Seorang pemikir dan sarjana sosiologi terkemuka dari Meksiko, Gonzalez Casanova, memperkenalkan istilah baru: internal kolonialisme (kolonialisme intern). Istilahnya dihubungkan dengan keadaan Meksiko setelah merdeka, ketika golongan campuran (Mestizo) menggantikan kedudukan penjajah lama, dalam hubungan dengan orang Indian.
Tesis ini kemudian banyak dicoba dicarikan persamaannya dengan perkembangan negara-negara baru di Asia, Afrika dan Latin Amerika. Dengan begitu, ingin dikesankan bahwa satu golongan atau suku atau bagian besar penduduk dari suatu negara, menjadi korban dari kolonialisme yang dilakukan oleh suku atau bagian lain dari negara yang sama. Bahkan di negara maju, contohnya dapat dicari, yakni di Kanada, di mana golongan berbahasa Perancis di Quebec merasa menjadi korban “kolonialisme intern” dari minoritas berbahasa Inggeris yang menguasai ekonomi propinsi tersebut.
Bekas Spanyol
Karena sama-sama pernah jadi jajahan Spanyol, tesis ini bisa juga diusahakan kaitannya di Asia Tenggara dengan masalah Filipina Selatan. Dengan demikian, dapat ditimbulkan kesan, bahwa pada dasarnya Filipina bagian selatan (khususnya Mindanao, Sulu, Palawan) menjadi korban dari saudara-saudaranya di bagian Utara. Kalau soal agama sudah ikut jadi bahan pertimbangan, tidak banyak yang akan menolak kebenaran tesis “kolonialisme intern” tadi.
Tapi, kalau diperhatikan benar-benar, persoalan Filipina Selatan jauh lebih kompleks dari sekedar masalah “kolonialisme intern.” Memang benar bahwa migrasi dari Utara sudah berlangsung lama ke Selatan, sehingga dalam referendum baru-baru ini jumlah pemilih yang migran atau keturunan migran merupakan suara mayoritas. Mereka datang dengan membawa pengetahuan hukum sehingga dengan mudah memperoleh hak legal atas pemilikan tanah dari penduduk asli.
Dari sudut itu, aspek kolonialisme ada benarnya. Di mana-mana, penjajahan oleh orang Eropah memakai sistim perundang-undangan sebagai senjata ampuh untuk menguasai tanah. Aspek kolonialisme lainnya yang kentara adalah dengan sistim pendidikan. Walaupun universitas didirikan di Mindanao, kurang dari 20 persen mahasiswa berasal dari penduduk asli dan beragama Islam. Sebagian besar diisi anak-anak migran dari Utara, hal mana membuat mereka dengan cepat mendapat kedudukan yang baik di pemerintahan.
Aspek lain dari “kolonialisme intern” adalah eksploitasi ekonomi atas wilayah tersebut oleh bagian Utara. Mindanao dikenal sebagai pusat pemotongan kayu di tahun 1960-an, dengan akibat hutan-hutan di pulau tersebut banyak yang gundul sekarang. Ini dikerjakan oleh perusahaan-perusahaan yang berpusat di Manila atau didukung oleh modal dari ibukota tersebut. Ini juga berarti hasil daerah tersebut banyak dipakai dan diambil orang-orang dari luar wilayah Filipina Selatan. Mungkin juga ini dekat kaitannya dengan eksploitasi .pada masa kolonialisme ekstern, ketika hasil bumi jajahan dipakai untuk menjaga taraf hidup tinggi di negara-negara penjajah.

Generasi Baru
Tapi, ada perbedaan pokok antara tesis “kolonialisme intern” dan kenyataan di Filipina Selatan. Dalam tesis “kolonialisme intern,” perbedaan ras sangat menonjol, misalnya antara golongan Mestizo dan Indian di Meksiko. Ini menyebabkan “kolonialisme intern” sekaligus mencakup diskriminasi dan eksploitasi atas dasar kulit dan ras. Di Filipina Selatan masalahnya tidak demikian.
Walaupun berbeda dari sudut agama dan pendidikan, migran dari Utara mengadakan perjanjian dengan pemuka-pemuka Muslim Mindanao dan Sulu. Mereka ini pada umumnya aristokrat lokal yang merupakan elite penduduk Muslim di Selatan. Dengan begitu, mereka sekaligus merupakan kaitan antara kaum Muslim di Selatan dengan dunia luar: dengan migran dan dengan pemerintah pusat di Manila. Banyak dari mereka menjadi tokoh politik, seperti halnya bekas Senator Pendatun. Sebelum Deklarasi Keadaan Darurat bu lan September 1972, kaum elite Selatan ini tidak kalah kayanya dari rekan-rekannya dari Utara.
Dengan keadaan darurat, Marcos sekaligus mempertajam tuntutan otonomi dari Bagian Selatan. Salah satu akibat keadaan Darurat adalah sentralisasi di semua bidang kehidupan. Di bidang politik, kaitan antara kaum Muslim di Selatan dengan pemerintah pusat lebih banyak melalui birokrasi pemerintahan, apalagi setelah Parlemen tidak berfungsi. Dan karena keunggulan di bidang pendidikan, birokrasi ini dikuasai kaum migran dari Utara yang rata-rata beragama Kristen.
Keadaan darurat juga menyebabkan tambah besarnya peranan pihak militer, di mana golongan Muslim hampir-hampir tidak terwakili terutama dalam korps perwiranya. Demikian pula hancurnya lembaga-lembaga politik setelah keadaan darurat, telah memutuskan kaitan yang ada antara pemerintah Pusat dengan kaum Muslim yang selama ini di tangan aristokrat Mindanao-Sulu. Di kalangan golongan Muslim terjadi pula perobahan besar.
Perobahan ini sekaligus dari sudut generasi, orientasi dan lapisan sosial. Pemimpin-pemimpin tua gaya lama dianggap tidak mampu lagi mewakili aspirasi kaumnya, apalagi setelah Marcos menghancurkan posisi institusi mereka. Timbullah generasi muda seperti Nur Misuari, lulusan universitas, berasal dari lapisan bukan aristokrat dan memakai segala jalan untuk usahanya. Kalau generasi túa menoleh ke Manila dan berjuang secara parlementer, generasi mudanya menoleh ke Libia dan Sabah serta menganjurkan kekerasan.
Sentralisasi yang kuat sejak zaman keadaan darurat, membuat tugas mereka lebih gampang dalam merekruit anggota anggotanya. Barangkali, ironi paling besar dari usaha referendum beberapa bulan yang lalu terletak dalam kenyataan, bahwa otonomi dan keadaan darurat adalah dua hal yang bertolak-belakang. Dari sudut ini, tuntutan Nur Misuari di Filipina Selatan tampaknya tidak jauh berbeda dengan cara meng akhiri “kolonialisme intern”nya Casanova. Yakni otonomi dalam bidang politik, desentralisasi di bidang ekonomi, khususnya dalam memanfaatkan sumber-sumber alam yang dieksploitir di wilayah tersebut.
Dr Burhan Magenda, pakar politik Universitas Indonesia. Sumber: TEMPO, 22 Oktober 1977 Th. VII No. 34
Facebook Comments