Triono Akhmad Munib-Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Jember
Kondisi hubungan internasional yang berubah secara siginifikan pasca Perang Dingin menjadi sebuah titik dasar bangkitnya aktor-aktor transnasionalisme dewasa ini. Aktor negara yang tidak lagi menjadi sebuah the single actor menjadi menarik untuk dikaji yang membentuk sebuah diskurus ilmu baru dalam hubungan internasional yaitu transnasionalisme. Transnasionalisme diartikan sebagai proses “di mana hubungan internasional yang dilaksanakan oleh pemerintah telah disertai oleh hubungan indibidu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat-masyarakat swasta yang dapat memiliki konsekuensi-konsekuensi penting bagi berlangsungnya berbagai peristiwa” (Rosenau 1980:1).
Masih berkutat pada pengertian tentang transnasionalisme di atas bahwa hubungan internasional yang tidak lagi di dominasi oleh negara melainkan adanya aktor non-negara seperti: Multinational Corporations (MNCs), kelompok kepentingan, kelompok bisnis, dan bisa indvidu membuat studi hubungan internasional saat ini menjadi berwarna. Sesuai dengan apa yang diungkapkan kaum pluralis bahwa hubungan transnasional di antar rakyat dari negara-negara yang berbeda membantu menciptakan bentuk baru masyarakat manusia yang hadir sepanjang atau bahkan dalam persaingan dengan negara-bangsa[1]. Dalam beberapa hal, dunia pluralis semakin tidak stabil, sebab tatanan lama yang dibanggun berdasarkan kekuasaan negara telah hancur. Munculnya aktor transnasionalisme di atas memberikan dampak atas hilangnya sebuah kontrol dan kemampuan negara dalam menghadapi aktor transnasionalisme itu sendiri.
Berkaitan dengan lepasnya kontrol negara aktor transnasional seringkali melemahkan bargaining position suatu negara. Multinational Corporations (MNCs) sering kali lebih kuat dibandingkan bargaining position dari suatu negara. Sebagai contoh yang terjadi di Indonesia pada tahun 1960-an di mana pihak asing melakukan intervensi terhadap pembuatan UU Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia yang sebelumnya membatasi ruang gerak MNCs. Sebelumnya pihak asing hanya boleh memiliki saham sampai dengan 5% sehingga hal ini menyebabkan ketidakleluasaan pihak asing untuk menguasai Indonesia.
Pihak asing tidak puas dengan hanya dengan mendapatkan 5% dari saham di Indonesia, melalui intervensi dalam perubahan UU Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1968, pihak asing boleh memiliki saham sampai dengan 49%. Seiring berjalannya waktu pihak asing semakin bebas menguasai Indonesia karena pihak asing boleh memiliki saham sampai dengan 95%. Contoh kasus di atas menunjukkan bahwa negara tidak lagi memiliki power untuk menentukan kehendaknya sendiri. MNCs yang notabene sebagai aktor transnasional datang menanamkan investasinya dalam bentuk Foreign Direct Investment (FDI).
Kuatnya lobi dengan dibungkus oleh perbaikan kesejahteraan (penyerapan tenaga kerja) oleh MNCs membuat sebuah negara, khusunya negara berkembang meng-‘iya’ kan saja apa yang diinginkan MNCs. Dalam hal UU PMA yang seharusnya Indonesia yang merupakan aktor state memiliki porsi yang lebih tinggi ternyata status ‘state’ tersebut pun juga tidak menjamin kuatnya power dalam hal bargaining position. Pemerintah Indonesia yang semestinya berhak mengontrol dan memanajemen segala bentuk investasi dengan regulasi-regulasi yang diciptakan ternyata menjadi powerless ketika dihadapkan dengan kuatnya lobi aktor transnasional dalam bentuk MNCs di atas.