Kali ini, Indonesia diberi amanah menjadi tuan rumah untuk sebuah konferensi negara-negara Islam bernama Organisasi Kelompok Islam (OKI). Konferensi internasional yang digelar di Jakarta Convention Centre (JCC) pada 6-7 maret 2016 lalu ini mengangkat satu isu tentang permasalahan Palestina dan Al Quds Al Sharif. Lantas mampukah Indonesia mengambil peranan besar sebagai “sang juru damai” ?
Jikalau dirunut ke belakang, pendekatan militer yang artinya menggunakan instrumen kekerasan dalam penyelesaian konflik antara Arab Palestina dan Israel ini, sudah dimulai sejak tahun 1948, yang kemudian berkembang semakin menajam, sampai hingga Perang Enam Hari pada tahun 1967.
Melalui momentum diselenggarakannya KTT Luar Biasa OKI di Jakarta dengan Indonesia sebagai tuan rumah, seharusnya para perumus kebijakan luar negeri Indonesia dapat memberikan suatu langkah yang cukup revolusioner ke arah penyelesaian konflik wilayah ini. Namun pada kenyataannya, Indonesia dihadapkan pada kenyataan tidak satu padunya negara-negara Arab.
Kompleksitas Persoalan Arab
Nampaknya KTT Liga Arab di Damaskus tahun 2008 dapat menjadi acuan betapa tidak solidnya negara-negara Arab. Pemain kunci Liga Arab seperti Mesir dan Arab Saudi hanya mengirim pejabat level rendah untuk hadir dalam konferensi tersebut, padahal isu konflik Israel-Palestina menjadi bahasan utama.
Menyangkut persoalan klasik perdamaian Israel-Palestina, keberadaan Mesir adalah negara Arab pertama yang melangkah sendirian meninggalkan kebersamaan dengan negara Arab lain untuk mencapai perdamaian dengan Israel. Hal tersebut menjadi landasan bagi Suriah untuk memindahkan markas besar Liga Arab dari Kairo berpindah ke Damaskus.
Di sisi lain, Arab Saudi yang notabene merupakan negara kuat di kawasan Timur Tengah menempatkan konflik Israel-Palestina dalam skala proritas yang rendah. Hal ini dimungkinkan semakin eratnya hubungan Arab Saudi-AS melalui kerjasama di berbagai bidang.
Hal yang sama, terkesan juga melalui dukungan semu bagi penyelesaian konflik Israel-Palestina sebagaimana dipertunjukkan oleh Yordania. Sangat disayangkan, sikap bungkam negara bekas jajahan Inggris ini dapat dipicu karena ketergantungan akan sungai Yordan, yang mana ada keterlibatan Israel atas pengelolaan sumber daya alam tersebut.
Namun bagi Iran dan Suriah, persoalan Israel-Palestina ini menjadi prioritas utama dalam pemetaan kebijakan dan politik luar negeri. Bagi Suriah, direbutnya dataran tinggi Golan oleh Israel menjadi harga tawar untuk berpasrtisipasi aktif dalam penyelesaian konflik Israel-Arab Palestina.
Sedangkan bagi Iran, konflik Israel-Palestina ini dijadikan proxy war untuk pengembangan program nuklir. Terlepas dari masing-masing kepentingan nasional, Suriah dan Iran praktis menjadi negara yang dapat menjadi pionir utama dalam perjuangan untuk mendesak ditarik mundurnya pasukan pendudukan Israel di tanah Palestina.
Oleh karenanya, tidak terlalu muluk ketika Indonesia menjadi tuan rumah KTT OKI mengambil peran aktif pula dalam penyelesaian konflik yang tengah berlangsung. Dalam hal ini, Indonesia seharusnya dapat merujuk kembali kepada spirit Konferensi Asia Afrika (KAA) Bandung pada April 1955 sebagai landasan menuju persatuan antar negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI, untuk mengilhami terciptanya format perdamaian ke arah rekonsiliasi Israel-Arab Palestina.
Spirit Dasa Sila Bandung 1955
Sejatinya, spirit dasa sila Bandung merupakan landasan ideologis bangsa-bangsa Asia-Afrika dalam melawan kolonialisme dan imperialisme dalam segala bentuk dan manisfetasinya. Lebih dari itu, inilah sebuah kontra skema terhadap rezim internasional kala itu, yakni blok barat yang dimotori AS dan Blok Timur yang dimotori ole Uni Soviet.
Dalam Konferensi yang berlangsung di Bandung kala itu, Indonesia dapat mempertemukan negara-negara Asia termasuk negara Timur Tengah semisal Mesir, Arab Saudi, Libya, Suriah, Iran, Irak, hingga Yordania guna berdialog atas nasib bersama, sebagai negara yang pernah dijajah.
Menurut hemat penulis, sama sekali tidak berlebihan ketika Indonesia membawa semangat Dasa Sila Bandung 1955 ke dalam OKI sebagai perekat persatuan, yang mana sebagian besar negara OKI turut andil dalam KAA tersebut 60 tahun yang lalu.
Sayang sekali, para perancang kebijakan maupun pemangku kepentingan kebijakan luar negeri RI, sama sekali tidak mencoba menyerap inspirasi keberhasilan diplomatik Indonesia pada KAA Bandung 1955, untuk menghasilkan terobosan-terobosan diplomatik yang jenius, dalam memperjuangkan Kemerdekaan Palestina lepas dari belenggu kolonialisme dan imperialisme Israel.
Facebook Comments