Irfani Nurmaliah, pemerhati masalah Komunikasi Massa dan Komunikasi Sosial. Tinggal di Jakarta
Diprediksi pada tahun 2030, Indonesia akan memasuki tahun “window opportunity”, yaitu ketika hampir semua bangsa-bangsa di dunia akan melakukan “transformasi” yang sudah dirancang melalui berbagai arah kebijakan serta orientasi global masing-masing negara tersebut hingga 2030. Dalam masa tersebut, Islam diprediksikan masih dianggap sebagai ancaman, terutama “proses perdamaian” di Timur Tenggah masih akan mewarnai konstelasi konflik internasional. Namun dari sisi kekuatan Indonesia, yang dinilai memiliki jangkauan masa depan yang menjanjikan, termasuk di dalamnya yaitu kehadiran “demographic bonus” yang semakin menguatkan keyakinan bahwa Indonesia semakin berpeluang menjadi sebuah negara yang “diperhitungkan”, namun sekaligus “dikhawatirkan”.
Indonesia masih dikategorikan oleh negara-negara adidaya (mainstream) sebagai sebuah negara “fragile” (rentan) yang mengundang berbagai upaya kekuatan ideologi politik maupun ekonomi asing, dan berpotensi mendorong Indonesia menjadi sebuah negara yang dianggap barbar (barbaric state), atau bahkan “fail state” (negara gagal). Hipotesa tersebut berangkat dari realita bahwa Indonesia sejauh ini belum mampu “mengelola” secara susbtantif arah kebijakan maupun kekuatan institusi-institusi negara, terutama dalam “menghadang” upaya-upaya re-balancing power yang digerakkan oleh kekuatan asing, termasuk dalam meredusir potensi ancaman IS/ISIS.
Di tengah masyarakat Indonesia, saat ini mulai teridentifikasi adanya kecemasan atas potensi mencuatnya kembali aksi-aksi terorisme dan “barbarian”, melalui kemunculan kelompok IS/ISIS, dan keterlibatan sejumlah WNI di dalamnya. Fenomena ini diantaranya tercermin dalam berbagai “reaksi” masyarakat ketika menyikapi perkembangan isu maupun pemberitaan media massa menyangkut IS/ISIS, termasuk dalam menyikapi isu potensi serangan IS/ISIS ke Indonesia, maupun berbagai pengetahuan tentang “sepak terjang” IS/ISIS dalam menciptakan teror (ketakutan) dan merekrut simpatisan.
Dinamika perubahan tersebut, menuntut Humas (hubungan masyarakat) atau jajaran Kominfo lebih adaptif atas perkembangan global, regional maupun nasional. Profesi humas adalah profesi terbuka, yang dapat diakses oleh siapapun yang memiliki kompetensi. Untuk itu, mempersiapkan praktisi humas pemerintah yang berwawasan luas kini bukan semata tuntutan, tapi kebutuhan. Kehumasan pemerintah mempunyai tantangan dalam membangun sistem informasi dan komunikasi publik berkualitas dan proporsional.
Era baru Indonesia saat ini adalah era demokrasi digital yang dihadapkan dengan upaya-upaya re-balancing power yang digerakkan oleh kekuatan asing. Humas diharuskan mampu mengemas sistem pengelolaan dan pengemasan informasi yang dibutuhkan publik, akurat, dan menarik. Harapannya dengan adanya informasi yang sesuai dengan kebutuhan publik dan acceptable maka kepuasan dan keakuratan informasi publik bisa tercapai serta tidak membuat situasi di tengah-tengah masyarakat menjadi chaos.
Manajemen komunikasi yang baik diharapkan mampu membangun ruang publik yang memberikan kanal bagi proses komunikasi dan interaksi seimbang antara pemerintah dengan publik dan sebaliknya. Namun demikian, realita menunjukan sebagian besar humas pemerintah belum menjalankan tugas dan fungsinya. Masih banyak kendala yang dihadapi seperti kompetensi SDM, pola koordinasi, program kegiatan, kelembagaan, dan infrastruktur. Pada dasarnya membangun kepercayaan publik melalui jalur komunikasi dapat dilakukan dengan dua hal yaitu dengan menunjukan hasil kerja nyata dan menyusun strategi komunikasi efektif serta membentuk sikap serta perilaku dari orang yang diberi kepercayaan. Humas pemerintah seharusnya dapat memenuhi kedua hal di atas dengan peran yang kreatif dan berpikir strategis.
Komunikasi pemerintah efektif juga dipandang mampu memberikan akses informasi alternatif bagi keseimbangan dan mengedukasi masyarakat. Humas diharuskan mampu mengemas sistem pengelolaan informasi yang dibutuhkan publik, akurat dan menarik. Kepuasan publik bisa tercapai sehingga citra dan kredibilatas lembaga secara khusus dan pemerintahan Indonesia secara umum semakin dipercaya di mata masyarakat.
Diharapkan kedepannya, humas pemerintah harus dapat mengenali jati dirinya sebagai produser informasi dengan mengembangkan konten informasi yang proposional terhadap publik, utamanya mengenai kinerja lembaganya dan memfilter setiap informasi khususnya dalam ancaman terorisme. Pada hakikatnya, pemerintah harus menjalankan fungsi publiknya secara produktif, efektif dan efisien. Humas pemerintah juga dituntut bersinergi dan berkoordinasi menjaga citra pemerintah secara keseluruhan.
Masih Minim
Sejauh ini, masih sangat minim adanya upaya dari stakeholders terkait terutama di kalangan humas atau jajaran Kominfo di Pusat dan di daerah dalam mengcounter kegiatan propaganda yang dilakukan kelompok radikal. Padahal, materi propaganda dan counter propaganda mereka memiliki paradigma pemikiran yang dapat membahayakan nasionalisme dan pluralisme di Indonesia. Bahkan, kelompok radikal ini berpeluang untuk saling berkolaborasi dalam rangka menajamkan sasaran bersama yang ingin dicapai dengan strategi yang disepakati.
Strategi dan upaya yang dapat dimaksimalkan oleh stakeholders terkait terutama di kalangan humas atau jajaran Kominfo di Pusat dan di daerah untuk mengimbangi kegiatan propaganda dan counter propaganda yang dilakukan kelompok radikal antara lain : pertama, melakukan cipta opini di media massa termasuk media sosial. Jajaran humas atau Kominfo dapat membuat website atau media sosial di facebook, twitter, whatsapp dll sebagai sarana counter ajaran radikal dan edukasi nasionalisme.
Kedua, menggalang komunitas media terutama kalangan Pemred atau redaktur pemberitaan untuk tidak memuat berita/tulisan yang mengancam nasionalisme.