Hukum Pertanahan: Keselarasan Hak Dan Kewajiban Atas Tanah Dalam Semangat Nasionalisme Yang Produktif Serta Berkeadilan

Bagikan artikel ini

Pentingnya upaya untuk membangun segenap potensi pertanahan dan agraria nasional agar mampu mendorong daya saing nasional dengan landasan penegakkan hukum yang konstruktif dan berkeadilan

Posisi Agraria dalam hal ini, harus disesuaikan dengan amanat konstitusi NKRI dalam aspek agraria, sudah seharusnya dilaksakan secara komprehensif. Sebab, penatakelolaan sumberdaya nasional dan kreativitas warga bangsa harus dapat dijamin secara hukum. Berlandaskan ketentuan UUD 1945) hasil Amandemen Keempat, Pasal 33 ayat (1): perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Kemudian, di dalam ayat (2): Cabang-cabang Produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Lantas, pada ayat (3): bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ayat 4: perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Oleh karena itu, kebijakan nasional di bidang pertanahan, berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006, – terkait dengan tanah bersifat abadi, bahwa seluruh wilayah NKRI merupakan kesatuan tanah air, dan seluruh rakyat. Tanah sebagai perekat negara, maka itu perlu diatur dan dikelola secara nasional dalam kerangka  menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara Republik Indonesia. Pengaturan dan pengelolaan pertanahan tidak hanya ditujukan untuk menciptakan ketertiban hukum saja, akan tetapi juga untuk menyelesaikan berbagai masalah, sengketa, dan konflik pertanahan. Kebijakan Pertanahan perlu disusun dengan memperhatikan aspirasi yang berkembang dan realitas peranserta masyarakat dalam memajukan kesejahteraan umum.

Kepemilikan Tanah (Land Ownership),- sehubungan dengan pelaksanaan program pembangunan nasional selalu berpotensi membawa berbagai konsekuensi logis terhadap tatanan kebidupan nasional itu sendiri. Pembangunan tidak hanya bertujuan untuk menggapai suatu kemegahan secara fisik (ekonomis) tetapi juga sebagai upaya dalam menghargai dan menempatkan berbagai Hak Warga Atas Tanah sesuai dengan hokum yang berkeadilan, serta adanya diskreasi kebijakan dan keputusan pemerintah yang baik (proper discreation) demi kesejahteraan warga bangsa (NKRI).

Itu sebabnya, kemudian pengaruh political will tetap diperlukan untuk memberikan rasa aman, dan pengertian yang baik tentang eksistensi pertanahan nasional dan daerah dalam mencari solusi terbaik agar segala ragam program pembangunan yang terkait dengan segala kebutuhannya terhadap sektor pertanahan (agraria) selalui dapat berjalan dengan baik, setelah memperhitungkan pula eksistensi nilai-nilai kearifan lokal dalam konteks dinamika pembangunan wilayah tersebut.

Disamping persoalan aspek ekonomis yang terkait dengan pertimbangan tentang untung (profit) dan rugi (lost). Padahal kalkulasi ekonomik perlu mencari atau menentukan forula yang baik, sejauh mana peranan rumah tangga konsumsi dan rumah tangga produksi berjalan secara efektif, seimbang dan produktif dalam laju pertumbuhan dinamika pembangunan terkait aspek agraria. Itu sebabnya, segi hukum positif yang berlaku dan mengikat harus diindahkan, agar tidak terjadi berbagai benturan sosial kemasyarakatan dan/atau antar stakeholders kehidupan di daerah/wilayah yang dijadikan objek program pembangunan yang terkait dengan aspek agraria tersebut. Agar kemudian pembangunan bisa berjalan secara kondusif, stabil, fenomenlogik, dan aman serta berkeadilan menurut hukum.

Setidaknya, masih diperlukan kemampuan dan hasil-hasil analisis yang berbobot serta konstruktif dalam konteks kajian hukum, agar dapat dikembangkan sebagai bahan pembanding dalam melahirkan konstruksi kebijakan hukum sosial ekonomi dari generasi ke generasi berikutnya. Meskipun para pemikir sosial ekonomi dan politik, seperti: Karl Marx Lenin, Stalin, Adam Smith, Keynes, dan seterusnya, – dianggap telah menjadi pioneer dalam rekonstruksi serta kristalisasi pemikiran soal aspek sosial ekonomi dan politik dalam dinamika dunia yang moderat atau kontemporer yang terus beranjak maju dan terbentuknya tatanan kehidupan yang semakin kompleks. Khususnya terkait dengan aspek agraria (pertanahan) yang menjadi wadah konstruksi dan rekonstruksi infrastruktur fisik yang dibutuhkan bagi kehidupan warga bangsa dan negara.

Sengketa tentang Hak Kepemilikan atas tanah tergolong cukup dominan dalam lapangan penegakan hukum (law enforcement). Meskipun harus memakan waktu yang begitu lama dan kebutuhan biaya perkara yang besar pula.Penyelesaian Sengketa Pertanahan yang tidak kunjung mendapatkan posisi hukum yang adil, seimbang, dan bermartabat bisa berujung pada kondisi kehidupan yang kontraproduktif. Apalagi kalau terjadi conflict by vested interests yang acapkali mengenyampingkan rasa keadilan dan mengkebiri fakta kebenaran hukum tentang status kepemilikan atas tanah. Sehingga sudah selayaknya perbuatan itu dikualifikasikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum. Bahkan, kenyataannya juga terjadi transaksi semu/fiktif (absurd) dengan mengatasnamakan Pihak tertentu atas objek tanah, sehingga dapat berujung pada sengketa agraria secara terbuka (penyelesaian sengketa melalui pengadilan).

Sebagaimana diutarakan oleh Dr. Hermayulis, SH, Msc, Jurnal Hukum Bisnis, 2000, bahwa untuk kondisi sosial budaya dan hukum tanah pada masyarakat Indonesia beraneka ragam, kehati-hatian ini perlu dicermati untuk menjaga agar tidak menimbulkan disintegrasi pada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai social asset tanah di kalangan Masyarakat Hukum Adat, karena tanah juga bisa menjadi sarana pengikat kesatuan sosial untuk hidup di atasnya.

Selain itu, seringkali jugaterjadi, ketika Jual-Beli Atas Tanah yang dicederai oleh perbuatan melawan hukum karena tidak dipatuhinya segala prosedur dan persyaratan yang dibutuhkan oleh Notaris/PPAT. Misalnya, Pihak yang bersangkutan harus melengkapi segala persyaratan yang masih kurang kepada pihak Notaris/PPAT, berikut data-data yang diperlukan untuk Pembuatan Akta. Apabila proses tersebut tidak dilakukan menurut ketentuan Peraturan Perundangan yang ada, maka itu praktis di kemudian hari berpotensi konflik terbuka. Sehingga fungsi penegakkan hukum akan terkendala oleh berbagai bentuk upaya kolaborasi antara pihak yang mengklaim tentang kepemilikan atas tanah dengan Oknum Aparatur, misalnya dengan skema Upaya Paksa (Abuse of Power), – sehingga Objek Tanah tersebut dapat dikuasai secara sepihak tanpa mengindahkan hak-hak orang lain atau pihak lain yang sah menurut hukum.

Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) melalui kebijakan reformasi agraria, sudah semestinya menunjukan etika birokrasi yang sehat, profesional, konstruktif, dan pelayanan publik yang semakin efektif dan berkualitas. Bahwa, sengketa agraria di tanah air, telah menjadi salah-satu sebab utama mengapa terjadinya kemandekan program-program pembangunan nasional di berbagai bidang, kelambanan/perlambatan pencapaian realisasi pembangunan infrastruktur.

Bahkan, sebagai akibat konflik agraria, tidak hayal telah menimbulkan kondisi yang stagnan bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah. Itu sebabnya, kompleksitas kasus hukum di bidang agraria tanpa dipungkiri telah  menjadi titik-tolak rendahnya produktivitas/ekonomi nasional dan daerah itu sendiri.

Maka itu, perlu dituntaskan sebaik-baiknya dalam sistem penyelesaian sengketa menurut hukum, sehingga tidak perlu lagi terjadinya tindakan yang menginjak-injak kepemilikan pihak lain, serta berbagai tindakan yang dapat dikategorikan sebagai bentuk penghianatan terhadap Hak-Hak Orang Lain, yang mana secara langsung atau tidak langsung juga bentuk penghianatan terhadap hukum yang berlaku dan mengikat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sehubungan dengan upaya penyelesaian sengketa agraria dalam kerangka memperoleh Kepastian Hukum (Rechtzekerheid) melalui Pengadilan, sehingga berdasarkan ketentuan Perundang Undangan Republik Indonesia, maka berbagai pihak sepatutnya menghindari tuntutan hukum secara Perdata maupun secara Pidana terhadap Pihak sebagai Pemilik Yang Sah, baik secara Hak Subjektif (Subjectiefrecht) maupun Hak Menikmati Kekayaan (Vermogensrechtten) atas tanah dan lain sebagainya sesuai dengan Peraturan Perundangan yang berlaku dan mengikat.

Hukum sebagai payung keadilan (legal justice) dalam pemanfaatan tanah sebagai objek realisasi program pembangunan, baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Singkatnya jangan sampai kepemilikan serta pemanfaatan sektor agraria justru mendatangkan komflik kepentingan yang tajam dan kontraproduktif, baik terhadap kepentingan perseorangan, kelompok orang, maupun bangsa dan negara dalam menyukseskan pembangunan nasional.

Termarjinalnya posisi tanah rakyat akan semakin memudahkan aset berharga ini menjadi barang yang hanya dinilai sebatas faktor ekonomis saja. Sedangkan, fungsinya  yang sangat esensial adalah sebagai bagian dari hidup masyarakat/warga bangsa, dan keberlanjutan pembangunan nasional. Maka itu, penguasaan tanah oleh individu dan badan-badan usaha (korporasi) akan semakin memperkecil peran masyaraakat kalamgan bawah (umum) dalam partisipasinya terhadap pembangunan, karena rendahnya daya aksesibilitas dan nilai keuntungan yang seharusnya diperoleh.

Karena itu, perlu upaya merumuskan kebijakan penanganan tentang masalah-masalah pertanahan dalam rangka mewujudkan stabilitas nasional perlu pengkajian dari berbagai aspek. Mulai dari aspek sosiologis, antropoligis, politis, ekonomis, hukum, hankam dan lain sebagainya. Khususnya terkait dengan aspek keadilan dan kepastian hukum dalam kepemilikan tanah.

Dalam kaitannya dengan aspek sosiologis selalu berkolerasi dengan fungsi sosial atas tanah dan penggunaan tanah, sifat hubungan tanah dengan pemiliknya yang sangat erat, kepentingan nasional, dan pengaruh globalisasi terhadap perubahan sistem nilai, norma hukum, dan mekanisme legalitas dalam penyediaan tanah untuk berbagai keperluan.

Dalam aspek ekonomi penyediaan tanah untuk pembangunan di berbagai bidang infrastruktur sangat terkait dengan tingginya harga tanah. Harga Tanah di perkotaan dan pedesaan sangat berbeda. Spekulan Tanah terkadang seringkali menjadi penyebab tidak terkendalinya harga tanah.

Segenap instansi terkait perlu melakukan upaya pengendalian harga tanah. Termasuk mendudukan secara proporsional tentang instrumen perpajakan dan pembatasan penguasaan atas tanah, terjaminnya kelestarian lingkungan hidup, pembentukan bank tanah (land banking) dan penggunaan saham dalam pemberian ganti rugi, khususnya oleh pihak korporasi.

Begitu juga bagi segenap stakeholders bangsa, utamanya Kemementerian, Badan, dan Lembaga terkait,  DPR RI, DPD RI, dan Masyarakat harus mampu merubah persepsi dan kesadaran publik tentang aspek hukum pertanahan yang mampu menjadi terminal akhir para pencari keadilan (justicia belen). Sehingga terjalin keterpaduan dalam upaya penerapan UUPA, serta sinkronisasinya dengan Undang Undang Republik Indonesia dan Peraturan lain yang berkaitan dengan tanah/agraria.

Maka itu, untuk mengurangi masalah-masalah tanah perlu dipercepat pendaftaran tanah di seluruh Indonesia. Pentingnya terwujud suatu sistem pendaftaran tanah negatif yang dianut perlu ditinjau kembali. Sistem Pendaftaran Tanah adalah Mekanisme Perlindungan Hukum yang diberikan kepada Pemilik Tanah yang sebenarnya. Maka itu, diharapkan bahwa penyelidikan Riwayat Tanah harus digiatkan secara kontinu, sehingga mampu menghasilkan pengetahuan komprehensif tentang kepemilikan (ownership) atas tanah.

Utamanya dalam konteks pembangunan perumahan, berawal dari gagasan serius pemerintahan untuk mengembangkan sektor Perumahan untuk kebutuhan masyarakat maka kemudian hal itu telah memacu keinginan untuk mengembangkan keberadaan tanah. Lokasi perumahan yang akan dibangun di atas lahan yang sebelumnya telah dibebaskan, karena itu otomatis keberadaan tanah dibutuhkan. Praktis pembebasan tanah tersebut tergantung dengan legalitas yang dimiliki oleh pihak-pihak tertentu.

Apalagi suatu daerah yang telah menjadi tujuan investasi yang potensial, maka itu  perlu diambil inisiatif terlebih dahulu dalam mendayagunakan potensi lahan yang ada.  Selain itu perlunya pertimbangan terkait dengan penyediaan perumahan yang terjangkau untuk masyarakat sekaligus dapat menjadi motivasi pengembangan wilayah setempat. Perumahan yang harganya terjangkau oleh sebagian besar masyarakat.

Harian Kompas pernah memuat berita tentang proyek pembangunan dan kendala pengadaan lahan. Melalui Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Radjasa, dalam kaitannya dengan koordinasi Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI). Sejumlah proyek pembangunan yang tervalidasi per Maret 2012 untuk peletakan batu pertama sebanyak 89 (delapanpuluh sembilan) proyek, senilai Rp490,73 triliun. Proyek tersebut terdiri atas 30 (tigapulouh) proyek, termasuk dalam hal ini, yakni proyek infrastruktur dan proyek sektor riil. Proyek yang tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Papua dan Kepulauan Maluku.

Dalam upaya realisasi proyek infrastruktur yang secara khusus telah diatur dalam Undang Undang Jasa Konstruksi. Bahwa, dimulai dari persyaratan tentang adanya Izin Lokasi, Ketentuan Tentang Tata Ruang, Pembebasan Lahan, Pembentukan Panitia Proyek, data/dokumen tentang penguasaan/kepemilikan tanah, proses Peralihan Hak Kepemilikan atas tanah melalui mekanisme Jual Beli kepada perseorangan dan/atau Badan Hukum tertentu, sistem pengawasan Pemerintah Daerah (Pemda), pertimbangan terhadap kondisi di sekitar proyek, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Tanah Terlantar, kemudian juga aspek jenis Hak Atas Tanah, seperti: Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pengelolaan (HPL), Hak Milik (HM), termasuk soal Sertifikat HGU yang digadai kepada Perbankan, penyesuaian atas kebijakan terkait tentang reformasi agraria, identifikasi menyeluruh terhadap tanah yang terbengkelai.

Lebih lanjut, di berbagai daerah juga terjadi konflik karena peralihan Hak Kepemilikan Tanah yang berpotensi menimbulkan konflik agraria, seperti: Pinjam-Pakai Lahan dan Gadai Tanah. Persoalannya akan menjadi pelik, ketika dalam kurun waktu tertentu sebelum habis masa Gadai, ternyata Pemilik dan Pemegang Gadai meninggal dunia. Sehingga Ahli Waris akan mencari posisi hukumnya atas perikatan tersebut. Sedangkan tanah tersebut masih harus dan dapat dimanfaatkan oleh Pemegang Gadai.

Padahal diketahui, bahwa ada batasan waktu/tempo atas Gadai. Maka itu, kesadaran hukum atas perikatan tersebut dapat meminimalkan konflik agraria di tanah air. Jangan sampai, pihak-pihak tertentu memanfaatkan keadaan dengan mencari solusi berdasarkan kepentingan sepihak (vested interests) sehingga menimbulkan kerugian yang besar bagi pihak pemilik sesungguhnya. Dalam hal ini bisa ditemukan pada berbagai kasus di berbagai daerah terkait tuntutan agar bangunan dibongkar di atas suatu lahan. Termasuk bangunan Sekolahan, Tempat Ibadah, Perkantoran, Perumahan, Pabrik, Bengkel, Toko, dan lain sebagainya.

Terkadang Pihak Peminjam dengan Itikad-Tidak-Baik yang mencoba untuk memanipulir objek lahan dan atau penyalahgunaan hak (misbruik van recht) tersebut dengan cara melawan hukum, sehingga berusaha menjadikan tanah sebagai miliknya (materieele valscheid maupun intelectueele valsheid).

Disamping itu, baik secara finansial maupun etik kontribusi menurut kelaziman/kultur hukum tidak tertulis (ongeschreven recht) tidak ada atau tidak sama sekali didapat oleh Pihak Pemilik yang mana hal ini sangat bertentangan bila dibanding dengan hasil, baik dari segi materil maupun segi immateril yang didapat, atau dinikmati oleh Peminjam. Sehingga Buku yang ditulis oleh Undrizon, SH., MH, ini diberi judul: Hukum Pertanahan, Keselarasan Hak Dan Kewajiban Atas Tanah Dalam Semangat Nasionalisme Yang Produktif Serta Berkeadilan.

Buku ini setebal 304 (tiga ratus empat) halaman. Diterbitkan oleh Undrizon, SH, MH., And Associates Publishing, cetakan pertama pada November 2020. Bahwa, informasi yang sajikan bagi warga bangsa dan negara Republik Indonesia sudah seharusnya mampu membuka cakrawala pandang para pembaca, pengambil kebijakan dan keputusan, Periset (Researchers) di bidang hukum, praktisi, akademisi, profesional, mahasiswa, dan masyarakat luas.

Buku ini telah mengetengahkan pembahasannya kedalam beberapa bagian atau Bab. Bab Pertama, mengetengahkan tentang Falsafah Hukum Pertanahan (Agraria) Dalam Bingkai Semangat Kebangsaan. Sehingga perlu memahami beberapa aspek fundamental sebagai Falsafah Dalam Pemikiran Filosofis Tentang Hukum Pertanahan (Agraria). Sekaligus juga mendeskripsikan tentang Falsafah Hukum Tentang Hak Kepemilikan Atas Tanah.

Sedangkan di dalam Bab Kedua, Pencapaian Tujuan Pembangunan Dengan Efektivitas Hukum Pertanahan. Sehingga diperlukan Hukum Pertanahan Dalam Menyikapi Resolusi Konflik Agraria Dalam Menunjang Pencapaian Proyek Pembangunan. Proyek Pembangunan Dalam Prosedur Hukum Atas Tanah, dan Keadilan Dalam Resolusi Konflik Agraria Dalam Realisasi Proyek Pembangunan.

Berikutnya, di dalam Bab Ketiga, mengedepankan tentang Sinkronisasi Penegakan Hukum Agraria Terhadap Implementasi Kebijakan Publik Dalam Menyukseskan Pembangunan Nasional. Agregasi Mindset Para Penegak Hukum Dalam Resolusi Konflik Agraria. Keselarasan Kebijakan Dan Penegakan Hukum Dalam Konflik Agraria. Konflik Agraria Berpotensi Mengoreksi Dayasaing Bangsa. Penguatan Perlindungan Hukum Terhadap Hak Kepemilikan Atas Tanah.

Sedangkan di dalam Bab Keempat, menjelaskan tentang Kebijakan Agraria Yang Selaras Dengan Prinsip Supremasi Hukum Dan Semangat Kebangsaan. Kebijakan Agraria Nasional untuk Kesejahteraan Rakyat Indonesia. Sektor Pertanahan Dalam Sistem Pemerintahan, Kenusantaraan, dan Kebangsaan. Penguatan dan Efektivitas Konsepsional Hukum Tanah Nasional Dalam Menyikapi Dinamika Pembangunan. Indikasi Berbagai Faktor Yang Mewarnai Konflik Agraria Nasional. Perlindungan Hukum Terhadap Bukti Hak Kepemilikan Atas Tanah. Membaca Dan Mengawal Arah Tren Konflik Agraria di Tanah Air. Mencermati Reforma Agraria Pada Kawasan Hutan.

Selanjutnya, di dalam Bab Kelima, menjelaskan tentang Sumberdaya Sektor Agraria Sebagai Pendukung Realisasi Konstruksi Infrastruktur Secara Berkeadilan Menurut Hukum. Konstruksi Infrastruktur Nasional Dalam Perspektif Undang Undang Agraria. Efektivitas Pembangunan Infrastruktur Dan Dampak Konversi Hak Atas Tanah. Konstruksi Infrastruktur Dalam Skema Agraria, dan Tata Ruang.

Pengelolaan Potensi fektif Agraria Dalam Konstruksi Perumahan Dan Permukiman. Pentingnya Pengertian dan Visi Hukum Agraria Bagi Masyarakat Dalam Konteks Pembangunan Perumahan. Dasar Pertimbangan Hukum Dalam Penetapan Pajak Bumi Dan Bangunan. Penegakan Ketentuan Hukum Tentang Batas Daerah Dalam Perspektif Penguatan Hukum Agraria.

Sementara itu, di dalam Bab Keenam, berupaya menukil pada wacana (suara) atau aspirasi publik yang tumbuh-kembang dalam corak irama advokasi masyarakat terhadap persoalan Agraria atau Pertanahan Nasional maupun Daerah, dan lain sebagainya. Sehingga dibutuhkan kemampuan dalam mencari Resolusi Konflik yang Efektif Dalam Sektor Agraria Sebagai Suatu Rekomendasi Kepentingan Hak Warga Berlandaskan Hukum Dan Kebijakan Agraria Nasional tersebut.

Menghindari Skema Konspirasi Dalam Penguasaan Hak Atas Tanah. Mengesampingkan Eksistensi Hak Kepemilikan Anggota Masyarakat Atas Tanah Sebagai Akibat Lemahnya Pelayanan Publik Dan Penegakan Hukum Agraria Serta Keadilan Hukum Dalam Ganti Kerugian Atas Tanah Sebagai Konsekuensi Logis Penyelenggaraan Pembangunan (Konstruksi) Infrastruktur Untuk Kepentingan Umum. Menghargai Jiwa Perjanjian Dalam Peminjaman Objek Kepemilikan Atas Tanah. Termasuk juga soal Penyelesaian Sengketa Agraria Dengan Keterlibatan Berbagai Pihak Dalam Penegakan Hukum  Yang Berkeadilan.

Selamat membaca, semoga bermanfaat adanya! (uzn)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com