Hari Jumat lalu (23/11/18), Global Future Institute (GFI) diundang untuk mengisi acara Workshop Jurnalistik yang disenggelarakan oleh Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Nasional (HIMAHI UNAS) di Aula Menara Unas Jl. RM. Harsono Ragunan Jakarta Selatan.
Perwakilan GFI yang hadir dan menjadi narasumber dalam event tersebut adalah Hendrajit selaku DIrektur Eksekutif GFI. Workshop itu pun sendiri mengusung tema: Fantastic International Relations Journalistic: “The Truth of Khashoggi’s Disappearance and Tuti Tursilawati’s Execution”. Selain GFI, workshop ini juga mengundang Harismawan Heryadi selaku perwakilan media pinterpolitik.com sebagai narasumber.
Adapun, Workshop ini bertujuan agar bagaimana mahasiswa hubungan internasional dapat berpikir kritis dalam melakukan pemberitaan dan menganalisa di balik kasus misteri pembunuhan Khashoggi dan polemik eksekusi hukuman mati yang menimpa tenaga kerja Indonesia Tuti Tursilawati.
Hendrajit yang didapuk sebagai narasumber berkesempatan meyampaikan bagaimana melihat kasus Khashoggi secara kritis, agar dapat menyajikan pemberitaan dan analisis yang komprehensif dan berimbang.
Berikut uraian yang ia sampaikan:
Di Arab Saudi nggak mungkin berharap numbangkan Raja Salman model Mesir atau Tunisia. Ibarat sepakbola Saudi nggak punya pemain lini tengah untuk mendinamisir permainan.
Dulu Raja Faisal pengganti Raja Abdul Azis sangat sulit diatur oleh Inggris dan Amerika dalam urusan minyak. Faisal tahu betul kartu truf negaranya.
Maka CIA pakai cara nekad. Mendorong keponakannya untuk gila menembak Faisal. Beng.! Maka terjadilah suksesi kepemimpinan.
Di balik pembunuhan Jamal Khashoggi ada sebuah skenario mengganti putra mahkota dari anak ke adik. Dari Muhammad bin Salman ke Ahmad bin Abdul Azis. Di sini sepertinya Khashoggi jadi tumbal perang intelijen kedua kubu istana.
Dalam kesempatan ini, saya ingin tekankan betapa pentingnya dua tahapan penting sebelum nulis. Pertama. Meriset data dan keterangan semua aktor yang bertaut dalam kejadian itu.
Fakta bahwa Khashoggi pernah jadi penasehat media Pangeran Turki al Faisal yang pernah jadi kepala intelijen Saudi selama 21 tahun antara 1979-2001 hampir diabaikan semua pengkaji atau wartawan yang menulis kematian Khashoggi.
Fakta kedua. Para jurnalis maupun pengkaji tidak mendalami fakta penting Hatice Cengist calon istri Khashoggi yang ikut nemanin kolumnis Washington Post itu ke konsulat Saudi di Turki. Hatice selain pendukung berat partainya Erdogan. Juga dekat dengan ring satu istana. Berarti sosok ini juga mengandung misteri yang perlu disingkap.
Fakta bahwa Khashoggi dekat dengan Turki al Faisal. Mantan kepala intelijen dan dubes Saudi di Inggris serta Amerika. Menggambarkan kedekatan Khashoggi dengan ring satu kerajaan dan keluarga dinasti Saud. Bukan itu saja. Fakta bahwa Khashoggi dekat dengan Turki al Faisal yang pernah mimpin badan intelijen Turki selama 21 tahun. Berarti Khashoggi merupakan bagian dari jaringan dan komunitas intelijen Saudi yang berada dalam binaan Turki al Faisal.
Dengan begitu Khashoggi bukan sekadar wartawan biasa. Dia juga mata rantai jejaring intelijen yang dirajut Turki al Faisal.
Sebab meski sudah mantan kepala intelijen sejak 2001, direkrutnya Khashoggi jadi penasehat media Turki al Faisal. Sepertinya bukan sekadar sebagai profesional bidang media belaka. Reputasi Al Faisal yang 21 tahun memimpin intelijen Saudi pastilah masih berpengaruh meski sudah mantan. Sebab pengaruhnya sudah berurat berakar di dalam dan luar negeri Saudi.
Dari aneka data dan keterangan tadi. Lantas langkah kedua sebelum nulis adalah menentukan sudut pandang. Apa angle yang pas dalam merangkai dan merajut kisah ini? Gampang. Khashoggi tumbal dari perang intelijen di internal kerajaan Saudi.
Perang senyap antara Muhammad bin Faisal versus kubu Achmad bin Abdul Azis telah menggunakan sarana intelijen. Kubu Muhammad bin Faisal ingin menculik Khashoggi dan bawa pulang ke Saudi. Operasi agaknya bocor. Maka dihadang dengan operasi kontra intelijen. Bukannya di culik. Malah di bunuh.
Itulah dua langkah sebelum menulis. Setelah itu? Ya mulai nulis dong.
Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)