Indonesia Harus Menolak Politisasi HAM Melalui Ratifikasi ICC dan Statuta Roma

Bagikan artikel ini

Statuta Roma sebagai dasar terbentuknya International Criminal Court (ICC), saat ini beranggotakan 123 negara. Adapun dari kawasan Asia Pasifik baru 19 negara yang meratifikasi Statuta Roma dan ICC. 

Belakangan ini wacana terkait untung ruginya Indonesia merafitifikasi Statuta Roma sebagai dasar pendirian International Criminal Court (ICC), sepertinya mulai ramai kembali. Pada Februari 2023 lalu, pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana dalam keterangannya di depan Sidang Uji Materi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Hak-Hak Asasi Manusia yang digelar oleh Majelis Konstitusi, menyatakan bahwa Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma karena kita tidak rela apabila seorang yang kita anggap sebagai pahlawan menurut negara kita, dianggap sebagai pecundang bagi negara lain.

Pandangan Hikmahanto Juwana itu benar dan tepat serta sangat argumentatif dalam merespons menguatnya desakan kalangan dunia internasional agar Indonesia ikut serta meratifikasi Statuta Roma dan ICC.

Baca: Indonesia Belum Ratifikasi Statuta Roma

Sebagai pakar hukum internasional yang mana ketika menyampaikan keterangan ahli di depan Sidang Uji Materi UU No 26 Tahun 2000 tersebut berbicara dalam kapasitasnya sebagai Ahli Presiden/Pemerintah, pandangan Dr Hikmahanto Juwana yang tentunya juga mencerminkan keputusan kebijakan Pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini, kiranya cukup melegakan. Bahwa Indonesia belum memutuskan ikut serta merafitikasi  Statuta Roma dan bergabung bersama 123 negara anggota ICC lainnya.

Keterangan ahli yang disampaikan Hikmahanto Juwana memang mengundang kita untuk menggali lebih jauh ke jantung persoalan yang lebih mendasar. Mengapa dua negara adikuasa yang kebetulan saling berebut pengaruh cukup sengit saat ini di arena global yaitu Amerika Serikat dan Cina, hingga kini belum ikut merafitikasi Statuta Roma dan ICC?

Maka itu menarik argumentasi yang disampaikan Hikmahanto, bahwa pelanggaran berat atau Gross-Violations of Human Rights yang kemudian menjelma menjadi Kejahatan Internasional, ada masalah penting yang masih jadi bahan pembahasan hingga kini, Misal, apabila pelanggaran HAM berat tidak dilakukan oleh Warga Negara Indonesia tetapi oleh Warga Negara Asing di luar Indonesia, apakah Indonesia juga punya yuridiksi untuk mengadili lewat Pengadilan HAM? Ini pertanyaan bagus. Sebab kalau kita tidak punya yuridiksi kewenangan untuk mengadili Warga Negara Asing yamg melakukan pelanggaran HAM berat di luar batas teritorial negaranya, sedangkan Pengadilan HAM menurut ketentuan Statuta Roma maupun ICC, Pengadilan HAM berwenang untuk memutus perkara pelanggaran HAM yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Indonesia Republik Indonesia oleh Warga Negara Indonesia. Sudah tentu hal ini merupakan ketentuan dan aturan main yang sama sekali tidak adil bagi Indonesia.

Namun apa yang digulirkan oleh pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana baru sebagian dari persoalan krusial yang hingga kini Indonesia masih belum bersedia menandatangani Statuta Roma. Isu lain yang tak kalah kontroversial dan menjadi keberatan kalangan nasionalis sipil maupun militer di Indonesia adalah bahwa adanya desakan kuat dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia maupun mitra-mitra organisasi internasional di luar negeri agar Indonesia segera meratifikasi Statuta Roma dan menjadi anggota ICC, akan memberi payung hukum untuk menggiring para pejabat militer Indonesia di masa lalu yang ditengarai terlibat dalam Kejahatan Genosida, Kejahatan Kemanusiaan dan Kejahatan Perang.

Mencabut kekebalan atau Impunity para pejabat militer dan sipil yang dianggap telah melakukan pelanggaran HAM berat di masa lalu, pada prakteknya sangat kabur tolok-ukur maupun lingkupnya. Kejahatan Perang? Bukankah para perwira militer Indonesia yang ditugaskan untuk menumpas Gerakan Separatis di Aceh dan Papua dan menembak para pemberontak bersenjata (combatant), layak masuk kategori pelanggaran HAM? Saya kira inilah yang oleh Hikmahanto tadi dikatakan bahwa jangan-jangan melalui payung hukum Statuta Roma dan ICC, orang-orang Indonesia yang sejatinya merupakan pahlawan bangsa dan patriot, kemudian dalam sekejab dicap sebagai penjahat perang atau pelanggar HAM berat.

Indikasi adanya keterlibatan secara proaktif jejaring internasional untuk mendorong Indonesia segera meratifikasi Statuta Roma dan bergabung dengan ICC, tampak jelas ketika Wakil Menteri Hukum dan Hak-Hak Asasi Manusia Deny Indrayana pada Maret 2013 bertemu dengan para pejabat senior Kementerian Luar Negeri Belanda di Den Haag, Belanda. Dalam pertemuan tersebut pemerintah Belanda tampak jelas berusaha mendesak pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi ICC. Alasannya, Indonesia saat ini punya pengaruh besar di kawassan Asia Tenggara.

Baca: Perlukah Indonesia Meratifikasi ICC?

Saat itu Koen Davidse, direktur departemen organisasi multilateral dan HAM, terlihat sangat berkeinginan agar Indonesia menjalin kerja sama dengan organisasi-organisasi internasional yang di ada di Den Haag, terutama ICC.

Yang sangat disayangkan, kepada wartawan Denny Indrayana memberi isyarat bahwa Indonesia sedang terus berupaya dalam proses untuk melakukan ratifikasi ICC. Dan Denny juga menginsyaratkan bahwa pemerintah Belanda mendukung langkah Indonesia meratifikasi ICC, dan membantu proses tersebut.

Namun manuver Denny Indrayana berlangsung pada 2013 ketika pemerintah masih berada dalam kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Apa yang disampailkan oleh Hikmahanto selaku ahli Presiden/Pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo, nampaknya menunjukkan sikap yang lebih hati-hati dan cenderung agar pemerintah Indonesia tidak perlu tergesa-gesa memutuskan meratifikasi ICC dan Statuta Roma.

Jika pernyataan Hikmahanto dalam keterangannya di depan Sidang Uji Materi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Hak-Hak Asasi Manusia yang digelar oleh Majelis Konstitusi pada Februari 2023 lalu, maka dapat dibaca sebagai mencerminkan sikap kebijakan pemerintah Indonesia, maka hal itu memang sangat tepat dan bijaksana.

Selain ketentuan-ketentuan yang tidak adil seperti yang saya paparkan tadi, ICC bisa dipastikan tidak akan bersikap adil karena negara-negara yang bergabung dalam ICC pada umumnya menganut kebijakan luar negeri yang pro AS dan Barat. Sama sekali tidak mencerminkan kepentingan nasional negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Bahkan meskipun secara teoritis Indonesia dan negara-negara berkembang bisa menggugat Kejahatan Perang dan Pelanggaran HAM berat Israel terhadap rakyat Palestina di Gaza, misalnya, namun dalam prakteknya AS dan negara-negara pro Barat di ICC akan memblokir terciptanya mekanisme untuk mengadili Kejahatan Militer Israel.

Dalam situasi sekarang ktika ada indikasi kuat Indonesia sedang menganalisis keikutsertaan Indonesia dalam ICC, sebaiknya Indonesia mengambil sikap tegas seperti Cina dan India. Menolak Politisasi HAM melalui mekanisme ICC dan Statuta Roma.

Sekadar informasi dari kawasan Asia Pasifik yang sudah meratifikasi Statuta Roma dan ICC adalah: Afghanistan, Bangladesh, Kamboja, Vanuatu, Cook Island, Fiji, Jepanjg, Mongolia, Nauru, Marshal, Kiribati, Korea Selatan, Timor Leste. dan Samoa, Tajikistan. Adapun dari Timur Tengah: Palestina dan Yordania. Kalau menelisik konfigurasi negara-negara anggota, tampak jelas didominasi oleh negara-negara yang pro AS dan blok Barat.

Maka sulitlah dibayangkan jika Indonesia sebagai anggota ICC mencoba menggugat Israel terkait Kejahatan Perang Israel di Gaza, Palestina, atau Kejahatan militer AS di Afghanistan atau Irak terhadap warga masyarakat sipil/non-combatant. Konfigurasi kekuatan negara-negara pro AS di ICC pada perkembangannya akan menciptakan mekanisme untuk mencegah negara-negara sekutu AS dan Barat untuk dibawa ke Pengadilan HAM di Den Haag, Belanda. ICC manfaatnya tidak akan menjadi sarana bagi Indonesia maupun buat negara-negara yang tergabung dalam Global South untuk mewujudkan Keadilan Global di bidang hukum internasional.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com