TNI Angkatan Udara Tingkatkan Kesiagaan Pangkalan Udaranya di Natuna
Sejauh ini, Indonesia memang tidak terlibat konflik dengan Cina terkait sengketa wilayah di Laut Cina Selatan, sehingga merupakan pihak yang dipandang netral. Namun Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Udara (AU) nampaknya tidak mengabaikan kesiapsiagaannya untuk menghadapi segala kemungkinan yang terburuk. Baru-baru ini, TNI AU bersiap meningkatkan status Pangkalan Udara (Lanud) Ranai di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau.
Secara geopolitik, Pulau Natuna merupakan wilayah yang kaya sumberdaya migas dan posisinya berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan. Menyadari kenyataan tersebut, TNI-AU meningkatkan status Lanud Ranai dari status C menjadi status B, yakni menjadi pangkalan udara yang siap operasi. Lanud Ranai yang berada di bawah kendali Komando Operasi Angkatan Udara I ini merupakan salah satu lanud yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan. Dan berada di wilayah terdepan Indonesia.
Dengan potensi konflik yang meningkat di Laut Cina Selatan, Natuna praktis menjadi wilayah rentan sekaligus strategis sebagai basis pertahanan. Kenaikan status lanud ini diharapkan bisa mendukung operasi-operasi udara dan latihan, bagi pengamanan wilayah udara NKRI.
Menurut analisis Global Future Institute, hal ini merupakan perkembangan yang cukup penting, karena dengan peningkatan status ini besar kemungkinan akan ditindaklanjuti dengan penambahan alat utama sistem persenjataan (Alutsista). Antara lain, dengan penambahan satu skuadron pesawat tempur, infrastruktur pendukung, seperti memperpanjang landasan pacu. Termasuk dengan penempatan Pasukan Khas (Paskhans) TNI-AU.
Doktrin Baru AS Tentang CIna
Sebagaiman dilansir oleh beberapa media minggu lalu, Departemen Pertahanan Amerika Serikat (Pentagon) melalui strategi baru militernya mencantumkan empat negara termasuk Cina dalam list negara yang berpotensi menimbulkan ancaman bagi kepentingan keamanan Amerika Serikat. Berdasarkan dokumen setebal 20 halaman yang dirilis Pentagon dan diawasi langsung oleh Kepala Staf Gabungan Militer AS, Martin Dempsey, disebutkan, pembangunan kepulauan buatan Cina di kawasan yang disengketakan dengan negara tetangga adalah aksi ofensif. Karena langkah ini membuat Cina memiliki peluang menempatkan militernya di kawasan sensitif di perairan internasional.
Selain itu, berdasarkan citra hasil pantauan satelit dan pengamatan milik AS, Cina terlihat membangun landasan udara dan sistem keamanan di pulau-pulau hasil reklamasi. Sehingga muncul dugaan kuat bahwa Cina akan menetapkan Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ) di sekitar wilayah sengketa.
AS Menentang Keras Penerapan ADIZ
Barang tentu AS memandang penerapan ADIZ yang dilakukan Cina cukup berbahaya bagi eksistensi Angkatan Udara AS dan sekutu-sekutunya yang tergabung dalam NATO, karena dengan begitu semua pesawat atau kapal yang melintasi zona itu, harus menginformasikan keberadaan mereka pada pihak berwenang Cina. Sehingga akan semakin kuat dalam mempertahankan klaimnya atas wilayah-wilayah di Laut Cina Selatan.
Maka, AS kemudian mengangkat isu kebebasan navigasi dan keamanan kawasan Asia Pasifik untuk menetralisasi manuver agresif Angkatan Udara Cina. Guliran isu ini diangkat oleh AS melalui acara tahunan Shangri-La Dialogue 2015 di Singapure, yang diselenggarakan oleh IIS(International Institute for Strategic Studies). Dalam forum yang dihadiri para menteri pertahanan dari berbagai negara Asia, plus Amerika dan Australia itu, banyak negara mengecam Cina gara-gara perilaku agresifnya “membangun pulau-pulau buatan” di Laut Cina Selatan. Apalagi Cina telah mengklaim sekitar 95 persen wilayah maritim Laut Cina Selatan sebagai wilayah teritorialnya, berdasarkan “bukti-bukti legal dan warisan sejarah.”
Dengan tak ayal, Presiden Barrack Obama yang merupakan presiden dari Partai Demokrat yang cenderung menghindari pendekatan hard power(militer) dalam menghadapi negara-negara yang dipandangnya sebagai musuh, untuk kali ini bersikpa keras kepada Cina. Pada 1 Juni 2015 lalu, Obama memandang proyek reklamasi Cina di Laut Cina Selatan sangat kontraproduktif dengan pencapaian mereka saat ini.
AS menyerukan agar Cina menghentikan tindakan agresifnya. Sedangkan Menteri Pertahanan AS Ashton Carter pada 30 Mei 2015 mendesak Cina menghentikan proyek konstruksinya di pulau-pulau buatan, karena akan dikhawatirkan akan memicu konflili di wilayah itu.
Namun Cina, nampaknya juga sudah memandang AS sebagai musuhnya sehingga mengesampingkan terjadinya kompromi. Wakil Kepala Staf Tentara Pembebasan Rakyat Cina (PLA) Laksamana Sun Jianguo, menolak desakan Menteri Pertahanan Carter. Dengan dalih bahwa tindakan Cina tersebut justru bersifat damai dan punya legitimasi. Reklamasi merupakan wujud kebebasan kedaulatan Cina dan bertujuan untuk memenuhi tanggungjawab internasional.
“Cina selalu lebih memperhatikan kepentingan yang lebih besar terkait keamanan maritim. Saya harap negara-negara terkait dapat bekerjasama menuju tujuan yang sama, untuk membangun Laut Cina Selatan yang damai, bersahabat, dan kooperatif,” begitu tutur Laksamana Sun Jianguo.
Bahkan Sun Jianguo punya alasan yang cukup masuk akal terkait reklamasi. Menurut Jianguo, tujuan reklamasi adalah untuk meningkatkan fungsi pulau dan terumbu karang, termasuk kondisi personel yang ditempatkan di sana. “Hal ini demi memenuhi tanggungjawab Cina dalam upaya pencarian dan penyelamatan maritim, pencegahan bencana, penelitian ilmu pengetahuan, observasi meteorologi, perlindungan lingkungan, keamanan navigasi, produksi perikanan, dan pelayanan.
Provokasi AS di Laut Cina Selatan dan Usulan Indonesia
Menghadapi ketegangan hubungan AS versus Cina terkait sengketa di Laut Cina Selatan, manuver diplomasi pemerintah Cina memang cukup mengagumkan, dan patut ditiru oleh para diplomat Indonesia di luar negeri. Ketika AS secara gencar menyerang Cina dalam pembangunan pulau-pulau buatan di daerah yang direklamasi, Dubes Cina untuk AS Cui Tiankai, melakukan serangan balik yang cukup telak. Bahwa justru AS-lah yang dengan sengaja membuat wilayah Laut Cina Selatan tidak stabil. Pengintaian oleh pesawat P-*A Poseidon milik AS beberapa waktu lalu disebut sebagai tindakan provokasi untuk meningkatkan ketegagan.
Bagaimana dengan sikap Indonesia, khususnya Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu? Dalam forum Shangri-LA Dialogue tersebut, Ryamizard mengusulkan agar semua negara pengklaim, termasuk Cina, menggelar patroli damai bersama di perairan Laut Cina Selatan. Gagasannya adalah tidak boleh ada satu negara pun yang membangun kekuatannya untuk mengancam negara lain di kawasan tersebut.
Menurut kami di Global Future Institute, manuver Ryamizard Ryacudu memang patut diapresiasi sebagai upaya untuk meredakan ketegangan. Meski AS pun pernah mengajukan gagasan serupa di forum ASEAN beberapa waktu lalu, hanya saja tidak melibatkan Cina. Dan tentu saja, cenderung didasari niat untuk menggiring ASEAN dalam Pakta Pertahanan bersama di bawah kendali AS. Buktinya, ketika itu AS sempat mengajukan usul Inisiatif Keamanan Maritim Asia Tenggara dengan dukungan dana 425 juta dolar AS. Pasti ada kepentingan besar di balik bantuan dana tersebut.
Pada tataran ini, sikap Indonesia yang netral namun proaktif sangatlah penting. Sehingga usulan Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu tersebut kiranya cukup berhasil mempertunjukkan bahwa Indonesia memang merupakan pihak yang netral dalam perselisihan wilayah di Laut Cina Selatan. Meskipun perairan Kepulauan Natuna nampaknya bersinggungan dengan klaim 9 Garis Putus-putus Cina di Laut Cina Selatan.
Namun pihak Kementerian Luar Negeri RI ironisnya justru tidak menjalankan politik luar negeri bebas-aktif. Melalui jurubicaranya Arrmanatha Nasir, mengatakan bahwa operasi pengerahan kekuatan militer bukanlah pilihan yang baik bagi pihak manapun.
Kementerian Luar Negeri RI justru cenderung mendukung opsi yang diajukan Menteri Pertahanan Malaysia Hishamuddin Husein, yaitu usulan agar negara-negara Asia Tenggara segera secepatnya bersepakat mengenai code of conduct atau tata perilaku bersama di perairan Laut Cina Selatan yang dipersengketakan. Opsi Malaysia ini, nampaknya memang menghindari opsi penggunanan kekuatan militer meski untuk patroli bersama sekalipun.
Meski Menteri Pertahann dan Menteri Luar Negeri RI sama-sama bertujuan menghindari kawasan Laut Cina Selatan sebagai zona perang terbuka, namun antara Kementerian Pertahanan dan Kementerian Luar Negeri menempuh strategi yang berbeda. Sampai tingkat tertentu, Kementerian Luar Negeri nampaknya cenderung pro AS dan Inggris dalam menawarkan solusi damai di kawasan Laut Cina Selatan.
Sedangkan Kementerian Pertahanan RI yang mengusulkan patroli bersama di perairan Laut Cina Selatan dengan melibatkan Cina, bagi Global Future Institute sikap Menteri Pertahanan Ryacudu lebih mencerminkan politik luar negeri RI yang bebas dan aktif.
Penulis: Tim Riset Global Future Institute (GFI)