Giri Basuki, pelukis dan sarjana seni rupa Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP Jakarta), yang juga pernah bergabung dalam Teater Koma, asuhan mendiang Nano Riantiarno. Dan Drigo Tobing, Fotografer dan Peminat Sosial-Budaya, alumni Institut Kesenian Jakarta.
Pertama Giri Basuki mengapresiasi acara yang digelar GFI. Namun Giri menyarankan agar TELISIK diubah dari Teknologi, Literasi dan Musik menjadi Teknologi, Literasi dan Kebudayaan. Sebuah usul yang bagus juga untuk dipertimbangkan.
“Hari ini kita terhubung menjadi satu dunia yang namanya Globalisasi. Yang digerakkan oleh Teknologi (Digitalisasi, Internet dan Jaringan Data berkecepatan tinggi),” demikian Giri Basuki memulai salvo tembakan awal. “Selanjutnya Giri mengingatkan bahwa kita sebagai salah satu bangsa dunia yang masih termasuk negara berkembang, akhirnya menjadi “gagap” dalam memasuki abad teknologi digital yang semakin menglobal saat ini.”
Implikasinya di bidang sosial-ekonomi bagi bangsa dan negara-negara berkembang umumnya, jadi runyam. Salah satunya, menurut Giri yang kemudian menekuni hukum hak cipta dalam program pasca-sarjananya, banyak warga masyarakat yang kehilangan pekerjaan karena tidak siap sebagai tenaga-tenaga ahli di bidang Informationan Technology (IT). Baik sebagai perancang circuit, perancang program maupun sebagai tenaga ahli pengguna komputerisasi (teknisi).
Selanjutnya Giri Basuki yang sudah beberapa kali menggelar pameran tunggal, termasuk di Pusat Kebudayaan Prancis jalan Wijaya, juga menaruh keprihatinan pada bidang literasi. “Selain dampak hilangnya pekerjaan karena tidak siap menghadapi disrupsi seturut semakin cepatnya perkembangan dan perubahan teknologi, masyarakat kita juga semakin hilang dorongan minat membaca. Lantaran arus deras informasi mengalir tiada henti setiap hari masuk di kepala kita melalui gadget. Tapi ya itu tadi. Informasi tidak menjelma menjadi wawasan.”
Dengan itu, senada dengan Hari Samputra Agus dalam keynote speech di awal seminar, merosotnya kemampuan dan penguasaan literasi, berakibat merosotnya kemampuan dalam pemahaman dan penguasaan pengetahuan. Bisa jadi banyak tahu, namun miskin pemahaman. Akhirnya Giri Basuki berharap bahwa seminar terbatas yang terkesan sederhana ini, akan melontarkan pertanyaan-pertanyaan besar, yang pada perkembangannya juga gagasan-gagasan besar, yang pada gilirannya akan melahirkan gerakan-gerakan besar. Dan menciptakan arus utama baru di masa depan.
Drigo Tobing, pegiat fotograi dan alumni Institut Kesenian Jakarta, punya pandangan yang tak kalah menarik mengulas tema TELISIK. “Di tengah persimpangan budaya global, kita sebagai bangsa besar dan berbudaya harus bersikap. Artinya jangan hanya reaktif, namun responsif menanggapi tantangan global yang dipengaruhi pesatnya perkembangan dan perubahan teknologi digital saat ini.”
Terkait hal itu, Drigo Tobing merasa optimistik bahwa dengan kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto yang berlatarbelakang militer, mungkin bisa memajukan bangsa kita terutama dalam kedisiplinan. “Ketidakdispilinan tanpa ketegasan dan konsistensi, mustahil bangsa kita akan maju.” Demikian kalimat pamungkas Drigon Tobing.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)