Indonesia Harus Mengajak Arab Saudi dan Iran Kembali Kepada Khittah KAA Bandung 1955 dan Gerakan Non Blok 1961

Bagikan artikel ini

Posisi Indonesia untuk menjadi penengah dalam konflik kedua negara Muslim ini sebenarnya  cukup beralasan. Pasalnya, dalam Preambul UUD 1945 dijelaskan bahwa Indonesia ikut serta dalam menciptakan perdamaian dunia. Apalagi dalam sejarahnya, Indonesia tercatat sebagai satu diantara negara yang memotori solidaritas bangsa-bangsa Asia dan Afrika  untuk menentang dan mengutuk imperialisme dan kolonialisme di berbagai negara, dengan digelarnya Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955.

Maka itu Pemerintah Indonesia sudah seharusnya terus menggelorakan semangat anti kolonialisme dan anti  imperialisme sebagaimana pernah dikumandangkan Bung Karno. Seraya mengingatkan negara-negara Asia-Afrika maupun di Timur Tengah yang merupakan negara-negara berpenduduk Muslim, untuk tetap bersatu mengawal DASA SILA BANDUNG 1955. Dalam pada itu, Arab Saudi dan Iran, tentunya termasuk di dalamnya.  Dan jangan justru memberi jalan bagi negara-negara adikuasa untuk memecah-belah dan mengadu-domba antar negara-negara Muslim yang kebetulan sebagian besar masih dalam kategori negara-negara berkembang dan Dunia Ketiga.

Dalam kaitan ini, kita harus mengapresiasi pernyataan dan pandangan KH Hasyim Muzadi, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI yang juga mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU), seperti yang dilansir media beberapa waktu yang lalu, yang menilai,  ditengah memanasnya hubungan diplomatik Arab Saudi dan Iran, sangat baik kiranya  apabila Indonesia ikut berusaha mendorong perdamaian antara dua negara yang bersitegang tersebut.

“Sangat baik jika Indonesia mendorong perdamaian dua negara itu (Saudi dan Iran, red). Tetapi kita harus mengamankan NKRI sendiri,” katanya, kepada wartawan, seperti dilansir laman  Antara, Kamis (7/1/2015).

Selain itu, hal menarik dikatakan Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars (ICIS) ini adalah bahwa Indonesia menjadi “ring” pertempuran dua kepentingan.

Pasalnya kata Hasyim, Arab Saudi dan Iran adalah dua kutub ideologi (Wahabi/Sunni dan Syiah ) yang masing-masing kutub punya pendukung transnasionalnya, termasuk di Indonesia. Untuk itu katanya mengingatkan, agar Indonesia jangan sampai menjadi “ring” pertempuran dua kepentingan ini” tersebut. Pasalnya menurut Hasyim, di Indonesia, dua aliran yang menjadi musuh bebuyutan ini banyak sekali aktivis dan jaringannya.

Menurutnya, selama pertentangan ideologi Wahabi-Syiah itu masih dalam kerangka wacana, maka akibatnya akan terbatas pada pertentangan psikososial. Namun katanya, apabila kemudian bersentuhan dengan politik, perebutan kekuasaan, apalagi menjadi bagian dari pertentangan global dan campur tangan negara-negara superpower, eskalasinya bisa jadi lain.

Apa yang disampaikan Hasyim ini seakan memberikan sinyalemen bahwa konflik kedua Negara ini bisa memberikan dampak yang buruk bagi Indonesia. Konflik kedua Negara ini memunculkan kubu-kubu pendukung.

Secara mapping konflik, sejumlah negara seperti Sudan, Kuwait, Malaysia, dan Brunei Darussalam misalnya mendukung Arab Saudi. Pasalnya, negara-negara tersebut melarang Syiah di negaranya masing-masing. Sedangkan Irak, Syria, Libanon, dan Yaman Utara kemungkinan akan mendukung Iran.

Indonesia Pelopor Perdamaian Dunia

Meski kita mengapresiasi pandangan Pak Hasyim Muzadi, namun  dasar yang jadi landasan keikutsertaan Indonesia mendamaikan Arab Saudi dan Iran, kiranya lebih strategis daripada itu.

Di era kepemimpinan Bung Karno, tepatnya pada pelaksanaan Konferensi Asia Afrika (KAA) 18-25 April 1955, Indonesia menjadi perhatian dunia. Karena meski diusianya yang baru 10 tahun merdeka, Indonesia berhasil menjadi penggagas utama dalam membuat poros baru di tengah dominasi Negara-negara superpower ketika itu. Lewat Dasasila Bandung, Negara-negara peserta sukses menghasilkan sepuluh poin, yang dalam pernyataannya intinya adalah tentang “pernyataan mengenai dukungan bagi kedamaian dan kerjasama dunia”. Seraya mempertegas sikap dan posisinya menetang segala macam bentuk dan manifestasi dari yang namanya Imperialisme dan Kolonialisme.

Dengan kata lain, melalui DASA SILA BANDUNG 1955, Indonesia berhasil menggalang suatu kekuatan baru di luar dua kutub yang sedang bertarung dalam Perang Dingin. Sehingga Indonesia dan negara-negara Asia-Afrika yang umumnya baru merdeka, atau sedang berjuang sebagai negara merdeka, telah menciptakan sebuah kutub kekuatan ketiga. Yang mana berarti, Indonesia juga berhasil menggalang solidaritas antar negara-negara Muslim yang sebagian besar juga tergabung dalam Negara-Negara Asia-Afrika.

Begitulah. Indonesia berhasil menggalang kekuatan bersama antar negara-negara Muslim maupun Dunia Ketiga melalui DASA SILA BANDUNG.

Kesepuluh poin Dasa Sila Bandung itu adalah Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat di dalam piagam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa, Mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa, besar maupun kecil, Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soalan-soalan dalam negeri negara lain, Menghormati hak-hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri secara sendirian ataupun kolektif yang sesuai dengan Piagam PBB, Tidak menggunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara besar dan tidak melakuk annya terhadap negara lain, Tidak melakukan tindakan-tindakan ataupun ancaman agresi maupun penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah maupun kemerdekaan politik suatu Negara, Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrasi (penyelesaian masalah hukum) , ataupun cara damai lainnya, menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBB, Memajukan kepentingan bersama dan kerjasama, Menghormati hukum dan kewajiban–kewajiban internasional.

Selain itu, Indonesia memiliki sejarah serupa dalam memposisikan dirinya ditengah-tengah kekuatan blok yang sedang bertikai. Dimana pada Konferensi Non-Blok 1961, Bung Karno mengeluarkan gagasan seputar pembentukan aliansi strategis negara-negara berkembang yang baru merdeka (The New Emerging Forces). Saat itu negara-negara adidaya di luar Amerika Serikat dan Eropa Barat yang menentang keras konsepsi Bung Karno ini.

Berdasarkan kenyataan sejarah inilah, seharusnya menjadi landasan , sekaligus Inspirasi, bagi pemerintah Indonesia untuk terus menggelorakan semangat anti kolonialisme dan anti imperialisme. Dengan semangat Dasasila Bandung itu, Indonesia juga sudah seharusnya juga mulai menggagas kembali penggalangan negara- negara Islam pada khusnya, maupun Negara-Negara Dunia Ketiga pada umumnya, untuk terus menentang imperialisme dan kolonialisme. Seraya memperjuangkan aspirasi dan kepentingan-kepentingan strategis Negara-Negara Dunia Ketiga.  Hal ini sangat tepat dilakukan karena Indonesia, untuk mengembalikan peran kepemimpinannya di kalangan Negara-Negara Muslim, apalagi Indonesia merupakan negara Muslim berpenduduk terbesar di dunia. Sehingga tepatlah kiranya  untuk memainkan peran strategis mendamaikan konflik Arab Saudi dan Iran yang sedang terjadi saat ini. Yang pastinya, dalam jangka panjang, akan merugikan kedua negara Muslim tersebut.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com