Hingga Kapan Pendangkalan dan Pengabaian Geopolitik Terus Berlangsung di Indonesia?

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

(Kontribusi pemikiran dalam seminar di Global Future Institute, Jakarta, bertema: “Menuju Ketahanan Nasional NKRI di Bidang Pertahanan, Energi, dan Pangan (Menakar Formasi Kabinet Pemerintahan Baru 2014-2019)” tanggal 9 Oktober 2014, di Wisma Daria, Jl. Iskandarsyah Raya, No 7,  Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

Latar belakang tulisan ini adalah keprihatinan atas praktek-praktek, baik penerapan geopolitik maupun implementasi konsepsi ‘ketahanan nasional’ di Indonesia, bahwa ada upaya sistematis untuk mendangkalkan, atau mengabaikan, bahkan berusaha me-NIHIL-kan sama sekali pemberdayaan geopolitik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini. Dalam catatan ini, kita tak lagi bicara definisi, epistimologi, ontologi, dll kecuali sekilas untuk menggiring pemahaman, namun lebih condong kepada implementif di lapangan agar lebih mudah dicerna.
Ada asumsi yang berkembang di masyarakat (awam), bahwa geopolitik itu domain militer semata, atau strategi dalam peperangan, ataupun dianggap sebagai studi dalam rangka mapping sumberdaya alam (SDA), atau ilmu “diawang-awang” — tidak membumi, dan lain-lain anggapan (serta stigma) untuk mereduksi manfaat dan urgensi geopolitik dalam perikehidupan kita. Stigma tersebut memang tidak semuanya salah, tetapi juga TIDAK BENAR. Artinya, bila asumsi awam tadi terus dikembangkan, maka kita merupakan bagian golongan yang secara sistematis turut mendangkalkan atau mengabaikan praktek geopolitik dan ketahanan nasional di republik tercinta ini.
Pertanyaannya sederhana, “Bukankah sebagai ilmu dan pengetahuan, selayaknya geopolitik tidak cuma menggiring suatu bangsa ke gerbang kemerdekaan saja, namun mutlak harus membawa bangsa-bangsa di atas (geo)-nya dapat sejahtera dan hidup bermartabat di muka bumi?”  Dan seandainya hal ini tak berjalan sebagaimana mestinya, maka inilah hulu kegelisahan dan merupakan pokok-pokok permasalahan bagi ketahanan nasional dan geopolitik semua bangsa manapun, dimanapun, dan sampai kapanpun.
Indonesia adalah negeri agraris dengan dua musim serta mempunyai curah hujan tinggi, namun kenapa mesti impor berbagai komoditas pangan yang sesungguhnya sangat berlimpah di tanah ini? Republik ini memiliki wilayah dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, tetapi mengapa harus mengimpor garam, ikan, dll? Sekali lagi, negeri ini dalam lingkaran sabuk api (ring of fire) dimana emas, minyak, gas bumi, dan berbagai jenis tambang lain pasti berlimpah, tetapi kenapa harus impor minyak dan gas untuk keperluan rakyatnya? Itulah POKOK PERMASALAHAN BANGSA yang sesungguhnya!
Persoalan bangsa ini ada di hulu, yakni ‘penguasaan ekonomi dan pencaplokan SDA oleh asing! Itulah skema kolonialisme dimanapun, sampai kapanpun. Lalu, sudahkan segenap anak bangsa yang tercerahkan telah berjuang guna membawa bangsa untuk keluar dari skema ini? Atau segenap elit politik dan rakyat justru sibuk serta gaduh hanya pada tataran hilir belaka? Sibuk soal HAM misalnya, atau kebebasan yang kebablasan?
Kembali ke geopolitik dan ketahanan nasional. Keduanya, baik geopolitik maupun ketahanan nasional itu sejatinya ‘satu tarikan nafas’. Artinya, jika boleh diabstraksikan, seandainya geopolitik itu ilmunya, maka ketahanan nasional adalah implementasi dalam ujud kondisi dinamik bangsa yang meliputi aspek kehidupan yang terintegrasi berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara, serta perjuangan mengejar tujuan nasional.
Ada delapan elemen dalam geopolitik dan konsepsi ketahanan nasional yang mesti diberdayakan, yang istilah lainnya disebut “astagatra” yang meliputi pancagatra dan trigatra. Pancagatra itu meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan (ipoleksosbudhankam), sedangkan trigatra yang terdiri atas geografi, demografi atau kependudukan, dan SDA. Itulah ladang geopolitik kita serta elemen yang mutlak dipertahankan, diberdayakan dan diperankan dalam konteks berbangsa serta bernegara terutama dalam konteks kebijakan serta politik luar negeri.
Banyak teori beberapa pakar dimana ajaran mereka sering dijadikan rujukan banyak negara di dunia. “Teori Ruang”-nya Friederich Ratzel (1844–1904), atau “Teori Kekuatan”-nya Rudolf Kjellen (1864–1922), “Teori Pan Region”-nya Karl Haushofer (1869–1946), teori Sir Halford Mackinder (1861–1947) tentang “Heartland” (Jantung Dunia); atau “Teori Kekuatan Maritim”-nya Walter Raleigh (1554–1618), Alfred T. Mahan (1840–1914),  atau “Strategic Intelligence for American World Policy”-nya Sherman Kent (1966); “Strategic Intelligence Production”-nya Washington Platt (1957) dan lain-lain.
Akan tetapi dalam catatan ini, saya ingin memperkenalkan ajaran bangsa sendiri, yaitu Panglima Besar Jenderal Soedirman, Ir Soekarno, dan HM Soeharto agar terasa lebih membumi, agar geopolitik tidak lagi dianggap ‘teori di awang-awang’ sebagaimana stigma selama ini. Sedangkan ulasan teori Barat mungkin sekilas, selain sebagai perbandingan terutama aspek atau elemen-elemennya, juga untuk menyambungkan bahasan dalam konteks peristiwa yang terbahas.
Ketika Pak Dirman memberi nasehat (geopolitik), “Pertahankan rumah serta perkarangan kita sekalian” (1947) kepada segenap anak bangsa, Bung Karno (BK) pun menterjemahkan nasehat tersebut pada saat di Lembaga Ketahanan Nasional RI (Lemhanas), 1965, “Orang tidak bisa menyusun pertahanan nasional yang kuat, orang tidak bisa membangun satu bangsa yang kuat, sebagai satu bangsa negara yang kuat, kalau tidak berdasarkan pengetahuan geopolitik”
Ada keniscayaan kesinambungan konsepsi, jika Pak Dirman menekankan bahwa “rumah dan pekarangan” mutlak harus dipertahankan, maka BK menafsirkan “mempertahankan rumah dan pekarangan” melalui sebuah “sistem pertahanan yang kuat, mencipta bangsa yang hebat, dan menuju negara kuat, mutlak harus melalui geopolitik”. Maka “Wawasan Nusantara”-nya Pak Harto yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945 merupakan penebalan atas (butiran) konsepsi keduanya, yakni cara pandang dan sikap bangsa mengenai diri dan lingkungannya, dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Yang merupakan satu kesatuan ideologi, satu kesatuan politik, satu kesatuan ekonomi, satu kesatuan sosial budaya dan satu kesatuan pertahanan dan keamanan. Inilah sekilas teori dan konsepsi geopolitik dan ketahanan nasional Indonesia.
Pertanyaannya adalah, “Bagaimana posisi geopolitik dan kondisi ketahanan nasional kita sekarang dalam konteks geopolitik global?” Silahkan dicermati serta dijawab sendiri menurut cara pandang masing-masing ilmu yang digeluti, baik dari elemen ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, geografi, kependudukan, dan SDA. Tulisan ini tidak akan membahas adanya pelemahan Pancasila sebagai ideologi yang sudah jarang disebut, apalagi diterapkan? Saya juga tidak mengupas sistem ekonomi yang cenderung kapitalis, atau SDA yang ‘dirambah’ oleh negara lain atas nama investasi asing, atau sistem politik sejak reformasi yang lebih condong ke liberalisme, dll. Silahkan cermati sendiri sesuai masing-masing disiplin ilmu.
Perbandingan Konsepsi, Pendangkalan dan “Bencana” Geopolitik
Dalam komparasi ini, saya tidak membandingkan sifat serta karakter antara geopolitik Barat yang cenderung offensive (menyerang) daripada karakter Timur cq Indonesia yang defensive (bertahan) aktif. Tetapi perbandingan konsepsi hanya atas elemen atau aspek-aspeknya dari geopolitik saja.
Menurut dua pakar geopolitik yakni Washington Platt dalam buku Strategic Intelligence Production (1957) dan Sherman Kent dalam Strategic Intelligence for American World Policy (1966), elemen geopolitik itu meliputi geografi, demografi, kultur, transportasi, ekonomi, militer geografi, politik dan komunikasi.  Maka silahkan bandingkan dengan model “astagatra” (delapan elemen) yang dikembangkan pada lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia yang meliputi “pancagatra” (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan) dan “trigatra” (geografi, demografi dan SDA).
Sekali lagi, catatan ini tidak ingin menguji kedua ajaran dan konsep (elemen/gatra geopolitik) di atas. Artinya mana lebih unggul, mana yang lemah, kurang lengkap, dll. Semuanya tepat pada zamannya, cocok pada tempatnya. Namun jika merujuk teori-teori Sherman Kent (1966) dan Washington Platt (1957), tampaknya faktor komunikasi dan transportasi agak diabaikan dalam ketahanan nasional di republik tercinta ini. Sebaliknya, bila berbasis konsepsi “astagatra”, maka terlihat bahwa Kent dan Platt justru menihilkan faktor ideologi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan. Entah kenapa. Namun terlepas penilaian mana yang lebih bagus diantaranya, tampaknya faktor SEJARAH dinihilkan oleh kedua konsepsi (teori) tadi.
Merujuk uraian serta diskusi di atas, bahwa telah terjadi —asumsi penulis— selain pendangkalan makna ketahanan nasional juga mungkin ada “bencana geopolitik” di Indonesia karena selama ini meng-ABAI-kan aspek atau elemen vital bagi sebuah kehidupan berbangsa dan bernegara yakni aspek TRANSPORTASI, KOMUNIKASI dan SEJARAH.
Ada tiga retorika yang (semoga) menggelitik logika, nalar, naluri dan rasa kita sebagai bangsa berdaulat di muka bumi:
Pertama, “Pantas saja bangsa ini adem ayem ketika satelit komunikasi satu-satunya dijual ke asing, karena memang aspek komunikasi bukan bagian daripada ketahanan nasional kita. Pada gilirannya, bukankah Indonesia menjadi ‘telanjang’ di mata global?”;
Kedua, “kita merasa enjoy dan sah-sah saja, tatkala terbit produk hukum kita bahwa asing boleh mengelola pelabuhan-pelabuhan laut dan udara hingga di atas 50%, — sebab, bukankah transportasi tidak menjadi bagian geopolitik yang harusnya dipertahankan?”;
Dan ketiga, “kita tidak berusaha menguak kebenaran perjalanan bangsa di tengah sinyalir global bahwa sejarah kita telah dibengkokkan oleh kaum kolonialisme, padahal penelitian Arysio Santos dan Steppen Oppenhemer telah menyatakan bahwa Indonesia dulu merupakan bangsa yang unggul (Atlantis). Adakah tindak lanjut atas hasil penelitian kedua pakar asing tersebut oleh pakar Indonesia?”
Demikianlah makalah singkat dan sederhana dibuat, sempitnya waktu dan kesibukan penulis menjadikan tulisan ini lebih layak disebut ‘ungkapan hati atau uneg-uneg’ karena tanpa referensi sebagaimana layaknya naskah dalam seminar. Tulisan ini bukan sebuah kebenaran apalagi berniat membenaran diri, tidak sama sekali, akan tetapi mungkin sebatas sharing  pengetahuan terkait ketahanan nasional dan geopolitik (praktis).
Dan rekomendasi yang ingin saya sampaikan pada makalah ini adalah, agar sesegera mungkin dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya ada kajian ulang perihal materi geopolitik kita terutama penambahan pada aspek komunikasi, transportasi dan sejarah sebagai elemen dalam ketahanan nasional. Dan lebih penting lagi ialah sosialisasi dan internalisasi studi geopolitik secara gegap gempita pada semua elemen sesuai level-level pendidikan secara implementatif.
Geopolitik adalah takdir!
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com