Dalam pembelajaran geopolitik sering dan tidak luput adalah istilah Isu, Tema dan Skema (ITS) yang bagian dari matarantai skenario imperialisme.
Sepatutnya kita belajar dari pengalaman Arab Spring, dimana negara-negara imperialis seperti Amerika dan Inggris turut terlibat dalam mengamankan kepentinganya, terutama minyak yang ada di Timur Tengah. Masakan skenario justru sangat soft tapi bisa menghancurkan beberapa negara yang strategis berada di kawasan jalur perdagangan minyak tersebut. Malapetaka dalam kebangkitan Arab/Arab Spring memicu gelombang protes dari negara di sekelilinginya. Pemberontakaan Tunisia, Pemberontakan Mesir, Pemberontakan Sudan, Pemberontakan Libiya, Pemberontakan Oman, Yaman dan Yordania. Lantas pertanyaanya kenapa sekali mengendus skenarionya sekejap gelombang konflik merebak kemana-mana, terutama dalam lingkaran Timur Tengah.
Sejatinya konflik ini sudah bagian dari line of program yang dipersiapkan jauh-jauh hari oleh para negara Super Power AS dan Inggris, Jadi semua negara yang bertikai berada dibawah klik/control mereka.
Merujuk ke Suriah sebagai urgensi dari muatan pemahaman geopolitik. Dimana Suriah dirancang menjadi medan pertempuran (proxy war). Perang saudara Suriah adalah sebuah konflik bersenjata berbagai pihak di ranah sipil dengan diskenariokan langsung oleh Komando AD Amerika Serikat plus CIA dan MI6 Inggris.
Kerusuhan tumbuh sejak protes kebangkitan dunia Arab tahun 201, dan meningkat ke konflik bersenjata setelah kekerasan atas protes kepada Pemerintah Presiden Bashar al-Assad untuk menekan pengunduran dirinya.
Perang melibatkan Pemerintah Suriah, kelompok aliansi longgar pemberontak Arab Suriah, Pasukan Demokratik Suriah, kelompok jihaidst Salafi (termasuk Front al-Nusra), dan Negara Islam Irak dan Syam (ISIL). Semua pihak menerima dukungan besar dari aktor asing.
Protes ini menggunakan teknik pemberontakan sipil dalam kampanye yang melibatkan serangan, demonstrasi, pawai, dan pemanfaatan media sosial, seperti Facebook, Twitter, YouTube, dan Skype, untuk mengorganisir, berkomunikasi, dan meningkatkan kesadaran terhadap usaha-usaha penekanan dan penyensoran internet oleh pemerintah.
Akan tetapi konflik Suriah ini hanya bagian dari skema untuk mengamankan kawasan geostrategi. Karena Suriah berada di simpul jalur sutra (Silk Road) selain itu Suriah sendiri merupakan lintasan jalur perdagangan dunia, didalamnya terdapat rute aliran minyak, gas dan energi yang tepat pada posisi geografi Suriah. Sama halnya, menguasai suriah berarti bisa menguasai separuhnya, jalur sutra (Silk Road).
Isunya pemberontakan Massa Temanya pelanggaran HAM, dimana keterlibatan milisi-milisi bersenjata dari penjuru dunia, namun tujuan akhirnya adalah Skema penundukan kawasan Geo-Ekonomi.
Lantas bagaimana dengan Asia?
Saya lebih suka menyebutnya BABAK BARU ASIA SPRING/Kebangkitan Asia. Konflik global pergeseran geopolitik dari Timur Tengah, Atlantik, Asia Tengah ke Asia Pasifik.
(Ini) Sangat berdampak pada kondisi pangan dan energi di Indonesia. Seperti dikatakan mantan Secretaris Negara AS, Henrry Kesingger: Control Oil and you Control Nations, Control Food and you Control The People” – Apabila kendalikan minyak/energi (oil) berarti bisa mengendalikan Negara/Bangsa (nations) dan jika kontrol Pangan (food) maka akan mengontrol Rakyat (the people).
Itulah sudah sepatutnya negara-negara Asia Tenggara terutama Indonesia, harus dan belajar dari pengalaman yang terjadi di belahan dunia lain. Apalagi Indonesia sendiri yang pernah didatangi tamu tak diundang yakni AS dan Inggris plus Jepang di PD-II.
Konflik geoekonomi di Asia Tengah dan bergeser ke Asia Pasifik dimulai dengan perselisihan di Laut Cina Selatan. Negara Super Power AS dan Inggris yang tadinya sebagai pemain kunci (key player) justru memainkan perannya di kawasan Asia-Pasifik.
Jika kita telisik kembali tepat dipertengahan tahun 2015, kebijakan Departemen Luar Negeri AS dibawah pengaruh Barack Obama menginstrusikan agar AS dengan slogan Pivot to Asia atau Poros to Asia, segera menjadikan Asia sebagai masa depan imperium, guna mempertahankan kekuasaan ekonomi dunia lewat lembaga-lembaga seperti IMF, WTO dan Bank Dunia-WB.
Jadi Poros to Asia atau Pivot to Asia sejatinya adalah kembali kembali membuka jalur/rute perdagangan baru, yakni Asia Pasfik setelah Timur Tengah.
Menariknya peran yang sama dilakukan oleh AS dan sekutunya sebagai pemain kunci (key players), seperti di Timur Tengah (Lihat: Arab Spring), namun ambisi itu tidak berjalan sesuai rencana. Justru lantaran mendapat tantangan yang hebat oleh pesaingnya yang lebih dulu merumuskan kebijakan pengamanan jalur sutra (Silk Road) yakni Cina untuk menghadapi AS.
Babak baru Asia Spring/Kebangkitan Asia, jatuh pada wiliayah Laut Cina Selatan. Poinya bahwa di kawasan ini, menentukan sistem matarantai ekonomi, produksi, distribusi, dan komsumsi untuk masa depan Asia.
Dari mode Arab Spring, Tema gerakan massa dipakai sebagai instrumen untuk menciptakan konflik. Ketika geoekonomi bergeser ke Asia dan Pasifik yang notabenenya adalah daerah Heartland Economi dunia.
Langkah awal Justru laut Cina Selatan yang dituju, layaknya seperti Suriah. Upaya awal menuju Babak Baru Asia Spring.
NCoV-19/Pendemi global, menutupi hakikat perang yang sebenarnya. Sekedar perang biologis (Bio War) sebagai penggelabuan isu (Deception Issue), namun hakikatnya adalah dampak dari perang dagang (Trade War), AS dan Cina.
Didalam terdapat lembaga-lembaga yang ikut bermain dalam konflik NCoV-19 ini, misalkan National Health Security (NHS), Yayasan Bill Gates & Melinda Gates dan John Hopkins Univercity.
Berbeda dengan konflik Timur Tengah yang bertikai hanya di semenanjung negara-negara Arab. Sementara konlik Laut Cina Selatan ini mampu memicu gelombang kisruh sosial di seluruh dunia lewat modus perang biologi (Bio War), yakni NcoV-19/Pendemi Global.
Kisruh NcoV-19 melibatkan negara-negara yang pada taraf tertentu mengabdi pada dua negara ini, AS dan Cina. Terutama negara Eropa Barat dan Timur serta Asia.
Indonesia dalam Lingkaran NCOV-19 dan Penaklukan Pangan serta Eenergi
Kedua Adidaya ini meletakkan Indonesia sebagai perwalian pasar perdagangan (proxy trade). Sembari menanam lahan produksi dan jaminan penjaga pintu asia di Pasifik. oleh sebab itu, setelah konflik Laut Cina Selatan justru berembes sampai ke Selat Malaka ,Natuna bahkan ke Port Darwin meliputi Semenanjung Hindia dan Pasifik.
Anehnya para aktor strategis di masing-masing negara punya andil politik yang sulit diteropong, semisalkan dalam dua kali pertemuan Patrick Sanahan (Menhan AS), Wei Fenghe (Menhan Cina) dan Prabowo Subianto (Menhan Indonesia) di akhir 2019 lalu, yang dalam agenda tersebut kosentrasi pada militerisasi perbatasan dan memasifkan Industri Technologi.
Seperti halnya yang dikemukakan seorang ekonom asal Kanada Michel Cossudovsky, NcoV-19 adalah proyek menuju ekonomi baru yang jadi persaingan anatara AS dan Cina, yakni Technologi 5G atau ID 2020 tepat di tahun 2020.
Indonesia N-CoV-19 sekali mengendus merubah pola pikir massa/publik, sebab berada dalam ketakutan massal, akhirnya luput dari tuntutan awal dan apa yang harus dipertahankan sebagai hajat hidup (energi dan pangan) oleh rakyat Indonesia.
Sederhananya adalah bahwa kali ini IMF datang dengan Development Finance Coorporation (DFC) sebagai lawan dari MP3EI. Jadi OmbnibusLaw yang sementara mengancam parah tenaga kerja (buruh), alias penekanan upah, PHK besar-besaran, penggusuran lahan (land grabbing) dan lain sebagainya. Tujuanya sekedar memperkecil ruang oligarki financial Cina dan memperlebar ruang expansi investasi AS yang sementara bertikai.
Seperti yang dikatakan Menko Kemaritiman dan Investasi RI dalam pertemuan Unite State strategi Dialogue antara indonesia dan AS, sangat optimis dengan melibatkan lembaga swasta Devopment Financial Coorporation (DFC) untuk berinvestasi di Indonesia lewat investasi AS: Chervon, Drone, Boeing, Mobil Listrik, OmbnibusLaw dan perpajakan.
Dan bagaimana hal ini bisa terlaksanakan dengan sistematis, bisa kalau NcoV-19 sudah direduksi secara total oleh massa, sebagai suatu kenyataan tanpa memiliki hakikat dibalik itu, maka semua skenario akan dengan mulus bisa capai pada tujuan.
Justru yang harus kita lihat bukan semata pertikaian modal semata, akan tetapi naik satu level yang disebut sebagai perang kawasan (War of Fleet), alias membuka sejarah baru Asia Spring.
V. Stoevsky