Tiga isu strategis dalam mengorganisir dan mengelola keberadaan International Criminal Court (ICC) atau Badan Pidana Internasional adalah: (1) Independensi, Integritas dan netralitas (impartiality), sehingga komunitas internasional akan menilai ICC tidak berat sebelah atau condong mendukung salah satu kubu dalam persaingan antar negara-negara adikuasa yang berlangsung dewasa ini.
Hal ini penting mengingat fakta bahwa kinerja peradilan dan kegiatan operasional ICC sangat bergantung pada kerja sama dan kesepakatan dari negara-negara anggotanya untuk menyelidiki dan menangkap individu kepala negara atau kepala pemerintahan yang didakwa melakukan kejahatan internasional seperti genosida, pelanggaran hak-hak asasi manusia berat dan kejahatan perang.
Masalah krusial muncul ketika dalam kasus surat perintah penangkapan Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu, sekadar sebagai sebuah ilustrasi, Israel meskipun bukan negara anggota ICC, namun ICC tetap punya wewenang karena Palestina merupakan anggota ICC. Sehingga ICC punya yuridiksi atas kejahatan yang dilakukan di wilayah Palestina. Namun demikian, perlawanan politik dan sikap tidak kooperatif Israel terhadap keputusan hukum ICC pada perkembangannya menghambat proses penyelidikan terhadap tindak kejahatan Benyamin Netanyahu.
Apalagi belakangan terungkap melalui Investigasi media Inggris, The Guardian, keterlibatan badan intelijen Israel, Mossad, yang secara aktif menghalang-halangi proses penyelidikan ICC terhadap tindak kejahatan Benyamin Netanyahu seperti memata-matai, mengawasi, dan mengancam staf ICC, terutama mantan Kepala Jaksa Fatou Bensouda dan suaminya.

Tentu saja kasus keterlibatan badan intelijen Israel, Mossad, merupakan salah satu perkara serius dan sensitif yang dihadapi ICC mengingat kewenangan ICC sebagai badan peradilan pidana internasional memiliki yuridiksi terhadap individual yang diduga melakukan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang.
Merujuk pada D. W. Bowett, yurisdiksi adalah “the capacity of a state under international law to prescribe or to enforce a rule of law”. Dalam artian yang lebih luas, yurisdiksi adalah kewenangan untuk membuat hukum (to prescribe law) dan kewenangan untuk memaksakan berlakunya hukum (to enforce a rule of law).
Namun dalam prakteknya, upaya menghalang-halangi proses penyelidikan keterlibatan individu kepala pemerintahan/kepala negara seperti dalam kasus keterlibatan badan intelijen Israel, Mossad, bukanlah satu-satunya. Pemerintah Amerika Serikat pun melakukan hal yang sama bertautan dengan upaya menghalang-halangi proses hukum dan penegakan keadilan yang dilakukan ICC.
Ambillah misal sebagai contoh, langkah yang dilakukan pemerintah AS ketika mengajukan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Pengadilan Yang Tidak Sah, telah memberi payung hukum kepada pemerintah AS untuk memberlakukan larangan visa dan pembekuan aset erhadap individu asing dan anggota keluarga mereka yang berkontribusi pada investigasi ICC yang tidak disukai AS.
Sebagai Rujukan Pembanding baca:
Alhasil, regulasi yang dikeluarkan pemerintah AS tersebut pada perkembangannya melumpuhkan kewenangan jaksa, hakim dan staf ICC lainnya. Bahkan sanski yang diberlakukan pemerintah AS atas dasar Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Pengadilan Yang Tidak Sah, pada gilirannya juga akan berdampak pada saksi, individu dan seluruh aktivitas penegakan hak-hak asasi manusia pada umumnya.
Kedua contoh kasus tersebut di atas hanya sekelumit kisah betapa beratnya upaya ICC menegakkan reputasinya sebagai Badan Pidana Internasinal yang Independen, punya integritas dan netral dari tarikan kepentingan negara-negara adikuasa untuk memaksakan kehendaknya terhadap ICC untuk menghalang-halangi proses hukum dan penegakan keadilan.
Segi lain yang penting disorot adalah kewenangan Jaksa Penuntut Umum sebagai pemain kunci di ICC. Mengingat peran dan kewenangannya, Jaksa Penuntut Umum ICC merupakan figur kunci di ICC yang cukup unik. Jaksa punya wewenang untuk memprakarsai proses investigasi, termasuk mendayagunakan sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk proses investigasi berbagai kasus atau perkara, menentukan lingkup keterlibatan individu-individu yang dianggap patut bertanggungjawab atas kejahatan yang dilakukan, dan kapan suatu proses investigasi bisa dihentikan.
Namun demikian di tengah kuatnya kewenangan Jaksa sebagai figur kunci di ICC, mekanisme untuk pengajuan Judicial Review terhadap keputusan jaksa penuntut umum ICC yang dirasa bertentangan dengan hukum dan keadilan sebagaimana diatur dalam Statuta Roma, dalam kenyataannya terbukti sama sekali tidak efektif. Selain itu, pengawasan vertical oleh Jaksa yang berkedudukan paling tinggi seperti Jaksa Agung dalam Sistem Hukum Nasional, sama sekali tidak ada dalam struktur badan pengadilan pidana internasional.
Alhasil, pada prakteknya kendali kontrol terhadap birokrasi dan adimistrasi ICC sebagai badan peradilan internasional sangat bergantung pada segelintir orang alih-alih setiap orang, sehingga tidak sesuai dengan lazimnya sebuah badan hukum yang bergerak di bidang peradilan.
Lantas, bagaimana halnya dengan Independensi ICC? Sulit untuk dibantah bahwa langkah dan manuver hukum ICC sampai sejauh ini sejatinya hanya Aksi Public Relations belaka. Sekadar untuk mempertunjukkan kepada publik bahwa ICC bersikap independen dan tidak berada dalam kendali Washington.
Namun, benarkah demikian? Fakta untuk membuktikan analisis itu cukup jelas. Meskipun AS bukan anggota ICC, namun kalau kita cermati secara jeli, negara-negara blok Barat praktis menguasai wacana dan arah kebijakan ICC. Negara-negara pemberi dana bantuan kepada ICC sepenuhnya atas persetujuan AS. Seperti Jepang, Jerman, Prancis, Inggris dan Italia. Bagaimana mungkin ICC bisa tampil sebagai Badan Pidana Internasional yang independent dan netral? Tidak mungkin.
Satu lagi indikasi ICC sebagai badan peradilan pidana internasoonal yang tidak indepeden adalah fakta bahwa anggaran tahunan ICC adalah sekitar 150 juta dolar AS, sehingga melebihi jumlah anggaran Mahkamah Internasional yang berada dalam naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Selain dari itu, setelah Perang Rusia-Ukraina berakhir, beberapa negara Eropa Barat telah meningkatkan alokasi anggarannya untuk ICC. Maka sangat masuk akal jika dalam putusan-putusan hukum yang dihasilkan ICC dalam kasus konflik Rusia-Ukraina, cenderung memihak Ukraina.
Dengan demikian, bisa dimengerti jika beberapa negara berkembang maupun yang baru bangkit sebagai negara maju seperti Cina, India, Turki, dan Arab Saudi, hingga kini tetap tidak tertarik bergabung sebagai anggota ICC, sebab mereka tahu bahwa setiap saat mekanisme ICC bisa diubah sehingga berakibat merugikan kepentingan nasional mereka. Begitupula Indonesia yang hingga kinipun masih tetap menolak bergabung sebagai anggota ICC.
Ketika independensi, integritas dan netralitas ICC diragukan, pada perkembangannya bisa menimbulkan Krisis Legitimasi. Mandulnya ICC dalam menangani Resolusi Konflik maupun rentannya tekanan politik terhadap arah keputusan hukum ICC yang cenderung menguntungkan salah satu negara dan merugikan negara saingannya, pada perkembangannya akan semakin memperlemah legitimasi ICC di mata komunitas internasional.
Memburuknya legitimasi ICC sebagai akibat dari kombinasi faktor-faktor tersebut di atas, pada perkembangannya akan mendorong negara-negara penandatangan Statuta Roma untuk menarik diri. Bahkan beberapa negara sudah mengisyaratkan bermaksud menarik diri meskipun saat ini belum melakukannya.
Indikasi hilangnya legitimasi ICC sebenarnya sudah juga sudah semakin nampak dengan belum bergabungnya tiga negara anggota tetap Dewan Keamanan Nasional Perserikatan Bangsa-Bangsa seperti AS, Rusia dan Cina. Keraguan terhadap prospek ICC juga semakin nampak jelas sebagaimana dipertunjukkan oleh Negara-Negara Afrika yang tergabung dalam Organisasi Persatuan Afrika maupun negara-negara yang tergabung dalam Liga Arab.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)