Indonesia dan ASEAN Harus Nyatakan Kawasan Asia Tenggara Zona Bebas Senjata Biologis Pemusnah Massal

Bagikan artikel ini

Munculnya kembali kekhawatiran bahwa kawasan Asia Tenggara, tak terkecuali Indonesia, bakal dihidupkannya kembali laboratorium bertujuan ganda ala NAMRU-2 AS meskipun dengan menggunakan nama yang berbeda, nampaknya semakin berlasan ketika  pada 2012 lalu, Global Future Institute sempat mendengar  sebuah informasi dari lingkar dalam pemerintahan Presiden SBY bahwa pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian luar negeri, sedang mempersiapkan sebuah nota kesepakatan baru dengan pihak pemerintah Amerika Serikat mengenai keberlanjutan proyek Namru-2 di Indonesia.

Kesepakatan baru Indonesia-Amerika itu pada intinya akan mengizinkan kembali proyek Namru-2 di Indonesia. Amerika menurut informasi sumber internal Departemen Luar Negeri, Amerika mendesak Indonesia untuk membuka kembali proyek penelitian Namru-2 dengan dalih semakin menyebarnya Virus HINI sebagai penyebab flu babi di dunia, sehingga keberlanjutan penelitian Namru-2 dalam bidang penyakit menular semakin penting untuk dibuka kembali di Indonesia.

Sayang sekali kabar selanjutnya seputar perkembangan nota kesepakatan baru tersebut hilang dari peredaran. Pertanyaan krusialnya adalah, kalau waktu itu pihak AS berdalih bahwa laboratorium ala NAMRU-2 harus dilanjutkan lagi atas dasar pertimbangan semakin meningkatnya penyebaran virus HINI sebagai penyebab flu babi di dunia, bukankah penyebaran Covid-19 saat ini malah jauh lebih besar sehingga desakan pihak otoritas keamanan nasional AS untuk menghidupkan kembali laboratorium biologis pertahanan berkedok laboratorium penelitian penyakit pandemi justru semakin menguat?

Baca:

Waspadai AFRIMS, NAMRU-2 AS Gaya Baru di Asia Tenggara

Naval Medical Research Unit 2 atau NAMRU-2 merupakan unit kesehatan angkatan laut Amerika Serikat yang berada di Indonesia untuk mengadakan penelitian mengenai penyakit menular. Namun keberadaannya dinilai tidak terlalu memberikan manfaat kepada Indonesia. Bahkan kemudian terungkap saat Siti Fadilah Supari menjadi menteri kesehatan, bahwa laboratorium penelitian Namru-2 yang berlokasi di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat telah menjadi markas terselubung intelijen angkatan laut Amerika dalam pengembangan senjata biologis pemusnah massal. Sehingga sejak Oktober 2009, menteri Kesehatan Siti Fadila Supari menghentikan aktivitas Namru-2 AS di Indonesia, karena membahayakan kedaulatan nasional Indonesia.

Bahwa Amerika telah melanggar kedaulatan wilayah RI karena telah menggunakan fasilitas yang diberikan Departemen Kesehatan untuk tujuan-tujuan terselubung yang tak ada kaitannya dengan pembangunan dan pengembangan bidang kesehatan di Indonesia.

Hal ini semakin dipertegas oleh Menteri Kesehatan Fadila Supari pada saat itu bahwa Namru-2 tidak memberikan manfaat apapun kepada bangsa Indonesia. Terbukti pengetahuan tentang penyakit menular seperti TBC dan demam berdarah yang dimiliki para dokter Indonesia malah justru mandek dan tidak ada perkembangan kemajuan.

Yang lebih mengherankan lagi, meskipun NAMRU-2 AS merupakan buah dari kerjasama kementerian kesehatan RI dan Angkatan Laut Amerika, belakangan pihak Amerika sendiri mengakui bahwa Namru-2 telah memberikan pelatihan dan peralatan bagi Kementerian Kesehatan untuk meneliti wabah demam berdarah di Palembang, Yogyakarta, Medan, Jakarta dan Bandung. Bukankah kebijakan pengembangan jejaring kerja penelitian antar universitas di pelbaga kota di negeri kita, merupakan kewenangan kementerian pendidikan dan kebudayaan?

Keganjilan tersebut semakin memperkuat kecurigaan bahwa laboratotorium ala NAMRU-2 memang dirancang sebagai sarana operasi intelijen terselubung berkedok penelitian penyakit pandemi.

Kekhawatiran bakal beroperasinya kembali laboratorium biologis militer (bio military laboratory) ala NAMARU-2 di Indonesia juga semakin menguat seturut merebaknya informasi bahwa keberadaan AFRIMS atau The Armed Forces Research Institute of Medical Services, yang ditengarai sebenarnya merupakan proyek yang sama persis dengan NAMRU-2, dan saat ini disinyalir  sudah berooperasi di beberapa negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN).

Meskipun informasi tersebut masih perlu diekspolorasi secara lebih mendalam, proyek AFRIMS ini  sudah menyebar ke beberapa negara di kawasan Asia Tenggara seperti Vietnam, Laos, Singapura, Thailand dan Filipina.

Baca juga:

13 Ribu “Ilmuwan Pembawa Maut” Bekerja Untuk Program Perang Biologis Offensif Pentagon dan CIA

Menyadari kenyataan bahwa laboratorium ala NAMRU-2 AS telah digunakan sebagai uji coba penggunaan senjata biologis yang dalam beberapa kasus terbukti telah menyebabkan terjadinya pandemi seperti Ebola, SARC, MERC dan Covid-19, maka negara-negara ASEAN terutama Indonesia, harus segera menghentikan seluruh aktivitas laboratorium biologis militer berkedok penelitian penyakit pandemi dan penyakit menular tersebut. Sehingga ASEAN menjadi Zona Bebas Senjata Biologis yang berasal dari negara-negara asing.

(Sebagai rujukan pembanding terkait peran laboratorium biologis berkedok penelitian penyakit pandemi, baca lebih lengkap artikel kami terdahulu) :

Sejarah Kelam AS: Pernah Menggunakan Senjata Biologis Terhadap Korea Utara dan Cina dalam Perang Korea 1950-1953

Baca juga:

AS Harus Mematuhi Protokol Jenewa 1925 dan the Biological Weapons Convention (BWC)

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, negara-negara ASEAN sebelum berlangsungnya Konferensi Biological and Toxin Weapons Convention (BTWC) harus mengajukan gagasan mengenai mekanisme verifikasi di dalam tubuh BTWC untuk membatasi kegiatan-kegiatan biologis militer (Bio military) Amerika Serikat sehingga kembali mematuhi Konvensi Senjata Biologis 1972.

Hendrajit, pengkaji Geopolitik, Global Future Institute.

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com