M Arief Pranoto, Pemerhati Masalah Internasional dari Global Future Institute (GFI)
Pertanyaan lanjut : Apa hidden agenda berbagai bocoran info WikiLeaks, yang sebelumnya ternyata sudah melalui seleksi dan editing dari pemerintah AS sendiri? Jawabannya semakin jelas, yaitu provokasi dan adu domba negara-negara yang dibidiknya. Namun agaknya, provokasi Assange terhadap Korea Utara versus Cina agar meletus konflik di internal negeri komunis, bertepuk sebelah tangan — kedua negeri komunis tersebut tetap “saling mencinta”. Demikian juga adu domba di Timteng antara Iran dengan Saudi Arabia pun tak bersambut. Bahkan Ahmadinejad menyambut dingin, “Negara-negara di kawasan (Timur Tengah) itu seperti sahabat dan saudara. Informasi yang menyimpang tidak akan mengganggu hubungan mereka”.
Setiap TUJUAN niscaya meminta KORBAN. Itu sudah lazim pada dunia politik level apapun serta dimanapun. Tak ada kawan dan lawan abadi kecuali kepentingan. Contohnya di Mesir. Sekilas terlihat bahwa AS dan sekutu hendak mengorbankan Israel dan “boneka”-nya Mubarak, meski ia mengirimkan El Baradei sebagai sosok alternatif bergabung dengan Ikhwanul Muslimin (IM) yang nyata-nyata anti AS dan Barat. Aneh bin ajaib. Apakah ini permainan “politik dua kaki” (politik pemanfaatan), selain mendukung rezim penguasa juga merangkul oposisi untuk tujuan mengamankan kepentingan nasionalnya; atau AS cuma ingin “memetakan” kekuatan kelompok dan golongan yang tengah bertarung?
Membaca konflik Timteng dan negeri di seputaran Jalur Sutra, memang butuh kejelian tinggi sebab banyak fakta tak logis muncul diluar kelaziman. Mengurai akar pergolakan yang tengah berlangsung — perlu menjauh dari hiruk-pikuk persepsi serta menjaga jarak sama dengan semua kepentingan. Agar kronologis hikmah terurai mendekat kebenaran, bukan mengada-ada.
Tampaknya AS dan sekutu boleh tersenyum kecil tatkala provokasi di Tunisia mampu membakar massa hingga Presiden Ben Ali terbirit-birit. Disinyalir, ini adalah hasil Tahap II dari “remot” AS di kejauhan, setelah Tahap I yakni bocoran WikiLeaks ditebar. Memang, kendati Tahap I gagal memprovokasi Asia dan Timteng — namun relatif berhasil menyulut Tunisia via isue korupsi dan kemiskinan. Sedang bagi AS sendiri, tsunami politik Tunisia yang menjalar di negeri sekitarnya ialah awal penerapan Provincial Recostruction Team (PRT), yakni methode penjajahan era 1970-an doeloe yang telah ditinggalkannya (Baca lebih detail PRT di www.theglobal-review.com).
Ketika “slulup” lagi atas perubahan methode invasi militer ke PRT, salah satu penyebab pokoknya ialah budget besar dalam invasi, sedang proses balik modal dan keuntungan penanaman saham memakan waktu relatif lama. Agaknya Paman Sam belajar dari pahitnya “kegagalan” di Iraq dan Afghanistan yang memakan waktu relatif lama (2001 – sekarang). Meski tercatat sebagai perang terlama, akan tetapi tak sebarel pun minyak tereksploitasi dari kedua negara, sementara budget perang terus membayangi. Inilah yang sejatinya terjadi. (Mungkin) ini juga penyebab utama kebangkrutan ekonomi yang berefek domino disana-sini, terutama negara yang terjerat sharing saham (NATO dan ISAF), meski hal itu tak diakui dengan cover subprime mortgage (kredit macet perumahan) dan skandal Bernard Madoff menilep saham banyak orang. Itulah pertimbangan mendasar, mengapa AS mengubah pola dan methode penjajahan.
Memang PRT tak membutuhkan banyak biaya jika dibanding invasi militer. Istilah ibu-ibu, murah meriah! Buy one get three. Ya, PRT adalah bagian dari Volk Organization Company (VOC) yang merupakan modifikasi terbaru devide et impera, mehode tertua koloni AS dan sekutu dengan berbagai cara dan kemasan di dunia (Baca lebih detail VOC di www.theglobal-review.com). Dimana inti VOC adalah bagi-bagi proyek dan tersirat ruh adu domba di dalam suatu negara/daerah agar kendali tetap di tangan pemilik modal.
Namun di luar perkiraan AS dkk, methode VOC dan PRT yang diterapkan ternyata out of control (lepas kendali) karena ketiadaan dana. Ketika mantra kapitalis menyebut kesaktiannya adalah modal, sepertinya mantra itu menyembur balik ke muka Sang Tuan. Sebaliknya, substansi gelegar semangat di Timteng adalah kebersamaan untuk bangkit melawan tirani, atas nama kemiskinan, penindasan, dan atas nama kesewenang-wenang yang selama ini di derita rakyat akibat sistem dan rezim. Warna kebangkitan yang semula bercorak “pergantian rezim”, diyakini bisa berubah menjadi “pergantian sistem”. Sayang sekali! Pergolakan mulia guna mengubah peri kehidupan yang telah meminta banyak korban jiwa cuma menuntut pergantian rezim, bukannya sistem yang dibentuk asing yang hanya menguntungkan segelintir elit dan sekelompok orang (kapitalisme). Maka inilah awal kiamat bagi AS di Timteng dan keruntuhan dinastinya di kelompok negara Jalur Sutra.
(bersambung-3)