Sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang sangat berkepentingan dengan Laut Cina Selatan, Filipina merasa terancam dengan keberadaan kapal ‘milisi maritim’ Cina yang sekarang tersebar di wilayah yang lebih luas di dalam zona ekonomi eksklusif Filipina.
Pihak Filipina bersama dengan AS melalui pejabat seniornya membahas keprihatinan mereka atas aktivitas kapal-kapal Cina yang sedang “beroperasi” di Laut China Selatan yang selama ini selalu disengketakan. Melalu pembicaraan telepon belum lama ini, pihak Gedung Putih mengatakan bahwa kapal “milisi” Cina telah menyebar melintasi perairan yang selama ini menjadi bagian dari kedaulatan Filipina.
Menurut pernyataan Gedung Putih, Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan dan Penasihat Keamanan Nasional Filipina Hermogenes Esperon sepakat bahwa Washington dan Manila akan terus melakukan koordinasi dalam merespons pelbagai potensi ancaman Cina di di Laut Cina Selatan.
“Sullivan menggarisbawahi bahwa AS mendukung sekutu Filipina kami dalam menegakkan tatanan maritim internasional berbasis aturan, dan menegaskan kembali penerapan Perjanjian Pertahanan Bersama AS-Filipina di Laut Cina Selatan,” dalam pernyataan tersebut sebagaimana di sampaikan Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional, Emily Horne.
Dalam pembicaraan tersebut, dinyatakan bahwa armada kapal dari “milisi maritim” Cina, yang menjadi akar perselisihan diplomatik dengan Beijing pekan lalu, sekarang tersebar di area yang lebih luas di dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE) Filipina.
Kakhawatiran Manila pun sangat beralasan mengingan bahwa kedaulatan wilayahnya atas pulau-pulau berikut jalur laut yang mengelilinginya harus bebas dari potensi ancaman dari negara mana pun juga, termasuk Cina. Manila pun geram dan menuding bahwa keberadaan kapal-kapal Cina tersebut telah melanggar hukum karena menduduki kedaulatan wilayahnya.
Filipina juga mendesak Cina untuk segera menarik kapal-kapalnya yang dinilai digunakan untuk “membangun dan membentuk formasi” di daerah “berbahaya bagi navigasi dan keselamatan kehidupan di laut”.
Pekan lalu terungkap bahwa sebanyak 200 kapal, yang diyakini milik milisi Cina berlabuh di Whitsun Reef, sekitar 320 kilometer (175 mil laut) sebelah barat Pulau Palawan, dan di ZEE Filipina seperti yang ditetapkan oleh Pengadilan Arbitrase Internasional.
Lebih Banyak Kapal Terlihat
Manila sebelumnya telah memerintahkan Beijing untuk menarik kapal-kapalnya dan menyebut kehadiran kapal-kapal tersebut dinilai sebagai ke wilayah kedaulatannya, yang selama ini disebut sebagai Laut Filipina Barat.
Atas tudingan Filipina menyusul tersebarnya “milisi maritim”nya, Cina yang selama ini mengklaim hampir seluruh Laut Cina Selatan, menyatakan kapal-kapal itu adalah kapal penangkap ikan yang berlindung dari cuaca buruk.
Sebaliknya Manila pun menegaskan kapal-kapal tersebut berasal dari milisi maritim Beijing, yang sering dituduh melakukan operasi militer rahasia di daerah tersebut.
Patroli udara dan laut Filipina lebih lanjut mencatat bahwa dalam sepekan ini, ada 44 kapal berbendera Cina yang tetap berada di terumbu berbentuk bumerang, kata satuan tugas militer Filipina yang bertugas memantau perairan yang disengketakan. Lebih dari itu saat ini ada sekitar 210 kapal-kapal Cina “mengerumuni” terumbu dan pulau lain di daerah itu.
Namun militer Filipina mengatakan pihaknya tidak dapat memastikan apakah 92 kapal yang terlihat di Chigua Reef dan 84 di Gaven Reef adalah bagian dari armada yang dimaksudkan.
Sementara Beijing sering menggunakan istilah “sembilan garis putus-putus” untuk membenarkan klaimnya atas sebagian besar Laut Cina Selatan dan telah mengabaikan keputusan pengadilan internasional tahun 2016 di Den Haag yang memutuskan bahwa pernyataan tersebut tidak memiliki dasar.
Dalam beberapa tahun terakhir, Cina telah mengubah terumbu karang di kepulauan Spratly menjadi pulau buatan, membangun fasilitas dan peralatan angkatan laut dan udaranya. Salah satunya adalah Mischief Reef – yang juga diklaim Filipina – di mana satuan tugas tersebut mengatakan 4 kapal angkatan laut Cina terlihat jelas selama patroli.
Dalam sebuah posting media sosial pada hari Kamis, Menteri Luar Negeri Filipina, Teodoro Locsin, juga menegaskan bahwa fitur apa pun di ZEE Filipina adalah “milik kami”, bahkan fitur-fitur dengan struktur Cina kekali pun.
Terkait dengan perselisihan Filipina dan Cina, kedua negara tersebut diperkirakan akan mengadakan pertemuan. Dalam hal ini, pihak Filipina yang diwakili Locsin akan berada di Beijing minggu ini untuk pertemuan terjadwal dengan Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi.
Sejumlah negara, termasuk AS telah menyatakan keprihatinannya atas ketegangan baru di kawasan itu. Perjanjian Pertahanan Bersama AS-Filipina mewajibkan kedua belah pihak untuk saling mendukung jika terjadi serangan dari pihak luar. Kanada, Australia, Jepang, dan lainnya juga telah menyuarakan keprihatinan tentang niat Cina. Belum lagi negara-negara seperti Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, Cina, dan Vietnam sama-sama memiliki klaim teritorial di Laut Cina Selatan, yang selama ini menjadi jalur perdagangan global utama yang juga kaya akan sumber daya alam.
Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute (GFI)