Gerakan Buruh Pasca Pemberontakan yang Gagal

Bagikan artikel ini

Judul buku: Buruh, Serikat dan Politik, Indonesia pada 1920an-1930an
Penulis: John Ingleson
Penerbit: Marjin Kiri
Tebal: 521 + xx halaman
ISBN: 978-979-260-44-2

Para aktivis perburuhan, para mahasiswa yang sedang studi gerakan sosial, dan publik umum pencinta sejarah tidak akan menyesal membaca buku penting karya John Ingleson ini.

Pembaca akan merasa diistimewakan oleh layanan sejarawan Indonesianis kelas wahid yang meneliti politik dan gerakan perburuhan Indonesia dan penerjemah terampil Andi Achdian yang juga adalah sejarawan serta kerja prima dari penerbit Marjin Kiri.

Membaca naskah ini membuat kita masuk dalam alur cerita dan melihat peristiwa-peristiwa mengalir dari satu adegan ke adegan berikutnya dalam panggung sejarah bangsa pasca pemberontakan gagal Partai Komunis Indonesia (PKI) 1926 hingga sebelum pemerintah pendudukan militer Jepang pada Maret 1942. Buku ini terjemahan dari Workers, Unions, and Politics: Indonesia in the 1920s and 1930s (terbit tahun 2014) dan merupakan lanjutan dari buku in Search of Justice: Workers and Unions in Colonial Java, 1900-1926 (terbit tahun 1986). Fragmen dari karya utuh itu sudah dipublikasikan di berbagai artikel dalam buku Perkotaan, Masalah Sosial, dan Perburuhan di Jawa Masa Kolonial (Komunitas Bambu, 2013).

Pemberontakan gagal PKI 1926 berakibat merosotnya militansi para pemimpin serikat buruh. Tindakan represif pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap PKI dan serikat-serikat buruh di hingga awal tahun 1927 menimbulkan gelombang ketakutan. Kehidupan gerakan buruh di serikat-serikat berikutnya praktis tanpa pemogokan dan gejolak. Namun, alih-alih kemudian mati saat Depresi Ekonomi besar melanda semua penduduk di Hindia Belanda 1930-an, setelah di zaman sulit itu berlalu justru lahir tokoh-tokoh baru.

Cerita dimulai dengan andil orang-orang seperti Raden Panji Suroso yang memulai aktivismenya di gerakan perburuhan menjadi Ketua Serikat Buruh Pegawai Pribumi Departemen Pekerjaan Umum cabang Probolinggo dari tahun 1914 hingga menjadi pemimpin Persatuan Vakbond Pegawei Negeri (PVPN); si “Raja Mogok”, Suryopranoto, pemimpin Serikat Buruh Pabik Gula (PFB) 1930, hingga pemimpin serikat-serikat buruh yang bernaggota luas, termasuk Hindromartono dari batavia, Djoko Said dari Bandung, dan Ruslan Wongso dari Surabaya.

Zaman Bergerak

Sejak itu zaman menjadi “Zaman Bergerak” yang ditandai bangkitnya kembali kehidupan partai-partai nasional, elite-elite nasional yang hadir dan berperan di Volksraad, suatu pseudo dewan perwakilan rakyat di Hindia Belanda, ragam barang cetakan seperti koran, majalah, dan pamflet, hingga pertemuan-pertemuan umum di mana pidato-pidato yang berisi kritik dan anjuran yang membakar gelora massa. Pembaca disajikan di lembar demi lembar buku itu: situs demi situs, pelaku satu ke pelaku lain, wilayah satu ke wilayah lain, hingga cara bagaimana isu satu ke isu lain dikedepankan, termasuk hak-hak buruh untuk memperoleh jam kerja yang layak, kesehatan, upah minimum, penggajian dan perpajakan yang adil, lamanya waktu lembur, jatah dana pensiun, jaminan tempat tinggal yang nyaman, dan askses untuk pendidikan anak.

Selain diajak memahami pentingnya gerakan buruh, di “Zaman Bergerak” 1926-1942, kita diajak melihat “kawan candradimuka” dari para elite pemimpin politik yang kemudian berkiprah di masa pasca Proklamasi Kemerdekaan 1945: dari Wakil Presiden Muhammad Hatta, Sjahrir, Sukiman, SK Trimurti, Suroso, Hindromartono, Muhammad Jusuf, Suprapto hingga lainnya. Mereka menjadi terampil berpolitik setelah ditempa lebih dari 25 tahun gerakan buruh. Meski “bersatu karena menghadapi musuh bersama” dan “bertengkar setelah musuh bersama menghilang” sudah menjadi pepatah yang umum diketahui, maknanya menjadi terasa sungguh mendalam setelah membaca lebih dari 500 halaman bagaimana andil gerakan buruh sebelum masa kemerdekaan bagi kelahiran elite pemimpin politik pasca kemerdekaan. Perbedaan garis politik, cita-cita kemasyarakatan, dan orietasi ideologis semakin kentara setelah posisi-posisi di pemerintahan negara yang baru merdeka menjadi arena perebutan.

Gerakan buruh adalah sumber utama dari elite kepemimpinan nasional, sesuatu yang mungkin tidak ada lagi di zaman sekarang ini. Mestinya, setelah membaca cerita-cerita luar biasa dari “Zaman Bergerak” 1926-1942 ini, kita bisa bertanya apa yang membuat kita tidak lagi menemukan adanya jalur dari gerakan buruh ke elite kepemimpinan nasional seperti dulu lagi. Saat ini, boleh dikata sangat sedikit elite nasional yang memiliki perspektif politik perjuangan yang didasari pengalaman gerakan buruh ini dan juga dari perjuangan agraria kaum petani).

Orientasi Serikat Buruh

Hubungan antara serikat-serikat buruh dan partai-partai politik sepertinya bersitegang terus-menerus. Mereka yang berjarak dengan partai politik dan meyakini bahwa perjuangan serikat adalah untuk peningkatan kesejahteraan (istilah serikat buruh berorientasi ekonomisme) berhadapan dengan mereka yang ingin membesarkan partai-partai dengan membangun kekuataan massa melalui serikat buruh. Yang terakhir ini biasanya disebut serikat buruh yang berorientasi politik (political trade union). Tentulah partai politik bekerja untuk memenuhi kepentingan bisa menang pemilu dan berkuasa dengan menempatkan orang dalam parlemen hingga pucuk pemerintahan pusat dan daerah.

Para pemimpin serikat buruh yang bergabung dalam barisan partai politik meyakini bahwa ketika ada pemimpin politik yang berasal dari serikat buruh, ia bisa mempromosikan dan menjaga agar kebijakan-kebijakan pemerintah menguntungkan kepentingan kesejahteraan buruh. Sementara itu, kritik dari kubu serikat buruh yang berorientasi kesejahteraan adalah bahwa serikat buruh sering kali sekadar dijadikan konstituen ketika pemilihan umum atau dimobilisasi untuk tujuang menyokong atau mendastabilisasi pemerintahan yang berkuasa.

Pertentangan antara perjuangan ekonomisme dari serikat buruh dan masalah pragmatisme dalam serikat buruh yang politis akan terus mengisi dinamika gerakan buruh. Demikian pula pertarungan di antara serikat-serikat buruh itu sendiri yang berbeda partai politiknya. Siapakah yang meneliti masalah ini sekarang?

NOER FAUZI RACHMAN
Peneliti Utama di Sajogyo Institute dan Pengajar di Program Studi Sosiolohi Pedesaan, IPB

Sumber: Kompas, 10 Mei 2015

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com