Gerakan Anti Korupsi: Modus Baru Kolonialisme (Kisah dari Rumania, Thailand, Venezuela dan Indonesia)

Bagikan artikel ini

Korupsi Alat Proxy War AS di Rumania

Benarkah korupsi saat ini merupakan modus baru kolonialisme yang diterapkan negara-negara maju sebagai bagian integral dari Perang Asimetris mereka untuk menaklukkan kedaulatan suatu negara? Ada baiknya kita mulai dengan sebuah kisah dari Rumania, di kawasan Eropa Timur.

Pada Mei 2014 lalu, beberapa petinggi penting Amerika Serikat berkunjung ke Bukares, Rumania. Para pejabat yang berkunjung levelnya juga bukan sembarangan. Wakil Presiden AS, Petinggi Departemen Pertahanan atau Pentagon, Petinggi intelijen dari CIA, Petinggi Nato dan beberapa Senator AS.

Lantas apa pesan politik yang mau mereka sampai harus repot-repot mengirim para pejabat tingkat tinggi Washington menemui para pejabat tinggi pemerintahan di Bukares? Nah inilah yang mengejutkan sekaligus aneh. Pesan dari mereka semua hampir sama di media lokal saat itu: “Lawan terus korupsi!!” Namun, benarkah seruan para pejabat tingkat tinggi AS tersebut memang murni ditujukan untuk pemberantasan korupsi yang notabene merupakan masalah dalam negeri Rumania?

Usut punya usut, ternyata manuver para pejabat tinggi AS jauh-jauh datang ke Rumania itu mengusung isu anti korupsi, ternyata punya maksud lain yang jauh lebih strategis. Apa itu?

Ternyata di balik itu, da dua misi besar yang dibawa AS yakni meminta pemerintah Rumania untuk menaikkan anggaran belanja militernya karena Rumania akan jadi tempat strategis AS dan Nato untuk menahan langkah Rusia di Ukraina. Anda tidak percaya? Marilah kita simak kutipan langsung Sambutan Wakil Presiden AS Joe Biden di Bukares pada 20 Mei 2014 lalu:
“Romania today is hosting U.S. Marines at the M-K Airbase, which also supports logistical operations for Afghanistan.  You’re building a fleet of F-16s.  Romania is working to bring its defense budget up to 2 percent of GDP, as all NATO allies should and must. ”

Jelaslah sudah, seruan kepada petinggi pemerintahan Rumania untuk melawan korupsi, sejatinya sekadar tahapan pertama dari Perang Asimetris yang dilancarakan Washington yaitu: TEBAR ISU, yang biasanya kemudian ditingkatkan tahapannya ke arah RUMUSKAN TEMA GERAKAN, yang tahapan akhirnya adalah dalam rangka mewujudkan Skema atau sasaran strategis para perancang strategis keamanan nasional di Washington.

Dalam kasus Rumania, melalui gerakan tebar isu anti korupsi para pejabat AS yang berkunjung ke Bukares, terungkap bahwa sasaran strategis pertama Washington adalah untuk mendesak para petinggi pemerintahan di Bukares agar program peningkatan anggaran militer menjadi prioritas utama.

Bahkan bukan itu saja.  Sasaran strategis AS berikutnya, kali ini terkait langsung dengan skema Washington untuk menjadikan Rumania sebagai ajang Proxy Warmelawan Rusia, negara adidaya saingan utama AS yang sudah dicanangkan sejak era pemerintahan George W Bush pada 2000. Yaitu, menyingkirkan perusahaan Rusia Gazprom untuk menggarap potensi cadangan shale gas yang ada di sana. Pemerintah Rumania akhirnya menunjuk Chevron. Sebagaimana diutrarakan oleh Perdana Menteri Victor Ponta kepada Wakil Presiden AS Joe Biden:
“Strategically speaking, Romania’s capacity of having its own natural gas production meet the national demand and Moldova’s demand is very important. I told Vice President Biden how I managed to convince most of my interlocutors that Chevron is always better than Gazprom.”

Bayangkan betapa senangnya Presiden Obama maupun para eksekutif senior Chevron mendengar pernyataan Perdana Menteri Victor Ponta yang terang-terangan penuh puja-puji kepada perusahaan Migas global AS seraya mempermalukan perusahaan Rusia Gazprom.
Mengapa isu korupsi secara terencana dan sistematis digunakan terhadap Rumania sebagai bagian dari Perang Asimetris AS untuk melawan Rusia? Begini penjelasannya. Di sinilah hebatnya para analis intelijen CIA maupun komunitas intelijen lainnya dalam membaca suasana batiniah masyarakat Rumania.

Dalam analisis intelijen para perancang strategis keamanan nasional di Washington,  tema besar AS untuk terus melawan korupsi itu tak lepas dari kondisi psikologi massa yang saat ini terjadi di Rumania pasca Rusia “menduduki” Ukrania.  Psikologi massa saat ini sudah mencapai titik bahwa gerakan anti korupsi berarti gerakan anti orang Rusia. Kemudian, meluas menjadi gerakan anti korupsi harus melibatkan militer. Inilah dua poin penting yang menjadi gagasan utama gerakan tebar anti korupsi yang dilancarkan para pejabat tinggi AS ketika berkunjung ke Bukares, Rumania.

“New and interesting synonyms appeared in the Romanian media space: “anti-corruption” means anti-Russian, the “anti-corruption” fight gets militarized, and it becomes a holy national mission under American protection,” tulis Costi Rogozanu, editor Lefteast beberapa waktu lalu.

Dalam analisis Costi Rogozanu, beberapa politisi pro AS di Rumania juga menggunakan kata dan ikon ‘anti korupsi’ untuk menyerang musuh politiknya. Terutama kelompok-kelompok yang menentang kehadiran Chevron di Rumania.
“When protesters focused their attention on the completely abusive way in which Chevron sought to start shale gas extraction in Romania, the „liberal” voices hushed and they started to advance Americanized arguments: who is against shale gas extraction is pro-Putin, corrupt and unpatriotic… Anti-corruption means also fighting against the „enemy within”, which could in turn mean a lot of things: leftists, ecologists, peasants that do not want shale gas extraction in their villages, Eurosceptics, etc,” tambah Costi.

Membaca yang tersirat dari analisis Costi Rogozanu, nampak jelas bahwa isu anti korupsi hakekatnya malah bertabrakan dengan aspirasi masyarakat. Betapa tidak. Jika kita lihat di desa lokasi tempat Chevron akan mengeksplorasi gas,yakni desa Pungesti dan Silistea di wilayah Vaslui, kehadiran Chevron ditolak oleh warga desa dan pegiat lingkungan. Salah satu alasannya, kebutuhan air bersih sebanyak 35 ribu liter per hari untuk upaya eksplorasi gas sampai 4000 m dibawah tanah itu akan menggangu pasokan air bersih warga desa dan merusak lingkungan. Disamping beberapa alasan lain.

Berarti, dengan mengusung isu “berantas korupsi” sebagaimana instruksi para petinggi pemerintahan Obama yang berkunjung ke Bukares, pada gilirannya akan dijadikan dasar untuk menghantam gerakan para para pegiat  lingkungan hidup yang berjuang menentang kehadiran Chevron di kedua desa tersebut.

Alat Adu Domba Lemahkan Internal NKRI

Senada dengan kasus yang terjadi di Rumania,  beberapa waktu lalu, Global Future Institute (GFI), sebuah lembaga kajian strategis dan masalah internasional yang didirikan sejak 2007 lalu, mengisyaratkan hal serupa, bahwa model kolonialisme yang dikembangkan kini ialah Perang Asimetris (non militer). Lazimnya pola perang asimetris ini, diawali dengan tebaran isu ke tengah-tengah masyarakat, kemudian dimunculkan tema gerakan dan berujung pada skema. Ya, skema merupakan ruh atau inti tujuan kolonialisasi yang dimotori oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutu baratnya.

M Arief Pranoto, peneliti senior GFI menulis sebuah artikel menarik bertajuk “Menggebuk Korupsi dengan Revolusi Industri.” Menurut Pranoto, korupsi sebagai ‘alat menyerbu’ Indonesia oleh kaum kolonial memang efektif, selain merusak sisi paling vital dalam kehidupan berbangsa yaitu mental, moral serta keuangan negara, juga berpotensi untuk dijadikan sebagai alat adu domba disana-sini. Baik antar elit politik, bahkan juga oleh antar institutusi kenegaraan. Yang pastinya juga antar institusi penegakan hukum.

Bahkan hal ini semakin diperkuat dengan kajian yang dilakukan oleh tim riset GFI mengungkap bahwa tak dapat dipungkiri, korupsi sebenarnya hanya sebuah modus, tema atau tata cara dari sebuah penjajahan model baru kaum imperialis. Korupsi di Indonesia memang diciptakan via sistem ketatanegaraan yang didukung aturan dan perundang-undangan (UU) negara yang sudah dirombak total, terutama awal-awal memasuki era reformasi dahulu.

Ketika sistem yang kini berjalan justru mendorong perilaku koruptif, seperti otonomi daerah, pemilu langsung, one man one vote, kentalnya pencitraan dalam pola kampanye, multi partai dan lain-lainnya, maka seribu pun — bahkan sejuta badan ad hock seperti KPK atau komisi-komisi lain tidak bakal mampu membendung korupsi. Global Future Institute (GFI), Jakarta akhir 2011-an mengungkapkan, bahwa model demokrasi Indonesia saat ini yang berkuasa adalah kaum pemodal. Sehingga, korupsi di Indonesia sengaja diciptakan melalui sistem.

Dalam skema kolonialis semacam ini, maka masuk akal jika KPK pun rentan terhadap sasaran permainan politik ketimbang secara sungguh-sungguh berperan sebagai institusi penegakan hukum yang obyektif dan tidak tebang pilih.

Korupsi sebagai metode baru kolonialisme justru mampu menjadi infotaimen menarik berating tinggi di media, namun nihil atau nol besar dalam proses solusi berbangsa dan bernegara.

Untuk Pengalihan Isu Meredam Serangan terhadap Kebijakan Ekonomi Neoliberalisme

Lebih daripada itu, bukan sekadar nol besar dalam proses solusi berbangsa dan negara. Bahkan gerakan anti korupsi malah bisa digunakan untuk Pengalihan Isu atas siapa yang seharusnya para pihak yang bertanggungjawab atas rusaknya perekonomian suatu negara.

Kembali ke kasus Rumania, Kemarahan massa (rakyat) yang harusnya ditujukan ke kegagalan kebijakan dan agenda IMF yang membuat ‘hancur’ perekonomian Rumania justru dengan sangat mudah dialihkan ke kesalahan politisi dan pengusaha yang korup. Akibatnya, ketika sejumlah massa memprotes pemerintah ketika memberi izin Chevron maka dengan sangat mudah protes itu  dihentikan dengan menggunakan kata seperti ini: “…who is against shale gas extraction (baca: Chevron) is pro-Putin, corrupt and unpatriotic”

Gerakan tebar isu anti korupsi pada perkembangannya malah melindungi langkah-langkah kebijakan strategis pemerintah Rumania untuk melakukan privatisasi besar-besaran di Rumania. Tebar isu anti korupsi juga  melindungi beberapa perusahaan multinasional AS, dan Uni Eropa agar tidak diganggu kepentingannya.

Jadi kalau ada sinyalemen bahwa KPK atau para aktivis anti korupsi digunakan oleh kepentingan asing untuk mengkriminalisasikan beberapa elit politik yang dipandang sebagai saingan politik berbahaya, ada baiknya kalau kita menelisik strategi gerakan anti korupsi di Rumania.

Ternyata cukup sederhana strateginya. Minta sebuah LSM untuk mengungkap sebuah korupsi di sebuah lembaga publik, sebuah rumah sakit milik negara misalnya. Kemudian minta media menyuarakannya. Ujungnya publik marah. Dan, saat kemarahan publik memuncak, muncul sebuah gagasan lebih baik rumah sakit yang korup itu diswastanisasi atau diprivatisasi agar transparan dan tidak terjadi korupsi. Padahal tak selalu benar isu korupsi bisa diselesaikan dengan langkah privatisasi.

Gelagat semacam ini sebenarnya juga sudah terlihat di Indonesia menyusul lengsernya Presiden Suharto. Betapa yang namanya Gerakan Anti Korupsi justru menjadi “elemen garis depan” dalam memuluskan kebijakan liberalisasi (ekonomi, politik dan budaya) seperti privatisasi, deregulasi dan desentralisasi (otonomi daerah/pemekaran daerah). Bahkan dalam banyak kasus, untuk dijadikan alat menjatuhkan sebuah rezim (Soeharto misalnya lewat isu Korupsi, Kolusi dan Nepotisme atau sering disebut KKN) agar terjadi instabilitas di sebuah negara. Ruang-ruang yang terbentuk akibat instabilitas menjadi ruang yang paling mudah untuk memasukkan agenda kepentingan tertentu. Termasuk kepentingan asing.

Celakaya, kebanyakan, rakyat atau massa tidak pernah paham dan tahu bahwa ada kepentingan besar dibalik bantuan miliaran Dollar dan niat baik IMF atau World Bank ke sebuah negara untuk membentuk dan membesarkan lembaga anti korupsi dan LSM anti korupsi. Termasuk gerakan anti korupsi di Indonesia.

Menggarisbawah uraian  M Arief Pranoto sebelumnya yang menggarisbawahi gerakan anti korupsi bisa mengarah pada politik adu domba, menarik untuk menyimak sebua survey yang dilakukan oleh sebuah kolom laman Arabnews.com, pada tahun 2014. Menurut survei, korupsi dan anti korupsi menjadi akar masalah konflik politik, ekonomi di sebagian besar negara-negara timur tengah. Dan bahkan menjadi isu penting geopolitik di Timur Tengah.

Tumbangnya Perdana Menteri Thailand Yinluck Shinawatra, akibat tuduhan korupsi yang bersamaan waktunya dengan munculnya perseteruan KPK – Polri harus menjadi catatan khusus dalam melihat apa yang terjadi di Indonesia saat ini dalam konteks geopolitik.

Maka itu, perseteruan KPK-Polri jangan hanya dilihat semata-mata dalam konteks penegakan hukum atau etika hukum. Ada konsekuensi geopolitik besar dibalik perseteruan itu jika tidak dikelola dengan baik, amat hati-hati dan cerdas oleh pemerintah, oleh Presiden Jokowi.

Ada isu privatisasi, desentralisasi, deregulasi dan penguasaan ekonomi politik atas wilayah geopolitik tertentu yang justru menguntungkan kepentingan perusahaan multinasional, sekelompok kepentingan atau kepentingan negara tertentu dibalik sebuah gerakan anti korupsi yang masif.

Karenanya, Konflik KPK-Polri harus dilihat bersama-sama dengan kasus Yinluck di Thailand dan konflik akibat isu korupsi lain di wilayah geopolitik ASEAN. Bahkan dalam lingkup yang lebih luas lagi, harus ditempatkan pada isu perebutan kepentingan geopolitik dan geoekonomi kawasan Asia Pasific antara Tiongkok (plus Rusia) dengan AS seperti tergambar jelas dalam kasus di Rumania.

Pelajaran dan motif gerakan anti korupsi di Rumania dan pemakzulan Yinluck Shinawatra sebenarnya sudah cukup untuk jadi pelajaran penting. “In short, anti-corruption is neoliberalism,” begitu kesimpulan Costi Rozoganu melihat gerakan dibalik anti korupsi di Rumania.

Politisasi Korupsi terhadap Pemerintahan Nicolas Maduro, Venezuela

Kasus Venezuela, korupsi juga dimainkan sebagai alat politis menghancurkan reputasi pemerintahan Presiden Nicolas Maduro. Segalanya terungkap ketika pemerintah Venezuela berhasil menangkap Antonio Ladezma. Pejabat Wali Kota daerah metropolitan Caracas, pada 19 Februari 2015 lalu. Setelah penangkapan itu, pemerintah Venezuela menjelaskan dihadapan pers bahwa ada bukti rekaman hasil sadapan intelijen bahwa Wali Kota Ladezma berencana melakukan kudeta terhadap Presiden Venezuela Nicolas Maduro.

Pemerintahan Maduro menyebut, berdasarkan data intelijen yang dia peroleh, bahwa kendali Amerika Serikat ada dibelakang Wali Kota yang juga salah satu tokoh dibalik upaya kudeta yang gagal terhadap Presiden sebelum Maduro, Hugo Chavez beberapa saat lalu.

Yang menarik menysul terbongkarnya rencana kudeta yang didalangi oleh Amerika ini adalah pernyataan Juru Bicara Gedung Putih, Josh Earnest:
“Venezuelan officials past and present who violate the human rights of Venezuelan citizens and engage in acts of public corruption will not be welcome here, and we now have the tools to block their assets and their use of US financial systems.”

Nah, lagi-lagi terbukti, selain HAM, korupsi merupakan isu yang ditebar AS ketika kepentingan strateegisnya di suatu negara merasa terancam. Sekadar informasi,  sebenarnya percobaan kudeta yang dilancarkan oleh Antonio Ladezma bukanllah yang pertama kali. Sebelumnya, ada beberapa upaya kudeta yang digagalkan oleh intelijen dan militer dibawah pemerintahan Maduro setelah Presiden Hugo Chaves meninggal.

Ada semacam bukti pola bahwa Isu kudeta di Venezuela selalu menunggangi isu inflasi yang meroket, isu korupsi pejabat, isu kesejahteraan, kerusuhan sosial dan demonstrasi anti pemerintah.  Lantas, mengapa AS (baca Obama) sangat marah dan sampai mengeluarkan Executive Order yang menghebohkan itu?

Mudah saja jawabannya.  Pada Januari lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin dan Maduro bertemu. Dua negara yang memiliki potensi migas terbesar di bumi ini sepakat untuk kerjasama untuk keluar dari tekanan rendahnya harga minyak global akibat konspirasi AS dan Arab Saudi.

Skenario Venezuela dan Russia ini bisa dianggap akan memutus rencana AS untuk mendestabilisasi kawasan Amerika Latin. Harus dingat, sampai saat ini Venezuela adalah motor penggerak bersatunya Amerika Latin melawan hegemoni AS di kawasan Amerika Latin.

Melalui Revolusi Bolivarian yang dikumandangkan Hugo Chaves telah merubah secara dramatik model kebijakan internasional Venezuela. Dengan potensi migasnya, Chaves mampu merangkul dan memimpin solidaritas gerakan negara-negara Amerika Latin baru. Bantuan migas ke negara tetangganya (termasuk Kuba) berhasil “menyatukan” 11 negara di Amerika Latin.

Dengan dirajut melalui sebuah jaringan yang dinamakan  Bolivarian Alliance for the Peoples of Our America (ALBA) bergabunglah negara Antigua dan Barbuda, Bolivia, Kuba, Dominika, Ekuador, Grenada, Nikaragua, Saint Kitts and Nevis, Saint Lucia, Saint Vincent, Grenadines dan Venezuela dalam sebuah kerjasama ekonomi saling menguntungkan antara negara Amerika Latin untuk keluar dari hegemoni ekonomi dan politik negara Asing seperti kanada, Inggris dan AS.

Intinya, Amerika Latin ingin memiliki kedaulatan ekonomi dan politik yang sudah dirampas negara asing selama puluhan tahun itu.

Maka bisa dimengerti betapa gusarnya Amerika ketika rencana kudeta terhadap Presiden Maduro dengan mengandalkan Walikota Caracas Antonio Ladezma tersebut berhasil digagalkan. Aksi destabilisasi  kawasan negara Amerika Latin jadi terhambat karena Venezuela dapat ‘sokongan” penuh dari Rusia. Intinya, Amerika Latin masih belum bisa ditaklukkan.

Bahkan sebagai buntut dari gagalnya rencana kudeta tersebut, AS menghadapi titik-balik. Presiden Kuba, Ekuador, Bolivia dan banyak Presiden dari negara lain mendukung secara penuh posisi Presiden Maduro dan mempertanyakan sanksi AS buat Venezuela. Mereka menganggap AS sudah keterlaluan.

Bahkan terungkap sebuah temuan lain, bahwa Antonio Ladezma sudah dipersiapkan oleh Washington untuk menjadi presiden baru Venezuela, ketika rencana kudeta terhadap Presiden Maduro tersebut berhasil.

Perlu Kontra Skema Hadapi Isu Korupsi Sebagai Modus Kolonial

Karena itu, sebagai metode dari (sistem) kolonialisme gaya baru di tanah air, korupsi mutlak harus dikontra serentak, sistematis, dan dilakukan secara gegap gempita di berbagai lapisan masyarakat, bahkan pemerintah itu sendiri. Dengan demikian, pergerakan anak bangsa –tanpa mengurangi rasa hormat atas segala upaya selama ini memerangi korupsi, jika tanpa kontra skema yang jelas guna mendongkel modus baru tersebut, tak ubahnya seperti deret duka cita –“daftar keprihatinan”–. Artinya bahwa teriakan, keringat bahkan darah dan jiwa mereka bakal terbentur dinding bisu tak tergoyahkan. Bukannya sia-sia tapi mubazir tercecer di jalanan.

Penulis: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com