Gerakan Kembali ke UUD 1945 Seraya Menghidupkan Kembali Filsafat Pancasila (Mengapresiasi Terbitnya buku Karya Prof Dr Kaelan, Liberalisasi Ideologi Negara Pancasila)

Bagikan artikel ini
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute
Penulis Swedia Juri Lina dalam bukunya Architects of Deception the Concealed History of Freemasonry berpandangan bahwa ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu negeri:
  1. Kaburkan Sejarahnya.
  2. Hancurkan bukti-bukti sejarahnya agar tak bisa dibuktikan kebenarannya.
  3. Putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakan bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif.
Menyadari tren yang cukup mengkhawatirkan itu, makan gagasan untuk menysun Gerakan memprakarsai kembalinya kita ke UUD 1945 asli pra amandemen, sebaiknya diintegrasikan ke dalam sebuah gerakan agar rakyat Indonesia pada saat yang sama menghidupkan kembali filsafat, khususnya Filsafat Pancasila.
Apalagi negara kita ini, sejak runtuhnya Kerajaan Majapahit, filsafat kita pun pada gilirannya  ikut punah bersamanya. Padahal kalau kita pelajari sejarah pergolakan politik Jepang, sekadar sebagai rujukan perbandingan, ternyata yang kemudian mengubah era Shogun Tokugawa ke era Restorasi Meiji, hal itu bukan dengan serta merta gara-gara tekanan dan paksaan dari Komodor Perry.
Sebelum itupun, di kalangan intelektual Jepang sudah terjadi pergolakan pemikiran dan filsafat. Sehingga ketika Jepang akhirnya tunduk pada desakan Komodor Perry untuk membuka daerah-derah pelabuhannya kepada Barat, Jepang justru memanfaatkan terjalinnya kontak dengan Barat, untuk mempelajari kekuatan rahasia keberhasilan negara negara Eropa dan Amerika.
Sehingga akhirnya Jepang bisa menyerap keunggulan Barat, namun saat yang sama, justru mengilhami Jepang untuk menghidupkan jatidiri dan budaya bangsanya ke arah kemajuan. Jadi negara maju dan modern, tapi tetap Jepang dan tidak jadi kebarat-baratan.
Mengapa jepang bisa begitu sedangkan kita ketika jalin kontak dengan Barat malah jadi orang yang kehilangan jatidiri? Jawabnya sederhana, karena kita tidak punya filsafat, begitu masuk pengaruh luar, malah memicu pikiran dan jiwa kita semakin kacau dan tidak tertata.
Jepang, begitu Barat masuk, namun mereka malah memanfaatkan kehadiran Barat untuk diserap habis kekuatan dan keunggulannya di bidang IPTEK dan Ekonomi, dan kemudian jadi negara maju dan modern yang tetap Jepang banget. Karena ketika menyerap dan mempelajari Barat, pikiran dan hatinya orang orang Jepang sudah beres. Siap lahir dan batin. Itu karena Jepang sudah punya filsafat. Semua masyarakat berfilsafat. Para pemimpinpun berfilsafat. Sehingga seperti kata pepatah, begitu kita siap, maka Sang Guru pun tiba.
Kebetulan saya terinspirasi dengan sebuah buku lawas karya Dr. Ryoke Ishi, Sejarah Konstitusi Jepang, terbitan 1988. Rupanya ada banyak hal baru ketika saya baca ulang sekarang. Seperti tulisan saya kemarin, bahwa ketika Komodor Perry maksa pemerintah Jepang supaya buka daerah-daerah pelabuhan untuk kepentingan perdagangan luar negeri, di Jepang sendiri justru sedang gencar-gencarnya pergumulan intelektual dan filsafat tentang gimana sebaiknya Jepang ke depan.
Apakah tetap dengan Kaisar Shogun sebagai raja, tapi prakteknya yang berkuasa adalah para gubernur Militer daerah alias Daimyo, atau mengembalikan kekuasaan penuh negara pada Kaisar, tapi menghapus peran Daimyo berikut sistem pemerintahan militer yang disebut Bakufu.
Sehingga raja bukan lagi sekadar simbol atau boneka para Daimyo (gubernur militer), melainkan memang punya otoritas politik penuh. Namun, formasi kekuatan politik penopangnya, justru harus lebih meluas dan mengembang, tidak boleh sekadar kaum militer belaka.
Dan akhirnya pilihan mengembalikan kaisar ke pucuk pimpinan tertinggi seraya menghapus sistem bakufu dan dominasi para Daimyo, yang menang.
Nah, ketika itu sudah clear, baru kemudian pemerintah Jepang secara resmi mengabulkan tekanan dari Komodor Perry untuk bukan pelabuhan.
Dari sini bisa ditarik satu hikmah pelajaran buat kita. Betapa ketika ketahanan nasional suatu negara sudah kokoh dan solid, membiarkan asing masuk, sama sekali bukan ancaman, malah justru sebuah momentum untuk mempelajari banyak hal dari dunia luar untuk kemajuan dan kejayaan sebuah negeri.
Maka tak heran dalam klausul deklarasi Restorasi Meiji ditegaskan, bahwa pengetahuan harus dipelajari dari seluruh dunia, untuk kesejahteraan dan kejayaan Jepang.
Di sini menarik frase yang dipakai. “Pengetahuan harus dipelajari dari seluruh dunia.” Jadi di sini kearifan lokal Jepang jelas dari awal jadi tuntunan, bahwa mempelajari bukan berarti menjadi antek atau meniru asing.
Inilah bukti nyata bahwa orang Jepang ketika mempelajari Barat pasca Restorasi Meiji, sudah beres lahir dan batin dari awal.
Karena itu saya mengapresiasi terbitnya buku karya Prof Dr Kaelan ini. Khususnya dalam menginpirasi kita untuk kembali menemukenali kembali. Sebagaimana diutarakan oleh Prof Kaelan dalam bukunya ini, bahwa Pancasila telah ada pada bangsa Indonesia dan telah melekat pada bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari berupa nilai adat istiadat, nilai-nilai kebudayaan serta nilai-nilai religius. Nilai-nilai tersebut yang kemudian diangkat dan dirumuskan oleh para pendiri bangsa (Founding Fathers) diolah yang kemudian disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945.
Berdasarkan itu, maka pada hakekatnya bangsa Indonesia ber-Pancasila dalam tiga asas atau Tri Prakara (menurut istilah Prof Notonegoro) yang rinciannya adalah sebagai berikut:
Pertama, Bahwa unsur-unsur Pancasila sebelum disahkan secara yuridis menjadi dasar filsafat negara, sudah dimiliki oleh Bangsa Indonesia sebagai asas dalam adat istiadat dan kebudayaan dalam arti luas (Pancasila Asas Kebudayaan).
Kedua, Demikian juga unsure-unsur Pancasila telah terdapat pada Bangsa Indonesia sebagai asas-asas dalam agama-agama (nilai-nilai religius) (Pancasila Asas Religius).
Ketiga, Unsur-unsur tadi kemudian diolah, dibahas dan dirumuskan secara seksama oleh para pendiri negara dalam Sidang-Sidang BPUK, Panitia Sembilan. Setelah bangsa Indonesia merdeka rumusan Pancasila calon dasar negara tersebut kemudian disahkan oleh PPKI sebagai Dasar Filsafat Negara Indonesia dan terwujudlah Pancasila sebagai asas kenegaraan (Pancasila asas kenegaraan). (Kaelan: hal 42, 2015).
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com