Geopolitik Membaca Agenda Benturan Peradaban

Bagikan artikel ini

Bila cermat, jeli dan arif membuka lembar demi lembar sejarah, sesungguhnya hampir tidak pernah ada yang namanya benturan peradaban (clash of civilization) baik di level global, regional atau di tingkat nasional/lokal. Namun benturan yang kerap terjadi merupakan hasil sebuah rekayasa untuk membenturkan sesama entitas, dan/atau dibentur-benturkan antar-entitas.

Perang Dunia I (PD I), contohnya, dibenturkan antara Kapitalisme Versus Emperium/Kekaisaran, atau tema clash dalam PD II antara Kapitalisme melawan Fasisme, agenda di Perang Dingin (Cold War) menghadapkan Kapitalis Versus Komunis, dan seterusnya. Nah, sedang di era kini — merujuk tesis Samuel P Huntington dalam buku Clash of Civilization and the Remaking of World Order (1996), bahwa usai Perang Dingin yang dihadapkan adalah Peradaban Barat Versus Islam (militan).

Itulah beberapa tema dan/atau agenda benturan yang telah terjadi pada PD I, II, Cold War serta benturan yang kini sedang berlangsung —Barat versus Islam— di muka bumi. Akan tetapi, sekali lagi, bila jeli dan arif mencermati bahwa agenda dimaksud cuma open agenda. Kulit luar skenario. Jangan tertipu oleh kulit. Ada hidden agenda disana. Lantas, apakah hakiki benturan sesungguhnya?

Geopolitik mengajarkan, bahwa tampilan dari segala dinamika isu, tema, agenda dan lain-lain yang ditampilkan ke publik global hanya geostrategi (cara) dari sebuah kepentingan guna merebut serta meraih apa yang disebut geoekonomi. Poin inti geoekonomi itu adalah water, food and energy security. Jaminan dan/atau kedaulatan/ketahanan sebuah bangsa atas kebutuhan air, pasokan pangan dan energi. Geoekonomi inilah yang diperebutkan di panggung geopolitik global dimanapun hingga kapanpun. Retorikanya, mungkinkah Belanda doeloe mau menjajah Indonesia jika Bumi Pertiwi ini hanya penghasil ketela rambat? Apakah Irak akan diserbu NATO (2003) dengan berbekal isu —bohong— Saddam menyimpan senjata pemusnah massal ketika Irak cuma produsen kurma? Atau, apakah Timor Timur dahulu akan lepas dari NKRI, jika tidak ditemukan minyak di Celah Timor? Ataukah Suriah akan terus bergolak bila geoposisinya bukan di lintasan pipa oil dan gas antarnegara bahkan lintas benua? If you would understand world geopolitics today, follow the oil, kata Deep Stoat, pakar strategi Amerika Serikat. Bila ingin memahami geopolitik hari ini ikuti aliran minyak, disitu akan bersinggungan simpul-simpul kekuasaan dengan berbagai tema dan/atau agenda, saling intip, bersinergi dan kerap beradu kuat (konflik) alias memenangkan peperangan untuk memonopoli.

Pertanyaannya adalah, “Bukankah semua negara bangsa telah membawa takdir geopolitik masing-masing, kenapa harus saling berebut?” Sampai disini memang belum ada masalah. Persoalan timbul ketika terdapat paradigma dominasi eksploitatif yang ingin memonopoli segalanya atas takdir geopolitik negara-negara terkait geoekonomi dimaksud.

Nah, jika merujuk hal-hal di atas, dapat dibaca bahwa agenda benturan-benturan peradaban yang pernah terjadi serta tengah berlangsung kini bukanlah sebuah prediksi dan hasil analisa strategi, melainkan lebih cenderung kepada rekayasa, propaganda, dan lain-lain dimana ujungnya adalah taktik (geostrategi) guna merambah kedaulatan negara lain guna mencaplok geoekonomi negara yang ditarget — sedang hakiki skema yang berlangsung ialah benturan antara paradigma dominasi eksploitatif Versus paradigma (langit) yang berkeadilan dan berkemanusian.

Teringat ucapan bijak Mahatma Gandhi: “Bumi ini sebenarnya cukup bahkan berlebih untuk memberi makan semua penduduk bumi. Namun menjadi tak cukup memberi makan satu orang yang rakus.”

Itulah mereka para pemuja ideologi dominasi eksploitatif dengan berbagai variannya.

Demikian, terima kasih

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com