Geopolitik Antara Dua Karang (2)

Bagikan artikel ini

Tatkala memasuki era setelah (pasca) imperialisme, ada perubahan signifikan terkait perilaku geopolitik dibanding masa sebelumnya. Agaknya di era tersebut cuma memunculkan dua lakon besar yang cukup mendominasi dunia politik yakni AS dan Uni Soviet. Kedua negara besar tersebut memiliki ideologi yang —sepertinya— saling bertolak belakang. Kenapa ditulis ‘sepertinya’, sebab salah satu hasil pointers diskusi di Global Future Institute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit menyatakan, bahwa antara komunis dengan kapitalis itu sejatinya ‘serupa tetapi tak sama’. Serupa pada daya dominasi eksploitasinya, sedang ketidaksamaan terlihat di hulu (sistem) manajerial. Dengan kata lain, jika kapitalis dikontrol oleh segelintir elit partikelir, sementara komunis dikendalikan sekelompok elit negara (pemerintah). Bahkan ada yang berani menganalogkan, bahwa sejatinya komunis itu “kapitalis plat merah”.

Merujuk dogma yang ditebar oleh Henry Kissinger di panggung global, “Control oil and you control nations, control food and you control the people.” Mungkin, itulah motivasi atas perilaku dominasi eksploitatif dimanapun, bahkan sampai kapanpun untuk mengontrol food and enegy security, entah kapitalisme entah ia komunisme.

AS dengan ideologi “liberal kapitalis”-nya berada pada Blok Barat di satu sisi, sedang Uni Soviet yang “sosio komunisme” ada di Blok Timur pada sisi lain. Perbedaan ideologi ini menimbulkan persaingan tak kunjung henti (hingga kini?) yang akhirnya ditengarai sebagai “perang dingin”, karena hampir tak pernah terjadi perang konvesional atau kontak fisik secara langsung antara keduanya, melainkan melalui penyebaran ideologi, adu pengaruh di banyak negara, ataupun lomba senjata dan teknologi perang untuk menampilkan siapa kuat, siapa paling canggih.

Di era itu lahir jenis perang baru bertitel: “proxy war”. Ia sering disebut sebagai perang boneka, atau perang perwalian, dll. Perang ini memiliki ciri dimana para pihak yang terlibat  konflik justru memakai pemain pengganti —biasanya negara kecil— atau menggunakan tangan-tangan lain baik berupa individu (sosok) tertentu yang diherokan media mainstream, atau via lembaga swadaya (LSM), organisasi massa, Multinational Corporations (MNCs), dan lain-lain. Tujuannya jelas, mereka saling menghindari kontak langsung dalam rangka memperkecil resiko kehancuran fatal.

Perubahan perilaku geopolitik antara masa imperialis dengan era perang dingin, terlihat  dalam konteks dimensi time, space, people, dan struggle. Pada dimensi time dan space era imperialis tidak pernah menyoal ideologi, melainkan fokus pada ekspansi wilayah, teritorial, dll dalam skema land and soil. Kenapa demikian, kembali pada perilaku sebagai cermin sebuah motivasi, bahwa refleksi kekuatan dan hegemoni negara dilihat dari luasnya wilayah jajahan. Itulah motivasi atas perilaku geopolitik saat itu (imperialisme). Sedang era perang dingin, justru hiruk pikuk (geo) politik lebih diwarnai rivalitas ideologi yang gilirannya melahirkan berbagai jaringan proxy, aliansi, atau pakta-pakta seperti North Atlantic Treaty Organization (NATO), Pakta Warsawa, Southeast Asia Treaty Organization (SEATO), dan lain-lain.

Di luar dugaan semua pihak, khusus pada dimensi struggle justru menimbulkan dekolonisasi banyak negara Asia-Afrika. Mereka beramai-ramai memerdekakan diri, keluar dari cengkraman kolonisasi Barat. Para pemimpin negara Asia dan Afrika yang baru merdeka menggagas Gerakan Non Blok (GNB) dalam rangka membendung dua kekuatan besar supaya tidak kembali digulung oleh kuku kolonialisme dan imperialisme. Fakta ini membagi dunia menjadi tiga space (atau kubu) yang meliputiBarat, Timur, dan Dunia Ketiga. Dan di era perang dingin pula, secara faktual telah menimbulkan serta menguatnya sistem politik politik luar negeri berbasis: “bebas aktif”, khususnya di republik tercinta. Maknanya, Indonesia tetap di posisi netral dalam kecamuk perang dingin. Sebab bila terlibat dalam  perang, kita tidak akan mempunyai kedaulatan sebagai bangsa yang merdeka, karena akan tetap dalam cengkeraman atau di bawah kendali negara-negara yang bertikai. Bung Hatta menyebutnya, “Mendayung antara dua karang.” Itulah salah satu perilaku geopolitik kita yang populer.

Manakala struggle yang dilakukan kubu Timur fokus ialah penyebaran komunisme dengan sasaran kelompok Dunia Ketiga, maka Barat melakukan pembendungan kubu Timur melalui penerapan teori domino serta containment policy. Sedang kubu Dunia Ketiga juga memiliki struggle sendiri untuk membendung pengaruh kedua kekuatan tadi, yakni selain melalui pembentukan GNB, pengembangan ekonomi, pemberantasan kemiskinan, dan sekali lagi, kian menggeloranya politik bebas aktif di panggung global bahkan hingga kini.

Di masa perang dingin, Cina terlihat sudah mulai terbit sebagai kekuatan regional dan hendak memposisikan diri sebagai pemimpin Dunia Ketiga, kendati Indonesia sendiri —saat itu— sebenarnya juga telah menjadi kekuatan disegani di kawasan karena kerjasama (non ideologis) dengan Rusia, sehingga performance ekonomi terutama militernya cukup diperhitungkan baik oleh kawan maupun lawan. Namun sayang, kesinambungan hubungan strategis antara Indonesia – Rusia tidak berlanjut karena ‘faktor (konflik) internal’ sedang Cina terus melaju dalam segala hal. Dan kini, untuk sementara mungkin kita tertinggal oleh Cina.

Catatan disini, bahwa ciri pokok dimensi struggle dalam geopolitik di era perang dingin cenderung kepada pembangunan, dimana pengembangan pola dan model pembangunan antara kedua kubu AS dan Uni Soviet saling berebut pengaruh di Dunia Ketiga berbasis ideologi masing-masing. Model-model itu kemudian diadopsi oleh kelompok negara proxy. Ada beberapa negara mengalami kendala terkait ketergantungan pembangunan. Afrika misalnya, menerapkan model pembangunan komunis namun hanya diambil kulitnya sehingga timbul kerancuan dan instabilitas politik karena penerapan yang keliru. Akhirnya negara-negara tersebut kembali bergantung kepada Barat, seperti Afrika Tengah yang bergantung kepada Perancis hingga sekarang, dan lain-lain.

Sisi lain yang menarik dalam perubahan (perilaku) geopolitik pada masa perang dingin, kendati titik tekannya adalah ideologi, akan tetapi munculnya senjata-senjata canggih akibat kemajuan teknologi dan industri strategis membawa kedua kubu pada kompetisi jenis baru yaitu persaingan (lomba) senjata serta teknologi perang. Pada gilirannya, rivalitas ideologi memang tak sebatas dalam pembangunan-pembangunan fisik belaka, namun berkembang ke bidang-bidang lain sebagaimana disebut di atas.

Pecahnya Uni Soviet sering dianggap sebagai tanda berakhirnya perang dingin, meski dalam kenyataan empiris ada beberapa negara yang dalam orbit komunisme, masih tetap diembargo oleh Paman Sam meski induknya (Soviet) telah hancur. Inilah bukti keadaan (circumstance evidance) yang nyata, bahwa perilaku gopolitik —topik tulisan ini— tidak boleh dibaca secara hitam putih, namun harus dipandang secara komprehensif integral.

Pada era modern, zaman globalisasi, atau kondisi menuju “tata dunia baru” yang kini bergerak, seolah-olah menggeser konflik ideologi kepada konflik lain di satu sisi, namun di sisi lain justru muncul berbagai fenomena dan perspektif  baru yang kian multipolar dalam memandang konflik. Jika perang dingin melahirkan proxy war, maka era kini memunculkan jenis-jenis perang baru seperti perang informasi, asymmetric warfare (peperangan asimetris), hybrid war (perang hibrida)dan entah kelak perang apalagi.

Pada era ini (menuju “tata dunia baru”), selain Cina dinilai sebagai adidaya baru di Timur bahkan merupakan rival AS terutama dalam bidang ekonomi, budaya, dan militer, agaknya telah muncul pula aliansi-aliansi ekonomi antar negara di luar (pro) Barat, akan tetapi dalam prakteknya aliansi dimaksud condong kepada pakta-pakta pertahanan keamanan. Shanghai Cooperation Organization (SCO) misalnya, adalah kerjasama ekonomi antara Rusia dan Cina yang memiliki kecenderungan menjadi sebuah pakta pertahanan. Kemudian berdirinya BRICS (Brasil, Rusia, Cina dan Afrika Selatan), dan lain-lain. Gilirannya medan tempur pun tidak sebatas pada tempat terbuka, ia berpindah di ruang-ruang tertutup melalui lembaga-lembaga regional bahkan global seperti skema Trans-Pasific Partnership, G-20, WTO, dan sebagainya.

Satu catatan penting di era kini, bahwa perilaku geopolitik Cina selain fokus penguatan kiprah di Laut Cina Selatan — sebab hampir 80% ekspor-impornya melalui perairan tersebut, ia pun mengubah orientasi ideologi menjadi one country and two system. Satu negara dengan dua ideologi hidup berdampingan. Artinya, ekonomi boleh bebas seperti kapitalis, tetapi kontrol politik tetap di bawah kendali komunis cq Partai Komunis Cina (PKC).

Pada dimensi struggle, ada konsepsi clash of civilization (benturan peradaban) antara Barat dan Islam yang dibidani oleh Samuel P Huntington melalui bukunya Clash of Civilization and Remarking of The World Order. Inilah yang kini berlangsung masif di berbagai panggung budaya dan keamanan. Munculnya aliran-aliran radikal —celakanya— memakai simbol-simbol Islam seperti Boko Haram, Jabhal al Nusra, al Sabhab, Islamic State of Irak and Syam (ISIS), dan lain-lain merupakan isu serta dalih atas perilaku geopolitik yang dimainkan oleh Barat di belahan bumi lain yang memiliki kekayaan SDA dan melimpahnya potensi atas emas, minyak dan gas bumi.

Pertanyaannya sederhana, “Seandainya Nigeria cuma penghasil ketela rambat, apa bakal ada Boko Haram disana; jika Irak dan Syria hanya produksi sandal jepit, akankah muncul Jabhat al Nusra, lalu kini merebak ISIS? Jika Libya bukan penghasil swett crude oil —minyak terbaik— apa Ansar al-Sharia bakal bercokol disana?”. Semua karena faktor SDA. What lies beneath the surface. Apa yang terkandung di bawah permukaan. Itulah motivasi basis perilaku yang dikemas dalam bahasa ‘kepentingan nasional’ sejak revolusi industri dulu. Sekali lagi, mencari bahan baku semurah-murahnya dan menciptakan pasar seluas-luasnya!

Pola berbagai kolonialisme di muka bumi baik melalui fisik (konvensional), atau asimetris (asymmetric warfare), ataupun modus pada perang hibrida (hybrid war), selalu diawali dengan penyebaran isu-isu terlebih dahulu. Isu yang ditebar di wilayah yang menjadi target lazimnya tentang demokrasi, HAM, lingkungan (paket DHL), atau sering juga masalah korupsi, kepemimpinan tirani, radikalisme, senjata pemusnah massal, dan lain-lain. Pemerintah Irak di era Saddam Husein akhirnya hancur lebur karena stigma senjata pemusnah massal oleh AS; Timor Timur lepas dari Indonesia sebab isu pelanggaran HAM; atau Yaman, Tunisia, Mesir digoyang Arab Spring —ini jenis asymmetric warfare— bermula dengan isu-isu korupsi, demokrasi, dan lainnya.

Silahkan cermati kelanjutan tindakan kolonialisme setelah isu-isu ditebar. Inilah contoh. Irak dikeroyok oleh koalisi militer pimpinan Paman Sam hingga luluh lantak lalu Saddam digantung; atau lepasnya Timor Timur, akibat agenda lanjutan yakni hadirnya pasukan asing (peace keeper), kemudian referendum (jajak pendapat); sedangkan Yaman, Tunisia, Mesir dll melalui gerakan massa mengatasnamakan rakyat kemudian melengserkan rezim berkuasa. Itulah pola asymmetric warfare, hybrid war, dan lain-lain. Tujuan (skema)-nya sama, yakni penguasaan geopolitik negara target dimana intinya pengendalian ekonomi dan pencaplokan SDA-nya. Inilah pola kolonialisme sampai kapanpun. Disebar duluan isu, lalu dimunculkan tema atau agenda, dan terakhir ditancapkan skema.

Maka jika menengok Papua, kendati isu pelanggaran HAM dan stigma ketertinggalan pendidikan dan kesejahteraan kencang dihembuskan berbagai pihak selaku kepanjangan kepentingan asing di Indonesia, memang kurang optimal membentuk opini global, tetapi bukan berarti upaya menghadirkan pasukan asing (PBB) untuk referendum akan mereda di Papua, niscaya akan terus menerus digelorakan, kenapa demikian, oleh karena tahap itu merupakan kelanjutan daripada penyebaran isu-isu sebelumnya. Itulah perilaku geopolitik Barat yang cenderung ofensif sejak peristiwa revolusi industri dulu. Hayo, “Pertahankan rumah dan perkarangan kita sekalian” (Jenderal Soedirman, 1947).

(Tulisan ini lanjutan artikel terdahulu yang berjudul: Membaca Perilaku Geopolitik)

Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com