih tergolong usia milenial, malah mengisahkan pengalaman risetnya yang cukup mengejutkan. Dalam risetnya terhadap kelompok separatis di Papua, ternyata kemampuan literasi masyarakat atau setidaknya para pemimpinnya, ternyata sangat bagus. Padahal mereka bermukim di daerah pedesaan. Bahkan jauh lebih bagus dibandingkan masyarakat-masyarakat kita yang berada di daerah perkotaan.

“Fenomena ini terkonfirmasi melalui penguasaan bahasa asing (inggris) mereka dalam berkomunikasi, dan pemahaman terhadap fase-fase sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, dimana sebagian besar masyarakat perkotaan tidak memahami atau bahkan tidak mengetahui sejarah tersebut, begitu yang dikisahkan putra asli Maluku Utara tersebut”

Buat Husni sendiri, hal itu cukup mengejutkan. Karena kesan selama ini kan orang-orang yang mukim di pedesaan itu serba terisolasi dari informasi, berita-berita dan perkembangan terkini, dan sebagainya. Ternyata para eksponen OPM ini dari segi wawasan sejarahnya bagus, berarti kan penguasaan literasi dalam arti menyerap dan mengolah informasi bukan saja bagus, tapi juga kritis.

Dari penuturan Husni Mubarak Raharusun, mengundang satu wawasan baru. Berarti, merosotnya kualitasi penguasaan literasi, tidak selalu otomatis akibat dari pesatnya perkembangan teknologi digitalisasi. Berarti ada sesuatu di dalam budaya bangsa kita sendiri yang perlu ditelisik ulang.

Pada poin yang disampaikan Husni Mubarak tadi, rekomendasi Martiono nampaknya menjadi penting untuk jadi bahan masukan. Bahwa para pemimpin bangsa harus mendorong Program Pemberdayaan Masyarakat sebagai prioritas nasional. Dengan itu, barulah kita bisa berharap, untuk membangun sumberdaya manusia yang kreatif, inovatif dan kritis. Sehingga dengan demikian penguasaan literasi dalam pengertian kemampuan membaca dan mengekresikan pikiran dan rasa, literasi juga merupakan jendela  menuju pemahaman, pencerahan wawasan, bahkan penemuan jatidiri. Dengan demikian literasi  juga merupakan sarana berpikir  mendalam dan kritis.

Poin pamungkas Martiono diperkuat oleh pandangan Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute yang sekaligus juga menjadi moderator dan pemantik diskusi, dengan menggambarkan success story Cina bangkit dari keterpurukan di akhir 1960-an, kemudian menggeliat sebagai negara adikuasa ekonomi baru di Asia, yang sekarang berhasil mengungguli Amerika Serika dan Eropa Barat di bidang ekonomi.

Padahal menurut Hendrajit, Cina bangkit dari keterpurukan di era 1960an sama sekali tidak bertumpu pada ekonomi sebagai fondasinya. Begitu Deng Xiaoping berkuasa menggantikan Mao Zhe Dong, mencanangkan Empat Program Modernisasi (Pertanian, Industri, Ilmu-Pengetahuan dan Teknologi, dan Pertahanan). Jadi, dalam program unggulan Cina tersebut sama sekali tidak ada kosa kata ekonomi. Lantas apa sejatinya Empat Program Modernisasi tersebut? Strategi Kebudayaan Mencinakan Kembali Komunis dengan bertumpu pada empat komponen strategis bangsa Cina tersebut. Hasilnya? Saat ini devisa negara Cina sebesar 3000 triliun dolar AS. Dengan begitu, ekonomi adalah buah keberhasilan, bukannya benih atau bibit kemajuan Cina saat ini.

Sebab, menurut Hendrajit, melalui Empat Program Modernisasi tersebut, pemerintah Cina sejak era Deng hingga Xi Jinping saat ini, tanpa gembar-gembor dan retorika, pemerintah Cina sejatinya membangun apa yang ada dalam benak Martiono tadi. Pemberdayaan Masyarakat dengan mengaktifkan dan mengaktualisasikan Kearifan Lokal masing-masing daerah di Cina. Alhasil, Cina saat ini berhasil berkembang maju sebagai negara adikuasa, tanpa meniru Skema Pembangunan Negara-Negara AS dan Eropa Barat.

Perspektif Martiono, nampaknya mendapat respons yang cukup beragam. Setyo Wibowo dan Dahniel Akbar, yang belakangan menaruh perhatian pada ketahanan nasional di bidang sosial-budaya, sepakat bahwa untuk mewujudkan gagasan Martiono, budaya nusantara atau kearifan lokal kita harus direvitalisasikan kembali. Namun jangan hanya dilestarikan asal supaya jangan punah, tapi kemudian dimuseumkan.

Lagi-lagi merujuk pada keberhasilan Cina, Hendrajit dalam merajut simpul-simpul penting yang berkembang selama diskusi, sebelum menutup sesi perbincangan yang sudah berlangsung selama tiga jam itu, mengajak para peserta diskusi dan narasumber untuk menginspirasi dari Cina dan India. Bahwa seturut modernisasi di bidang ekonomi, industri dan ilmu pengetahuan-tekonologi, namun sejarah bangsa tetap dihadirkan sebagai sumber inspirasi menjawab tantangan zaman.

Dengan begitu, kita tidak larut ke masa lalu, atau larut dalam kekinian, namun sebagai orang-orang modern kita tetap hidup bersama sejarah bangsanya. Dengan begitu, menjadi orang Indonesia yang modern, justru semakin kuat identitasnya sebagai bangsa. Semakin modern, maju dan mandiri, justru kita semakin kuat jatidir bangsanya.

Rekomendasi

  1. Dalam upaya menggali dan mengaktualisasikan kembali budaya bangsa kita sendiri, perlu kajian lebih mendalam mengenai persisnya seperti apa yang dimaksud budaya bangsa, dan seperti apa yang dimaksud dengan frase kalimat “budaya nasional merupakan puncak-puncak kebudayaan daerah.”
  2. Menyadari kenyataan bahwa penguasaan literasi masyarakat erat kaitannya dengan kondisi geografis daerahnya, kiranya perlu Gerakan Sadar Geopolitik dikumandangkan baik pada tingkat nasional maupun daerah, dan ditujukan kepada berbagai komponen bangsa.
  3. Fakta bahwa penguasaan Literasi erat hubungannya dengan Teknologi dan Seni-budaya, maka selain pendidikan dan pelatihan di bidang geopolitik, kiranya penting juga menggali isu-isu strategis terkait sosial-budaya dan sejarah bangsa.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com