IMF Ditinjau dari Perspektif Liberal Institusional (Terminologi Sorensen)

Bagikan artikel ini

Dina Y. Sulaeman

Prolog 
Alur berpikir makalah ini adalah menelusuri ideologi pendirian IMF dari sudut pandang liberal institusional (dalam terminologi yang diberikan Sorensen), lalu membandingkannya dengan praktik IMF dewasa ini yang ternyata berseberangan dengan ideologi liberal institusional. Urutan sub judul dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Prolog
2. Terminologi
3. Ideologi Liberal Institusional
4. Perjanjian Bretton Woods 1944
5. Kegagalan Bretton Woods
6. IMF dan Tesis Liberalis Konstitusionalis
7. Kesimpulan

Terminologi

Liberal institusional adalah salah satu varian dari perspektif liberalisme dalam HI. Menurut Timothy Dunne[1], liberal institusional identik dengan liberal fungsional, yang memandang bahwa institusi-institusi internasional menjalankan sejumlah fungsi terbatas, lalu lama-lama berkembang. Contoh kasusnya adalah proses terbentuknya Uni Eropa (yang semula hanya dimulai dari kerjasama perdagangan batu bara antar beberapa negara di Eropa).

Namun dalam makalah ini, penulis menggunakan terminologi liberal institusional yang ditulis oleh Jackobson dan Sorensen (2009:154) atau Marc A. Genest (2004:124). Sorensen menulis, “Kaum liberal institusional menyatakan bahwa institusi internasional menolong memajukan kerjasama di antara negara-negara.”  Sementara itu, Genest menulis, “Liberal institusional memfokuskan pada institusionalisasi kerjasama global.”

Menurut Sorensen (2009:158), liberalisme institusional memandang bahwa institusi internasional membantu memajukan kerjasama antara negara-negara dan membantu mengurangi ketidakpercayaan antarnegara yang menjadi masalah klasik dikaitkan dengan anarkhi internasional. Sorensen juga mengutip Nye (1993:39) bahwa institusi akan membantu menciptakan iklim harapan berkembangnya perdamaian yang stabil.  Dalam sebuah jurnal, Sorensen juga menyatakan, institutions mean that cooperative relationships are heavily institutionalized.[2]

Ideologi Liberal Institusional

Baik Sorensen dan Genest sama-sama menyebut Woodrow Wilson sebagai tokoh dari liberal institusional. Pada tahun 1918 Wilson menyampaikan Pidato Fourteen Points-nya yang monumental, yang berisi 14 poin yang diperlukan demi menciptakan perdamaian dunia. Tiga  di antara 14 poin itu kemudian menjadi pilar pemikiran liberalisme, yaitu:
1. demokrasi
2. organisasi internasional
3. perdagangan bebas[3]

Liberalis memandang bahwa demokrasi merupakan salah satu syarat bagi terciptanya perdamaian. Menurut Michael Doyle, ada tiga elemen di balik klaim bahwa ‘democracy leads to peace’ , yaitu:

  1. Institusi demokratis dikontrol oleh rakyat yang pastinya tidak akan mendukung konflik kekerasan terhadap negara demokratis lainnya.
  2. Demokrasi  memegang nilai moral umum, antara lain memandang bahwa penyelesaian konflik secara damai dianggap lebih bermoral daripada aksi kekerasan.
  3. Perdamaian antar-negara demokratis akan diperkuat melalui kerjasama ekonomi dan salingketergantungan ekonomi.

Menurut Sorensen, liberalisme institutional menekankan peran institusi international dalam meningkatkan kerjasama antarnegara. Institusi-institusi  itu menyediakan aliran informasi dan forum negoisasi; dan juga membantu meyakinkan bahwa komitmen-komitmen akan dihormati. Dengan mengurangi potensi kurangnya kepercayaan antar-negara-negara, institusi akan membantu ‘menciptakan iklim yang membangun harapan terbentuknya perdamaian yang stabil.’[4]

Terkait dengan perdagangan bebas, Mosseau[5] menyatakan, kekuatan perdamaian demokratis  juga berlandaskan pada pembangunan ekonomi. Dengan kata lain, menurut Mousseau, perdamaian liberal tidaklah terjadi begitu saja, melainkan bergantung pada kesejahteraan bangsa-bangsa. Karena itu, dalam rangka menciptakan perdamaian, negara-negara kaya tidak bisa hanya berusaha mendemokratisasi negara-negara miskin, melainkan juga harus berusaha meningkatkan kesejahteraan negara-negara miskin tersebut.  Selain itu, negara maju sekalipun akan membutuhkan negara lain sebagai pasar dari komoditas mereka. Sehingga, hubungan ekonomi antarnegara perlu diatur oleh organisasi internasional yang memiliki perangkat hukum internasional.

Perjanjian Bretton Woods 1944

Meskipun tesis Wilson dalam Pidato 14 Points itu mengalami tantangan dengan pecahnya Perang Dunia I, namun  besarnya dampak perang, yaitu depresi ekonomi yang sangat berat (defisit neraca pembayaran, inflasi, pendapatan nasional menurun, pengangguran naik, dan perdagangan dunia menurun), membuat negara-negara kembali berpikir untuk mencari jalan keluar bersama. Situasi ekonomi dunia pada era 1920-an dan 1930-an ini disebut Great Depression. Tekanan situasi depresi ekonomi itulah yang memunculkan niat pemimpin dunia merumuskan sistem moneter dan keuangan dunia yang lebih aman dan menjamin kesejahteraan manusia. Karena itu, delegasi dari 44 negara-negara Sekutu berkumpul di Bretton Woods, AS, pada tahun 1944 dan menyepakati  dibentuknya institusi international untuk mencegah negara-negara mengambil langkah sendiri-sendiri dalam penyelamatan perekonomian mereka. Institusi internasional ini akan meminjamkan uang kepada negara-negara yang  membutuhkannya untuk menstimulasi pemulihan ekonomi mereka. [6]

Salah satu arsitek utama Bretton Woods adalah John Maynard Keynes yang dikategorikan sebagai ekonom liberal klasik. Sebelum pemikiran Keynes diterima kalangan pengambil keputusan, perekonomian berjalan dengan sistem laizzes-faire, dimana pemerintah dilarang ikut campur dalam urusan ekonomi dan biarkan pasar yang menentukan sendiri. Namun, Keynes memberikan teori bahwa hal ini justru meningkatkan angka kemiskinan. Keynes mengusulkan sebaliknya; pemerintah ambil bagian dalam regulasi ekonomi, termasuk dengan mengurangi pajak bagi kalangan menengah ke bawah, meningkatkan pengeluaran untuk pendidikan, pembukaan lapangan kerja, dan pembangunan infrastruktur. Melalui cara ini, mereka akan punya uang lebih banyak untuk kemudian dikonsumsi sehingga perputaran ekonomi akan menguat.[7]

Logika ini pula yang dipakai dalam pembentukan IMF: dengan memberi bantuan dana dari negara-negara yang surplus kepada negara-negara yang defisit, mereka (negara defisit) bisa mencapai neraca keuangan eksternal yang seimbang. Melalui cara ini, perekonomian negara-negara itu akan semakin menguat dan daya beli mereka terhadap barang-barang produksi negara-negara industri akan semakin meningkat pula. [8]

Rolland Paris dalam bukunya “At War’s End” (2004:22) menulis, “Perjanjian Bretton Wood melahirkan dua institusi keuangan internasional, yaitu IMF (The International Monetary Fund) dan Bank Dunia (World Bank). Keduanya kerap disebut ‘Institusi Bretton Woods. ”  Sejak didirikannya hingga sebelum 1980-an,  IMF bertugas menyediakan pinjaman jangka pendek dengan tujuan stabilisasi keuangan suatu negara sehingga mampu mengatasi problem keseimbangan pembayaran mereka  (balance-of-payments problems) secara temporer. Bank Dunia berkonsentrasi pada pemberian pinjaman untuk proyek-proyek pembangunan skala besar.  Pada periode ini, IMF menetapkan syarat-syarat tertentu kepada negara penerima dana pinjaman, misalnya, keharusan untuk mengurangi pengeluaran publik (public spending), dan melakukan devaluasi mata uang.

Selain itu, melalui Perjanjian Bretton Woods juga disepakati bahwa sistem IMF menjadi lembaga yang harus bisa menutupi sementara neraca defisit atau masalah likuiditas anggotanya. IMF diberikan kekuasaan menjaga agar ketentuan ini dipatuhi khususnya tentang fixed exchange rate jangan sampai melebih paritas yang disepakati. Mata uang dunia ditetapkan dolar AS, tetapi dolar AS ini harus dikontrol dengan distandarkan kepada emas dan semua mata uang lainnya distandarkan kepada dolar AS. Amerika harus menjamin dolar setiap saat dapat ditukar dengan emas dengan rate yang ditetapkan 35 dolar AS per-ons.

Dampak kebijakan ini cukup baik. Era 1944-1974 disebut ‘abad emas’ karena kesejahteraan masyarakat meningkat, volume perdagangan antarnegara melonjak. AS naik tujuh kali lipat, upah meningkat 80 persen, stabilitas ekonomi internasional terjaga. Investasi meningkat lima kali lipat. David Felix menyatakan tidak ada periode yang panjang baik masa lalu maupun masa sekarang yang dapat diperbandingkan atau mendekati tingginya produksi, pertumbuhan produktivitas, pengangguran yang rendah, keadilan distribusi pendapatan dibanding yang dicapai Era Bretton Woods.[9]

Kegagalan Bretton Woods

Namun, sistem keuangan yang diatur oleh Bretton Woods ternyata akhirnya mengalami kegagalan karena sangat bergantung pada loyalitas satu negara tertentu, yaitu AS. Pada tahun 1970-an, menyusul dampak Perang Vietnam, AS mengalami resesi. AS tidak bisa lagi mendukung dollarnya dengan emas dan akhirnya pada tahun 1971, AS mengambil keputusan pragmatis yang menguntungkan dirinya sendiri (di sini, agaknya asumsi realis justru menjadi kenyataan). Secara sepihak AS keluar dari Bretton Woods dan menyatakan bebas mencetak uang dollar tanpa perlu mempertimbangkan cadangan emas yang dimilikinya. Pada saat itu, dunia sudah bergantung kepada dollar, sehingga keputusan AS ini tidak mengubah posisi dollar sebagai mata uang terkuat di dunia. Negara-negara dunia tetap mengkonversi mata uang mereka dengan dollar, meskipun harga dollar tidak lagi setara dengan emas; harga dollar sesungguhnya adalah harga pencetakan kertas dan angka di atas kertas itu ditentukan secara sepihak oleh Federal  Reserved.[10]

Sejak itu pula, terjadi pergeseran agenda IMF. IMF  yang semula didirikan untuk menertibkan kebijakan finansial negara-negara di dunia, serta memberi stimulus finansial negara-negara untuk me-recovery perekonomian mereka, kini justru menjadi lembaga yang ingin mengeruk keuntungan sebanyak mungkin dari negara-negara Dunia Ketiga demi kepentingan para pemegang saham terbesar di IMF (negara-negara industri maju). Dalam memberikan bantuan dana (pinjaman) kepada negara-negara berkembang, IMF  menetapkan syarat-syarat yang disebut ‘structural adjustments’. Rolland Paris Paris, menyebut bahwa sejak 1980-an, ada perubahan dalam konsep apa yang diperlukan untuk peningkatan ekonomi di negara berkembang yang sering diistilahkan Washington Consensus: negara-negara penerima bantuan haruslah mengimplementasikan kebijakan liberalisasi ekonomi, yaitu: ketentuan untuk penghematan fiskal dan kebijakan deflasi, privatisasi BUMN,liberalisasi perdagangan, devaluasi mata uang, dan deregulasi keuangan dan pasar tenaga kerja.[11]

Menurut John Walton and David Seddon, syarat-syarat yang ditetapkan IMF itu memiliki alasan sebagai berikut:
– Devaluasi mata uang membuat ekspor Dunia Ketiga lebih kompetitif dalam perdagangan internasional.
– penghematan fiskal akan menekan inflasi dan mengakumulasi uang untuk pembayaran hutang
– privatisasi BUMN akan mendorong inevstasi yang lebih produktif dan mengurangi biaya untuk menggaji pegawan negara
– Penghapusan subsidi makanan dan kebutuhan dasar lainnya akan membantu ‘penetapan harga secara benar’ sehingga menguntungkan produsen domestik.[12]

Namun, apa yang dikemukakan Walton dan Seddon di atas tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Menurut Thomas Gangale, dampak dari kebijakan liberalisasi ekonomi justru negatif, antara lain dikuranginya pelayanan pemerintah dan subsidi makanan telah memberi pukulan kepada masyarakat kelas menengah ke bawah. BUMN yang dijual untuk membayar utang kepada IMF justru dibeli oleh perusahaan swasta yang kemudian menghentikan pelayanan bersubsidi dan menaikkan harga-harga untuk mencari keuntungan sebanyak mungkin.Kebijakan fiskal seperti penaikan suku bunga dengan tujuan untuk menarik investor asing justru menghancurkan perusahaan domestik sehingga pengangguran meningkat. [13]

Rolland Paris dalam bukunya menyoroti penggunaan institusi Bretton Woods dalam menciptakan perdamaian di daerah-daerah konflik. Menurutnya, misi-misi perdamaian itu selalu menggunakan strategi yang sama yaitu menjadikan kawasan konflik menjadi kawasan demokrasi yang berorientasi pasar liberal. Strategi ini berlandaskan pada proposisi yang diungkapkan para pemikir liberal yaitu bahwa demokrasi liberal dan ekonomi yang berorientasi pasar  adalah formula yang paling meyakinkan untuk mencapai perdamaian,baik antar-negara maupun dalam negara. Paris menyebut pendekatan ini Wilsonian approach to conflict management. Institusi-institusi internasional yang disebut Paris sebagai pengusung pendekatan Wilsonian ini adalah: PBB, agen-agen khusus PBB (OSCE, EU, NATO, OAS, IMF Bank Dunia), serta LSM-LSM internasional yang bergerak di bidang pembangunan.[14]

Salah satu dampak yang bisa dilihat adalah kasus Yugoslavia. Yugoslavia pada tahun 1980-an  adalah negara penerima pinjaman dan ‘resep liberalisasi’ IMF. Pada saat itu, IMF meminta pemerintah Yugoslavia untuk mengimplementasikan penghematan pengeluaran yang sangat ketat, melakukan liberalisasi perdagangan dan tarif, menghapuskan subsidi makanan, mendevaluasi mata uang, dan membekukan investasi di bidang pelayanan sosial, infrastruktur dan proyek pemerintah. Kebijakan ini memicu peningkatan tajam jumlah penganggura dan meningkatkan polarisasi ekonomi  antara kawasan kaya dan miskin di negara, memicu ketegangan sosial dan ketegangan antara pemerintah pusat dan negara-negara bagian dan akhirnya menyeret pada disintegrasi negara Yugoslavia.[15]
IMF dan Tesis Liberalis Konstitusionalis

Mohammed Nuruzzaman dalam jurnalnya[16] menulis bahwa perspektif liberalisme HI menekankan peran penting  institusi internasional dalam peningkatan kerjasama international. Para pemikir liberal HI, seperti Axelrod, Keohane,  Nye, Lipson dan Milner  berargumentasi bahwa institusi memiliki kemampuan untuk menyediakan wadah untuk interaksi antarnegara sehingga institusi internasonal memiliki peran sebagai mediator dan mendorong kerjasama antar negara.

Nuruzzaman menulis, Negara adalah aktor rasional; mereka akan memaksimalkan perolehan keuntungan absolut (absolute gains) melalui kerjasama dan tidak terlalu memperhatikan keuntungan relatif (relative gains) yang didapat oleh negara lain. Institusi diperlakukan sebagai variabel perantara yang memiliki impak signifikan terhadap perilaku negara dalam memformulasi kebijakan dan pilihan mereka. Dalam rangka mendorong agar kerjasama bisa terwujud, kaum liberal institusional menekankan beberapa faktor, seperti hubungan jangka panjang antara sejumlah kecil negara, perilaku timbal balik yang tepat dan keberadaan kepentingan timbal balik yang akan memungkinkan adanya kerjasama. Institusi mendorong kepercayaan timbal balik antarnegara, menghentikan atau mengontrol kecurangan yang dilakukan negara-negara, dan membantu terjalinnya kerjasama internasional yang efektif.

Namun, oleh IMF (sejak era 1980-an), prinsip-prinsip yang dikemukakan Nuruzzaman di atas sama sekali tidak dipatuhi. Bukti yang dapat dikemukakan dalam hal ini antara lain:

  1. Hak voting dalam pengambilan keputusan di IMF tidaklah a one-state one-vote melainkan berdasarkan proporsi modal yang disetorkan kepada IMF. Pemilik modal terbesar adalah AS, sehingga AS pun menjadi suara penentu dalam pengambilan keputusan IMF. AS memiliki kuota 1/3 suara dari keseluruhan kuota suara dalam IMF, suara AS sendiri saja cukup  untuk memveto semua upaya perubahan terhadap Piagam IMF. [17] Lebih lagi, kantor pusat IMF berada di Washington, D.C., dan stafnya kebanyakan adalah para ekonom AS; personel IMF biasanya sebelumnya atau sesudahnya bekerja di Departemen Keuangan AS. Dengan demikian, tidak mengherankan bila kebijakan-kebijakan IMF sangat berpihak pada kepentingan AS atau perusahaan-perusahaan transnasional yang dimiliki oleh warga AS.
  2. Meskipun berkat resep IMF, terjadi pertumbuhan kerjasama ekonomi transnasional yang sangat pesat dan melibatkan perputaran modal yang sangat luas jangkauannya (mendunia), namun, mayoritas keuntungan terbesar diraup oleh perusahaan-perusahaan  transnatiponal yang dikuasai negara-negara maju. Sementara itu, negara-negara berkembang justru semakin tenggelam dalam utang. Mereka juga sangat bergantung pada arus modal luar negeri, terutama dalam bidang investasi portofolio (surat berharga), bukannya investasi yang memiliki daya serap tenaga kerja yang tinggi. Menurut Sumitra Chisti, hutang luar negeri negara-negara berkembang telah meningkat sangat tinggi, sehingga mereka terpaksa kembali meminta bantuan pinjaman dari IMF untuk menyeimbangkan neraca pembayaran. Sementara itu, IMF memberi syarat pinjaman berupa reformasi ekonomi yang terkait dengan perdagangan internasional dan aliran modal. [18] Dengan demikian, seolah terjadi lingkaran setan, karena sebagaimana telah penulis bahas sebelumnya, justru karena kebijakan IMF pula banyak negara yang terjebak dalam utang dan kesulitan ekonomi.,

Kesimpulan 
IMF didirikan dengan semangat membantu perekonomian negara-negara berkembang supaya kerjasama perekonomian antarnegara bisa terjalin secara lebih luas. Sebagaimana dinyatakan Agarwal,  “Pada tahun 1960 dan 1970-an, beberapa pemikir idealis menyarankanbahwa bantuan dana kepada negara berkembang bisa digunakan sebagai kebijakan ekspansif karena negara-negara berkembang memiliki kecenderungan sangat tinggi untuk mengimpor barang-barang dari negara maju.[19] Dengan kata lain, IMF semula bertujuan untuk menyejahterakan negara-negara berkembang supaya mereka bisa memiliki kekuatan ekonomi yang baik untuk bisa melakukan transaksi ekonomi internasional. Namun, idealisme awal ini kini terbukti tidak dijalankan oleh IMF.  Tesis liberalis institutional bahwa institusi internasional (dalam hal ini IMF) akan membangun kerjasama ekonomi dunia yang saling menguntungkan ternyata tidak terwujud. Yang terjadi bukanlah kerjasama yang saling menguntungkan, melainkan kerjasama yang menghisap darah pihak yang lemah.

Daftar Pustaka:
Buku:
Michele Frantiani, dalam Sustaining Global Growth and Development,
Rolland Paris
A. Riawan Amin
Marc Genest
Jackobson Sorensen
Jurnal:
Georg Sorensen, Liberalism of Restraint and Liberalism of Imposition: Liberal Values World Order in the New Millennium, International Relations 2006; 20; 251
Mosseau et al. How the Wealth of Nations Conditions
the Liberal Peace, European Journal of International Relations, Vol. 9(2): 277–314, 2003
Mohammed Nuruzzaman, Liberal Institutionalism and International Cooperation after 11 September 2008, Journal International Studies 2008; Vol 45; hlm.193
Manmohan Agarwal, Issues of Coherence in World Trading System: A Perspective from Developing Countries Journal International Studies 2006; Vol 43; hlm 203
Chishti, Sumitra, Globalization, International Economic Relations and the Developing Countries Journal International Studies 2002; Vol 39; 227
Artikel internet:
Thomas Gangale, Raising Keynes: Stiglitz’s Discontent with the IMF, http://pweb.jps.net/~gangale/opsa/ir/Raising_Keynes.htm
Sofyan S Harahap, Ekonomi Syariah, Bretton Woods, KTT ASEM, dan AS http://ibfi-trisakti.blogspot.com/2009/03/ekonomi-syariah-bretton-woods-ktt-asem.html
________________________________________
[1] Sebagaimana dijelaskan dalam perkuliahan Dr. Arry Bainus (sesi 3)
[2] Georg Sorensen, Liberalism of Restraint and Liberalism of Imposition: Liberal Values World Order in the New Millennium, International Relations 2006; 20; 251
[3] Genest, Marc (2004:138-141)
[4] Georg Sorensen, Liberalism of Restraint and Liberalism of Imposition: Liberal Values World Order in the New Millennium, International Relations 2006; 20; 251
[5] Mosseau et al. How the Wealth of Nations Conditions
the Liberal Peace, European Journal of International Relations, Vol. 9(2): 277–314, 2003
[6]Thomas Gangale, Raising Keynes: Stiglitz’s Discontent with the IMF, http://pweb.jps.net/~gangale/opsa/ir/Raising_Keynes.htm
[7] ibid
[8] Michele Frantiani (2003: 156)
[9] Sofyan S Harahap, Ekonomi Syariah, Bretton Woods, KTT ASEM, dan AS http://ibfi-trisakti.blogspot.com/2009/03/ekonomi-syariah-bretton-woods-ktt-asem.html
[10] A. Riawan Amin, Satanic Finance, 2007.
[11] Dalam Paris (2004:29)
[12] ibid
[13] Thomas Gangale, Raising Keynes: Stiglitz’s Discontent with the IMF, http://pweb.jps.net/~gangale/opsa/ir/Raising_Keynes.htm
[14] Paris (2004:151)
[15] Paris (2004:107)
[16] Mohammed Nuruzzaman, Liberal Institutionalism and International Cooperation after 11 September 2008, Journal International Studies 2008; Vol 45; hlm.193
[17] Michele Frantiani (2003: 157)
[18] Chishti, Sumitra, Globalization, International Economic Relations and the Developing Countries Journal International Studies 2002; Vol 39; 227
[19] Manmohan Agarwal, Issues of Coherence in World Trading System: A Perspective from Developing Countries Journal International Studies 2006; Vol 43; 203
Bisa juga diakses di http://magisterhiunpad.wordpress.com/2010/02/18/imf-ditinjau-dari-perspektif-liberal-institusional-terminologi-sorensen/#more-54.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com