India Mulai Menyadari Bahayanya Bersekutu Dengan AS

Bagikan artikel ini

Sejak mantan Presiden AS Barrack Obama meluncurkan Strategi “Pivot to Asia,” dalam persepsi politik dan keamanan Cina, AS berupaya dengan segala cara untuk membendung pengaruh Cina di kawasan Asia. Salah satu yang mengganggu pihak Cina, upaya AS untuk membujuk India untuk bersekutu dengan India. Apalagi ketika AS berhasil mengajak India bersama-sama menandatangani Kemitraan Strategis, sehingga AS berhasil merangkul India bukan saja sebagai mitra, melainkan juga sebagai sekutunya di Asia Selatan.

Lantas, apakah Cina dengan itu lalu tinggal diam saja? Di sinilah kecerdikan India memainkan peran politik luar negeri non-blok alias bebas-aktif. Begitu Cina meradang oleh sebab kerja sama AS-India, maka Presiden Narendra Modi mengutus menteri luar negerinya,  Subrahmanyam Jaishankar, berkunjung ke Beijing, untuk meredakan kemarahan Presiden Xi Jinping.

Alhasil, India bukan saja berhasil meredakan kegusaran Xi Jinping. Bahkan berhasil mengadakan pertemuan tingkat tinggi kedua negara secara informal, di Wuhan, pada 27-28 April 2018. Namun India kemudian menjalin kerja sama dengan AS dengan menandatangani memorandum of agreement di bidang keamanan informasi dan komunikasi atau  the Communications and Information Security Memorandum of Agreement (CISMOA). Tepatnya pada 6 September 2018.

Baca:

Why Modi’s shifting India away from US toward China

Pada Oktober 2019 sebenarnya pernah juga diadakan pertemuan informal yang kedua antara Modi dan Jinping, di  Mahabalipuram, Tamil Nadu. Sayangnya pertemuan tingkat tinggi tersebut gagal mencapai kesepakatan. Sebabnya, lantaran Modi sepertinya lebih condong bersekutu dengan AS. Bahkan pada 2020, India-AS menandatangani kesepkatan  the Basic Exchange and Cooperation Agreement for Geospatial Intelligence (BECA). Sehingga kerja sama AS-India semakin solid.

Bahkan semakin solid dengan penandatangan MOU, the General Security of Military Information Agreement (GSOMIA). Dengan mengabaikan keberatan Cina. Namun anehnya, adanya serangkaian penandatanganan kesepakatan AS-India tersebut, ternyata tidak menjadi kenyataan. Investasi AS di India tetap saja sangat minim. Malah perdagangan India dan Cina semakin meningkat secara signifikan.

Sekarang India nampaknya mulai menyadari bahwa AS dalam kebijakan luar negerinya kepada India, masih dalam kerangka neokolonialisme. Dalam menjalin hubungannya dengan India, AS memandang India bukan sebagai mitra setara. Melainkan memandang India sekadar sebagai sekutu bawahan/ subordinate ally. Hal ini mulai nampak jelas ketika AS melancarkan Operasi militer a Freedom of Navigation Operation (FONOPS) di Samudra Hindia pada 7 April 2021. Selain AS dituding telah memicu sentimen anti-India terhadap negara-negara tetangganya. Pada saat yang sama AS melancarkan operasi terselubung aksi penggulingan kekuasaan terhadap pemerintahan pro India di Sri Lanka, Nepal dan Maldives.

Tentu saja lambat-laun India mulai menyadari bahwa tujuan utama AS lewat skema persekutuannya dengan India, adalah untuk melumpuhkan otonomi strategis India sebagai kekuatan besar di Asia Selatan. Apalagi ketika Presiden Modi mengklaim kawasan Asia Selatan sebagai sphere  of influence atau ruang pengaruh India, AS merasa tidak senang. Dengan kata lain, AS akan terus melancarkan tekanan politik kepada India di pelbagai forum internasional.

Sebaliknya, dengan Cina, India merasa kerja samanya di bidang ekonomi, malah semakin meningkat dan bermanfaat bagi Pembangunan Ekonomi India. Bahkan oleh sebab semakin meningkatnya kerja sama India-Cina dalam bidang ekonomi, ketegangan politik di wilayah perbatasan India-Cina pun semakin mereda. Oleh sebab Cina menahan diri untuk ikut campur dalam konflik perbatasan. Padahal, konflik perbatasan India-Cina di perbatasan yang dipisahkan oleh pegunungan Himalaya, sempat berlangsung sengit. Ketergantungan perdagangan Cina kepada India dan prospek investasi Cina di India, pada perkembangannya menciptakan titik balik dalam hubungan bilateral India-Cina. Yang semula renggang dan berpotensi saling bermusuhan, sekarang semakin erat dan solid.

Tidak mengherankan jika AS dan Kanada, belakangan semakin gencar menekan India agar tidak menjalin hubungan yang semakin solid dengan Cina. Ketegangan Kanada-India semakin parah ketika Kanada mengusir diplomat India dari Kanada menyusul terbunuhnya pemimpin separatis Sikh Hardeep Singh Nijjar. Kondisi semakin memanas ketika kementerian hukum AS mengadakan penyelidikan aparat pemerintah India terkait percobaan pembunuhan terhadap sosok separatis Sikh Gurpatwant Singh Pannun.

Singkat cerita, Presiden Modi sekarang menyadari bahwa persekutuannya yang terjalin dengan Cina, semakin penting saat ini untuk Pembangunan Ekonomi India. Sebaliknya, persekutuan yang terjalin dengan AS semakin terlihat tidak efektif untuk digunakan membendung Cina.

Presiden Modi juga menyadari bahwa AS tidak pernah secara serius membukakan akses pasar, investasi maupun teknologi yang menguntungkan buat India.Apalagi di era kepresidenan Donald Trump yang menganut kebijakan proteksionis di bidang industri maupun kebijakan perdagangan internasional. Yang mana kebijakan Presiden Trump membawa konsekwensi perusahaan-perusahaan manufacturing kembali beroperasi di dalam negeri AS alih-alih beroperasi di luar negeri.

Namun menariknya, kebijakan proteksionis AS di era Trump tersebut justru malah membuka kerja sama yang semakin era tantara India dan Cina. Dengan terbukanya peluang pasar, teknologi dan investasi dari Cina.

Pemerintahan Modi sepertinya mulai menyadari betapa berbahayanya India bersekutu dengan AS. Sehingga keputusan untuk bersekutu dengan Cina, semakin selaras dengan kepentingan nasional India. Adapun bersekutu dengan AS, semakin mengalihkan perhatian India dari prioritas kepentingan nasionalnya di bidang Pembangunan Ekonomi.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com