Husni Mubarak Raharusun, Alumni Studi Hubungan Internasional Universitas Nasional dan lulusan S-2 Universitas Pertahanan yang masih tergolong usia milenial.
Mengisahkan pengalaman risetnya yang cukup mengejutkan. Dalam risetnya terhadap kelompok separatis di Papua, ternyata kemampuan literasi masyarakat atau setidaknya para pemimpinnya, ternyata sangat bagus. Padahal mereka bermukim di daerah pedesaan. Bahkan jauh lebih bagus dibandingkan masyarakat-masyarakat kita yang berada di daerah perkotaan.
“Fenomena ini terkonfirmasi melalui penguasaan bahasa asing (inggris) mereka dalam berkomunikasi, dan pemahaman terhadap fase-fase sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, dimana sebagian besar masyarakat perkotaan tidak memahami atau bahkan tidak mengetahui sejarah tersebut,” begitu penuturan putra asli Maluku Utara tersebut.
Dari penuturan Husni Mubarak Raharusun, mengundang satu wawasan baru. Berarti, merosotnya kualitasi penguasaan literasi, tidak selalu otomatis akibat dari pesatnya perkembangan teknologi digitalisasi. Berarti ada sesuatu di dalam budaya bangsa kita sendiri yang perlu ditelisik ulang.
Pada poin yang disampaikan Husni Mubarak tadi, rekomendasi Martiono nampaknya menjadi penting untuk jadi bahan masukan. Bahwa para pemimpin bangsa harus mendorong Program Pemberdayaan Masyarakat sebagai prioritas nasional. Namun dari peuturan Husni Mubarak itu pula, menyingkap pentingnya wawasan sejarah dan sosial-budaya. Agar kita bisa kenal diri, tahu diri dan tahu harga diri.
Dengan itu, barulah kita bisa berharap, untuk membangun sumberdaya manusia yang kreatif, inovatif dan kritis. Sehingga dengan demikian penguasaan literasi dalam pengertian kemampuan membaca dan mengekresikan pikiran dan rasa, literasi juga merupakan jendela menuju pemahaman, pencerahan wawasan, bahkan penemuan jatidiri. Dengan demikian literasi juga merupakan sarana berpikir mendalam dan kritis.
Tim Penyusun: Hendrajit, Hari Samputra Agus, Korie Soenarko.