Imperialisme Global AS Ala Donald Trump, Perspektif Negara-Negara Global South

Bagikan artikel ini

Meskipun Donald Trump memberi isyarat positif terhadap negara-negara berkembang (Global South) setelah dilantik sebagai presiden AS untuk kali kedua, namun negara-negara berkembang seharusnya bersikap waspada terhadap agenda-agenda tersembunyi Trump yang justru tidak dinyatakan atau diperlihatkan secara terus-terang.

Survey publik yang dirilis baru-baru ini menggambarkan pidato Trump saat pelantikan pada Januari 2024 lalu, sebagai berita bagus bagi negara-negara berkembang. Benarkah demikian? Untuk beberapa negara berkembang seperti Afrika Selatan, India, Brazil dan Indonesia, memang memandang arah kebijakan Trump tersebut cukup positif. Sepertinya sejalan dengan pandangan umum negara-negara di luar blok Barat bahwa Trump sejatinya seorang yang kompromistis, lebih senang bersifat transaksional dalam menjalin kerja sama yang saling menguntungkan, berorientasi bisnis dan pendekatan soft power, dan lebih suka damai alih-alih menerapkan pendekatan hard power atau militer.

Namun benarkah memang seperti itu style kepemimpinan Trump? Terlepas dari tampilan luarnya yang terkesan seperti itu, strategi politik Trump terhadap negara-negara berkembang atau Global South, sejatinya masih tetap sama. Menerapkan pendekatan Neokolonialisme terhadap negara-negara berkembang yang yang ia pandang tetap saja sebagai junior partner atau mitra yang lebih rendah daripada Amerika. Berkaitan dengan itu, seharusnya negara-negara berkembang justru khawatir.

Kebijakan perdagangan internasional Trump yang potektif dan bersikap keras kepada Cina, sebenarnya bukan saja ditujukan untuk melumpuhkan Cina sebagai negara adikuasa pesaing AS. Lebih dari itu, tindakan keras AS kepada Cina pada perkembangannya akan menciptakan efek bola salju ke negara-negara lain di Asia, utamanya Asia Tenggara. Trump dalam agenda tersembunyinya, bermaksud mengganggu stabilitas pasar terbuka yang dalam 30 tahun terakhir ini, berhasil meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan Cina, India, dan negara-negara di Asia Tenggara.

Sepertinya, Trump bermaksud menghilangkan apa yang disebut rules-based order yang dalam pandangannya telah membuat Cina dan negara-negara mitra-nya di Asia Tenggara, semakin Makmur dan sejahtera. Maka dengan menyingkirkan tatanan tersebut dan menggantinya dengan hubungan transaksional ala gangster mafia sekilas memang menjanjikan perubahan yang menyegarkan. Namun dunia internasional tanpa tatanan, aturan main, dan kerangka hukum dan peraturan yang setara, adil dan timbal-balik, maka yang tercipta kemudian adalah hukum rimba. Yang mana siapa yang kuat akan memangsa atau menindas yang lemah.

Beberapa negara berkembang di kawasan Amerika Latin yang terbukti pernah jadi mangsa AS di periode pertama kepresidenan Trump antara lain Kolombia dan Panama. Dan bayangkan. Ketika 80 persen barang-barang Meksiko diekspor ke AS, lalu Trump mengancam akan menaikkan tarif bea masuk barang-barang ekspor Meksiko, bukan saja Meksiko saja,  negara-negara di Amerika Latin lainnya pun  sontak bisa mengalami depresi ekonomi.

Dengan demikian, masalah krusial dari Trump bukan karena ia pemimpin yang berorientasi bisnis atau transaksional dalam menjalin perjanjian internasional, melainkankan karena menggunakan gaya transaksional untuk mencapai tujuan strategis yang bersifat politis. Yaitu mempertahankan hegemoni globalnya terhadap negara-negara berkembang di Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Timur Tengah.

Pandangan bahwa dengan gaya-nya yang transaksional itu Trump sebenarnya Cuma melancarkan gertak sambal sebagai tahap pendahuluan menuju kesepakatan, sejatinya tidak seperti itu. Anggapan semacam itu berarti meremehkan cara Trump memanfaatkan sarana-sarana bisnis untuk menekan negara-negara pesaingnya secara politis, alih-alih untuk menjalin kesepakatan bisnis.

Alhasil, seperti sudah terbukti semasa periode pertama kepresidenannya di Gedung Putih, Trump meskipun sudah mencapai kesepakatan binisis, tak ada jaminan jika Trump akan menaanti kesepakatan bisnis tersebut. Sebagai misal, pada periode pertama kepresidenan Trump, AS mengadakan perundingan dagang baru dengan Kanada dan Meksiko yang dikenal sebagai USMCA. Ternyata Trump menuntut adanya konsesi baru yang diperbarui.

Bayangkan, jika kemudian kesepakatan baru tersebut menghapus aturan-aturan main yang lama untuk merespons adanya tuntutan baru sebagai konsesi untuk terciptanya keseimbangan kekuatan baru yang menguntungkan AS, maka pada perkembangannya nanti setiap kesepakatan dagang/trade deal dilanda ketidakpastian karena bisa berubah lagi sewaktu-waktu. Padahal perusahaan-perusahaan multinasional maupun perusahaan-perusahaan trans-nasional memerlukan iklim usaha yang stabil dan kepastian hukum.

Begitupun, menarik mencermati gaya mafia atau gangster Donald Trump sebagai presiden yang seolah-olah sedang memaksa adanya peningkatan jumlah uang sebagai jatah preman. Dan di negara-negara berkembang yang tergabung dalam Global South, sepertinya semakin banyak yang menilai gaya kepemimpinan Trump persis kayak gangster atau bos mafia.

Namun strategi global AS tetap tidak berubah, tetap memaksa negara-negara berkembang sebagai mitra yunior yang tidak setara. Hanya berbeda gaya saja. Buktinya, menteri luar negeri AS Marco Rubio sudah mencanangkan akan membekukan semua program-progam bantuan AS seturut dihentikannya aktivitas USAID. Hanya negara-negara yang secara langsung menguntungkan AS sajalah, yang akan mendapat alokasi dana bantuan AS ketika USAID gaya baru yang nantinya dibentuk.

Gagasan di balik pembubaran USAID maupun pembekuan hampir semua dana-dana bantuan AS di bidang sosial-ekonomi maupun kesehatan, membuktikan AS sama sekali tidak peduli dengan kebutuhan masyarakat dunia. Seperti dengan seenaknya sendiri menghentikan bantuan Program PEPFAR. Padahal PEPFAR (President’s Emergency Plan for AIDS Relief) atau Rencana Darurat Presiden AS untuk Penanggulangan AIDS, merupakan program yang dijalankan oleh AS untuk memerangi HIV/AIDS di seluruh dunia. Bukankah kebijakan pembubaran USAID maupun pembekuan dana-dana bantuan AS seperti PEPFAR sejatinya akan semakin memperparah kondisi kesehatan masyarakat dunia?

Selain itu, keputusan Trump mendukung pembersihan etnik di Gaza, merupakan berita buruk yang amat mengkhawatirkan bagi warga Palestina di Gaza. Selain akan kehilangan tempat tinggal dan terpaksa mengungsi ke negara-negara lain, pada saat yang sama telah menyalakan lonceng tanda bahaya bagi Yordania dan Mesir, lantaran sewaktu-waktu harus menampung gelombang pengungsi Palestina. Kebijakan Trump terhadap Gaza bukan saja merugikan warga Palestina, melainkan juga akan menciptakan destabilisasi di kawasan Timur Tengah.

Sulit kiranya bagi Trump untuk mencitrakan dirinya sebagai peace maker atau juru damai, menyusul kebijakan ekspansionisnya ke Gaza akan dibaca juga adanya niat AS untuk memperluas wilayah teritorialnya di Timur Tengah. Melalui kerangka kebijakan seperti itu, bisa dipastikan Trump akan cenderung secara berat sebelah mendukung Israel alih-alih Palestina.

Nampkanya satu-satunya sebutan yang tepat bagi negara-negara Global South untuk menggambarkan sikap dan orientasi kebijakan luar negeri Donald Trump saat ini  adalah: Neokolonialisme dan Imperialisme AS.  Lantas bagaimana dengan Indonesia untuk menyikapi tren global yang dipertunjukkan Trump?  Indonesia dan tentunya juga negara-negara berkembang yang tergabung dalam Global South, sudah semestinya membaca konflik terbuka antara Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy di Gedung Putih, sebagai isyarat jelas watak Amerika yang tetap memandang rendah negara-negara lain, meskipun negara itu merupakan sekutunya, sebagai negara satelitnya. Jadi tetap memandang Ukraina, meskipun sekutunya sekalipun, sebagai negara satelitnya. Bedanya, kalau sebelumnya AS memandang Ukraina sebagai sekutunya dalam skema aliansi militer AS-NATO vs Rusia, sekarang AS melalui gaya kepemimpinan Trump yang bersifat transaksional dan ala gangster mafia, menjadikan Ukraina yang kaya mineral langka (rare-earth minerals) sebagai negara obyek neokolonialisme dan imperialisme di bidang ekonomi dan sumberdaya alam.

Nampaknya inilah pola yang akan diterapkan Trump terhadap negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Menawarkan bantuan ekonomi, keamanan, bantuan untuk Pembangunan Ekonomi, dan sebagai imbalannya, AS meminta akses untuk menguasai sumberdaya alam seperti mineral langka (rare-earth minerals). Menyadari hal tersebut, Indonesia sebagai negara kaya sumberdaya alam dan punya posisi strategis di kawasan Asia Pasifik, harus semakin waspada dan tetap menjaga independensi-nya di bidang politik dan ekonomi terhadap negara-negara adikuasa, terutama AS di bawah kepemimpinan Donald Trump yang sulit diprediksi itu.

Sebab bukan tidak mungkin ketika Indonesia dibujuk untuk bergabung ke dalam skema persekutuan ala  Strategi Indo-Pasifik AS, bukan saja Indonesia akan digiring masuk dalam persekutuan dengan AS, namun saat yang sama juga akan jadi obyek eksploitasi dalam Sumberdaya Alam. Sebab apa yang telah Trump perlakukan terhadap Zelensky  dengan meminta imbalan penguasaan mineral langka sebagai imbalan perlindungan AS menghadapi Rusia, nampak jelas menggambarkan karakter Amerika sebagai negara kolonial dan imperialis dalam memperlakukan negara-negara lemah.

Dengan itu, apa yang Trump perlakukan terhadap Zelensky, bisa menjadi pola yang sama dalam menghadapi Indonesia maupun negara-negara lainnya. Bisa saja nantinya Trump akan meminta konsesi sumberdaya alam kita seperti mineral langka termasuk Nikel, atau bisa juga meminta konsesi Indonesia rute perdagangan lewat jalur maritim sebagai imbalan atas bantuan ekonomi dan keuangan untuk Pembangunan Ekonomi. Sepertinya, dengan begitu gigihnya Trump meminta Greenland yang saat ini berada dalam wilauah kedaulatan Denmark, AS nampak jelas bermaksud mengontrol dan menguasai akses jalur maritim di kawasan Artik. Karena Greenland berada di antara Amerika Utara dan Eropa.

Sehingga manuver Trump yang seakan-akan bergerak zigzag tersebut, sesungguhnya sasaran strategisnya tetap tidak berubah. Menguasai sumberdaya alam negara-negara berkembang, dan menguasai akses rute-rute perdagangan lewat jalur maritim. Dengan demikian, Trump dengan segala gaya ala gangster maupun pendekatan transaksionalnya, sejatinya masih tetap melayani kepentingan korporasi-korporasi global di bidang perminyakan, gas, tambang-batubara dan mineral. Maka itu sangat tepat ketika mantan Presiden Joko Widodo semasa masih menjabat presiden mengeluarkan kebijakan melarang ekspor nikel ke AS. Kebijakan pemerintahan Jokowi kala itu dengan tegas mempertunjukkan dirinya sebagai negara yang tidak bersedia dikendalikan negara asing, yang dalam kasus ini adalah AS. Sekaligus memperkuat pendirian politik luar negeri dan kebijakan ekonomi internasional yang mandiri dan bebas dari campur-tangan asing.

Maka itu, dengan semakin meningkatnya kebutuhan negara-negara besar terhadap rare-earth minerals (mineral langka), saatnya bagi Indonesia untuk mengantisipai upaya negara adikuasa seperti AS untuk mengakses sumberdaya alam yang sangat bernilai seperti mineral langka tersebut. Kalau Trump dan AS yang selama ini memandang Zelensky dan Ukraina sebagai sekutu saja telah memaksa Ukraina memberikan konsesi dan aksesnya terhadap mineral langka sebagai imbalan untuk perlindungan militernya, sangat masuk akal jika AS kelak akan memperlakukan hal yang sama terhadap Indonesia. Terutama ketika satu saat meletus ketegangan militer yang cukup serius di kawasan Asia Pasifik, dan Asia Tenggara khususnya.

Namun demikian, pertengkaran terbuka Trump-Zelensky di Gedung Putih, telah menyadarkan kita bahwa Indonesia harus semakin mengaktualisasikan politik bebas-aktifnya secara lebih imajinatif. Semakin menajam konflik global antara AS versus Cina di Asia Pasifik dan Asia Tenggara khususnya, politik bebas aktid dan Gerakan Nonblok justru membuktikan masih tetap relevan untuk menjadi fondasi kebijakan bersama antara Indonesia maupun negara-negara berkembang di kawasan Asia Pasifik, dan Asia Tenggara pada khususnya. Bagi Indonesia, mengaktualisasikan politik bebas aktif maupun orientasi politik luar negeri atas dasar Spirit Gerakan Nonblok Beograd 1961 nampaknya tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Dengan itu, bantuan ekonomi dan kerja sama perdagangan dengan AS tidak boleh dikaitkan dengan agenda politik dan strategi global AS di Asia Pasifik seperti persekutuan militer maupun penguasaan akses sumberdaya alam Indonesia seperti mineral langka dan nikel. Kerja sama luar negeri harus atas dasar kesetaraan, terbuka dan saling menguntungkan satu sama lain. Tidak boleh didasari skema Neokolonialisme dan Imperialisme yang mana negara besar adalah sebagai orbit, sedangkan negara-negara berkembang seperti Indonesia hanyalah negara satelit atau negara proksi.

Mitra setara atau equal partner harus jadi prasyarat Indonesia maupun negara-negara berkembang yang tergabung dalam Global South, untuk membangun kemitraan strategis dengan negara-negara besar seperti AS, Cina, dan Rusia.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com