Gara-Gara Gerakan 30 September 1965, Hajatan Besar Bung Karno Alami “Keguguran”

Bagikan artikel ini

PKI terlibat Gerakan 30 September 1965 memang masih bisa diperdebatkan. Celakanya, ditelisik dari berbagai fakta yang ada dan dari sudut pandang manapun, Aidit, bersama Sam Kamaruzaman, rasanya sulit dibantah memang terlibat, melalui Biro Chusus (BC).

Kedua, Aidit dan Kamaruzaman, terlepas seberapa solid persekutuan mereka sebagai kader PKI, keduanya menganut teori yang sama.

Teori yang mereka berdua anut adalah: Dengan mengambil-alih kekuasaan dengan dukungan 30 persen tentara, maka kudeta tersebut bisa bermutasi menjadi revolusi. Artinya, mereka berdua berkeyakinan bahwa kudeta dulu, baru revolusi menyusul.

Pandangan teoritis Aidit dan Sam ini, tentunya bertentangan dengan konsepsi dan teori Marxisme manapun,terlepas mau mereka itu marxist Leninis kek atau Maois kek. Pro Beijing atau pro Moskow ke.

Kalau mereka Marxis sejati, pasti menganggap Aidit telah mengalami halusinasi politik. Karena dalam konsepsi teoritis kaum Marixis, harus ada dua prasyarat dulu untuk lancarkan revolusi. Pertama, adanya kemauan rakyat yang meluas dan mengakar untuk melakukan perubahan. Kedua, harus ada kondisi obyektif yang memenuhi syarat. Dan ketiga, dukungan minimal 30 persen dari unsur tentara.

Dan Aidit maupun Sam Kamaruzaman, entah apa yang ada di benak mereka berdua ketika itu, meyakini tiga prasyarat itu sudah terpenuhi. Sehingga yakin bahwa pengambil-alihan kekuasaan melalui penyingkiran 6 pucuk pimpinan Angkatan Darat, revolusi bisa dilancarkan.

Ternyata keyakinan tersebut tidak bertumpu pada kenyataan politik pada waktu itu. Kemauan rakyat untuk mengubah keadaan secara mendasar belum ada, kondisi obyektif untuk memantik gerakan juga belum ada. Apalagi dukungan 30 persen dari tentara.

Serangan balik Suharto terhadap gerakan 30 September 1965, apapun motivasi maupun sejauhmana informasi yang dia ketahui mengenai adanya rencana Aidit dan Sam beberapa waktu sebelumnya, telah menggugurkan tesis utama Aidit bahwa tentara ada di belakang mereka.

Dan akibatnya, hanya gara-gara inisiatif Aidit dan Sam yang kebetulan mengendalikan daerah jantung kekuasaan Partai Komunis Indonesia (PKI), bukan saja seluruh kader partai palu arit tersebut jadi sasaran amukan massa. Bahkan orang-orang yang sejatinya merupakan pendukung setia dan pengikut ajaran Bung Karno, kemudian di-PKI-kan.

Pelajaran penting dari sejarah kelam 30 September 1965, dalam berpolitik jangan sekali-sekali bertumpu pada ilusi dan halusinasi politik. Kedua, jangan bertumpu atau mengandalkan pada isu. Seperti keyakinan Aidit dan Kamaruzaman bahwa adanya Dewan Jenderal yang didukung Amerika Serikat memang nyata adanya dan bukan rumor.

Kalau kita mau menempatkan wacana permintaan maaf Presiden terkait Gerakan 30 September 1965, bukan kepada PKI Jokowi harus minta maaf. Melainkan kepada berbagai kalangan ketika itu yang di-PKI-kan gara-gara kejdian itu, sehingga terputuslah mata-rantai antara latarbelakang-akibat-dan pengaruh dari kejadian tersebut.

Apa pengaruh yang paling merusak dari kejadian itu? Jelas.

Beberapa program strategis Bung Karno untuk membangun sebuah kutub kekuatan baru berbasiskan negara-negara berkembang yang baru merdeka (NEFOS), yang rencananya akan digelar pada Agustus 1966, akhirnya mengalami keguguran sebelum sempat lahir.

Karena akibat dari rentetan kejadian 30 September dan sesudahnya, Bung Karno pada 1967 dipaksa mundur, meski beliau tidak terlibat. dan 3 tahun setelah itu, beliau wafat pada 1970.

Karena itu patut kita renungkan kembali pernyataan Bung Karno yang menggarisbawahi kegagalan Gerakan 30 September. Antara lain, keblingernya para pimpinan PKI. Dan jelas menurut saya yang beliau maksud adalah Aidit dan Sam. Kedua, adanya skenario Nekolim (Terutama Amerika Seriakt dan Inggris).

Untuk menutup tulisan singkat ini, ada baiknya saya sampaikan kembali Percakapan Ekslusif Ganis Harsono dan Brigjen Sabur pada April 1965. Brigjen Sabur, selain merupakan Komandan Resimen Cakrabirawa/pasukan kawal istana yang juga merangkap sebagai Ajudan Senior Presiden Sukarno.

Sedangkan Ganis Harsono, sejak 1958 merupakan jurubicara Departemen Luar Negeri di bawah Menteri Luar Negeri Dr Subandrio. Saat percakapan tersebut, Ganis juga merangkap sebagai Wakil Menteri Luar Negeri.

Mengingat percakapan ini terjadi pada April 1965, saya kira merupakan fakta sejarah yang tak boleh dikesampingkan oleh para sejarawan dalam mengkaji penyebab munculnya Gerakan 30 September 1965.

Berikut percakapan Ganis dan Brigjen Sabur:

Ganis Harsono (GH): Menurut dugaan anda, apakah akan terjadi sesuatu Bur?

Brigjen Sabur (BS): Tidak Ganis, keadaan kita kuasai sepenuhnya. Bapak sudah dapat menguasai sepenuhnya ke-10 partai politik dan semua organisasi massanya yang berjumlah seratus itu. Semuanya menyokong kebijksanaan politik Bapak, sehingga dengan demikian beliau dapat memperlihatkan kepada semua tamunya, bahwa Jakarta memang pantas untuk menjadi pusat yang keempat dari dunia.

GH: Coba, bagaimana jelasnya, anda berbicara samar-samar.

BS: Ganis, menurut saya anda tidak bisa dapat fakta yang nyata dalam keadaan politik internasional seperti sekarang ini. Tapi pada hari itu Bapak punya pikiran yang blak-blakan dengan mengatakan bahwa dalam waktu 10 tahun lebih sedikit, dunia akan terbagi dalam tiga kelompok ekonomi, kecuali kalau kita berbuat sesuatu.

GH: Ah, menurut saya cuma ada dua kelompok. Dunia Bebas dan Dunia Komunis.

BS: Itu pikiran streotip dari seorang diplomat, cara berpikir seperti itu sudah ketinggalan zaman kalau bukan kuno. Begini saja! Akan ada kelompok ekonomi Amerika Serikat, Seluruh Amerika akan jatuh ke dalam daerah pengaruhnya. Kemudian kelompok ekonomi Uni Soviet, Eropa, dan Afrika akan berada di bawah pengaruhnya. Yang ketiga, kelompok ekonomi Cina. Asia dan Australia akan berada di bawah pengaruhnya.

GH: Ah, apa bisa saya percaya itu?

BS: Ganis, terserah anda. Saya hanya menceritakan apa yang saya dengar.

GH: Jadi menurut teori itu Bur, Indonesia akan jatuh ke dalam pengaruh kelompok Cina?

BS: Mungkin demikian, tapi Indonesia tidak akan. Bapak sudah punya jawaban untuk itu. Kata Bapak, Indonesia dengan penduduknya yang lebih dari seratus juta jiwa (data pada 1965), bersama-sama dengan negara-negara yang baru bangkit akan membangun kelompok sendiri.

GH: Kok sesederhana itu, Pak Jenderal?

BS: Betul, justru karena sederhana itulah, Bapak akan terus mengusahakannya. Perhatikan omongan saya ini.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com