Dunia saat ini semakin kekurangan air bersih. Kebutuhan manusia akan air bersih terus meningkat melampaui keterbatasannya. Dampak sosial, ekonomi dan politis akibat langkanya air bersih dengan cepat berubah menjadi sebuah kekuatan destabilisasi. Seperti semakin meningkatnya konflik-konflik antar-negara berkaitan dengan air bersih.
Potensi ancaman berskala global tersebut sudah dikumandangkan oleh Maude Barlow dan Tony Clarke pada 2002 lalu dalam bukunya yang bertajuk Blue Gold, Perampasan dan Komersialisasi Sumber Daya Air.
Tesis utama Maude Barlow dan Tony Clarke dalam buku yang ditulisnya sangat jelas dan tegas: Jika kita tidak secara dramatis mengubah cara kita menggunakan, mengelola dan melinduni air bersih, maka dalam seperempat abad ke depan, sekitar setengah hingga dua pertiga umat manusia harus menjalani kehidupan dengan parahnya kekurangan air bersih.
Lantas apa yang salah dengan sistem global yang diterapkan saat ini sehingga muncul prediksi masa depan yang amat suram tersebut? Sebab prediksi adanya krisis global air bersih ancaman global masa depan itu, bukan saja disuarakan oleh kalangan terbatas seperti para ahli hidrologi, Teknik sipil, perencana kota atau peramal cuaca. Melainkan sekarang mulai disuarakan pelbagai komunitas dan wadah pemikiran (think-tank) seperti World-watch Institute, World Resources Institute, United Nations Environment Programme, International River Network, Greenpeace, Clean Water Network, Sierra Club, dan Friends of the Earth International.
Yang memperihatinkan kita, utamanya Indonesia yang termasuk negara-negara berkembang, prediksi dan kekhawatiran komunitas internasional dari pelbagai belahan dunia, berakar pada adanya Doktrin Ekonomi Global yang bernama Washington Consensus. Sebuah model perekonomian dunia yang berakar pada kepercayaan bahwa ekonomi pasar bebas merupakan satu-satunya pilihan untuk diberlakukan di seluruh dinia.
Doktrin Konsensus Washington menegaskan bahwa segala sesuatu dapat dijual, bahkan hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak, berarti termasuk Sumber Daya Air, dapat dijual dan dikelola oleh swasta, yang berarti membuka ruang bagi korporasi berskala global, untuk mengambil-alih manajemen pelayanan air publik, dengan dukungan secara penuh dari dua badan keuangan dunia: International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia.

Sumber: cnnindonesia.com
Padahal, konstitusi Indonesia Negara Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945, utamanya pasal 33, menegaskan bahwa segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak termasuk bumi yang terkandung di dalamnya, dikuasai negara. Bukan oleh perorangan dan pihak swasta, apalagi korporasi berskala global.
Namun dampak dari diberlakukannya Konsensus Washington yang kali pertama istilah tersebut diperkenalkan pada 1990 oleh John Williamson dari Institute for International Economic, sebuah wadah pemikir (think-tank) konservatif yang berbasis di Washington, pemerintah di seluruh dunia harus melakukan deregulasi besar-besaran di bidang perdagangan, investasi, serta keuangan.
Intisari dari doktrin Konsensus Washington, bahwa modal, barang, dan jasa diperbolehkan untuk mengalir bebas melewati batas-batas negara tanpa dihalangi oleh intervensi atau peraturan pemerintah. Inti dari ideologi ini adalah kepercayaan bahwa kepentingan modal merupakan prioritas yang lebih tinggi daripada hak warga negara.
Alhasil, sesuai arahan dari doktrin Washington Consensus, pemerintah dan institusi internasional seperti IMF dan Bank Dunia, harus mendukung Konsensus Washington sebagai solusinya: Privatisasi/Swastanisasi dan komodifikasi air. Pasanglah harga pada air, jual air dan biarkan pasar yang menentukan masa depannya.
Menurut Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), air adalah kebutuhan manusia, bukan hak asasi manusia. Implikasinya, menjadi landasan pembenaran bagi korporasi-korporasi global untuk menguasai komersialisasi Sumber Daya Air. Sebab dengan penegasan Bank Dunia dan PBB bahwa air adalah kebutuhan manusia alih-alih hak asasi manusia, maka air sebagai kebutuhan manusia dapat diperjual-belikan. Sehingga hanya segelintir kekuatan ekonomi raksasa yang memiliki akses untuk menguasai Sumber Daya Air.
Maka pada pertemuan dunia “World Water Forum II di The Hague pada Maret 2000, pemerintah dari pelbagai negara bukannya melawan pernyataan Doktrin Washington Consensus, sebaliknya malah menyiapkan jalan bagi Perusahaan-Perusahaan Trans-Nasional/Korporasi, untuk menjual air untuk memperoleh keuntungan.
Akibatnya, semua Sumber Daya Air di seluruh dunia mereka kuras dengan alasan terjadinya ledakan penduduk dunia. Tak heran jika kajian dari Maude Barlow dan Tony Clarke dalam buku yang saya sebut tadi, sejak 2002 ada lima tempat di dunia yang menjadi ajang pertikaian air antar-negara: Laut Aral, Sungai Gangga, Sungai Yordan, Sungai Nil, dan Sungai Tigris-Efrat. Menurut prediksi, penduduk negara-negara yang terletak di setiap aliran sungai tersebut diperkirakan akan meningkat antara 45 hingga 75 persen pada 2025 saat ini. Berarti Barlow dan Clarke sudah memprediksi hal ini sejak 23 tahun yang lalu.
Bukan itu saja. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO),untuk menyediakan pangan bagi populasi yang besar, maka produksi pertanian harus ditingkatkan hingga 50 persen. Dengan skenario seperti ini, kebutuhan air bersih tentunya juga akan ikut meledak.
Di sinilah korporasi-korporasi global berbasis industri sangat berkepentingan menguasai akses terhadap Sumber Daya Air. Sebab industri adalah pengguna terbesar terhadap persediaan air tawar dunia, 20 hingga 25 persen. Permintaannya pun meningkat secara drastis. Bahkan pada tahun 2025 saat ini, penggunaan air oleh sektor industri diperkirakan akan semakin meningkat.
Selain itu, industrialisasi besar-besaran telah mengganggu keseimbangan antara manusia dan alam di banyak benua. Terutama di daerah pedesaan Amerika Latin dan Asia di mana agribisnisnya yang berorientasi ekspor membutuhkan semakin banyak air, yang dahulu digunakan oleh para petunia kecil untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri.
Industrlialisasi besar-besaran yang menyebabkan meledaknya kebutuhan air tawar dan ledakan jumlah penduduk dunia, persediaan air tawar pun semakin terancam akibat harus menanggung beban polusi besar-besaran akibat limbah domestik maupun industri. Seperti meningkatnya penebangan hutan, penghancuran rawa-rawa, pembuangan pestisida dan pupuk ke aliran air yang dilakukan di seluruh dunia, dan pemanasan bumi, semakin memperburuk sistem air tanah yang telah begitu rapuh.
Sandra Postel dari Global Water Policy Project di Amhers, Massachusetts, mengatakan, pada saat yang sama eksploitasi berlebihan dari sungai-sungai utama bumi juga mengancam sumber air yang terbatas lainnya. Sungai Nil di Mesir, Sungai Gangga di Asia Selatan, Sungai Kuning di Cina, dan Sungai Colorado di Amerika, adalah contoh dari sungai-sungai besar yang begitu dibendung, dialihkan, atau ditampung secara berlebihan sehingga sangat sedikit atau bahkan tidak ada air dari sungai-sungai ini yang mencapai tempat tujuannya, akhirnya dalam rentang waktu yang cukup signifikan.
Oleh sebab eksploitasi berlebihan dari sungai-sungai utama bumi, pada perkembangannya akan semakin sedikit air di daerah aliran sungai dan sumber-sumber air di daratan.
Dampak kelangkaan pasokan air juga mengancam Indonesia. Di Indonsia ada tujuh sungai penting yaitu Sungai Kapuas, Sungai Mahakam, Sungai Batang Hari, Sungai Ciliwung, Sungai Brantas, Sungai Bengawan Solo, dan Sungai Citarum. Ketujuh sungai tersebut sangat vital untuk pasokan air bersih untuk pertanian maupun pelayanan ekosistem. Akan tetapi, rapuhnya infrastruktur dan polusi seperti yang tergambar dalam skala dunia tadi, akan mengancam pasokan air bersih di Indonesia.
Maka itu, pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Pertanian, saatnya mempertimbangkan pentingnya memodernisasikan sistem pengairan untuk mengamankan akses terhadap air bersih. Selain itu, sangat penting pula untuk menciptakan reformasi kebijakan dalam pengelolaan Sumber Daya Air untuk melindungi sungai-sungai utama di Indonesia dari dampak polusi dan ekstraksi yang berlebihan.

Ilustrasi–Warga membawa air dalam jeriken yang mereka dapat dari sumur buatan di tengah waduk yang mengering untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.(FOTO ANTARA/Akbar Nugroho Gumay)
Juga penting kiranya, mengkampanyekan kesadaran publik untuk memberdayakan berbagai komunitas baik melalui ilmu pengetahuan maupun teknologi yang tepat sehingga berbagai komunitas menyadari betapa pentingnya memperjuangkan Air sebagai hak asasi manusia, dan bukan sekadar kebutuhan manusia yang boleh diperjual-belikan.
Dengan menekankan betapa pentingnya aksi kolektif maupun personal, berbagai komunitas yang peduli Air sebagai hak asasi manusia, dapat memainkan peran penting dalam mengamankan Sumber Daya Air di negeri kita. Melalui investasi di bidang pembangunan infrastruktur, reformasi kebijakan dan semakin meluasnya kesadaran public, Indonesia dapat mendorong terciptanya akses yang setara bagi semua warga negara Indonesia, untuk memperoleh air bersih.
Sekali lagi, air bukan sekadar Sumber Daya, ia juga merupakan hak asasi manusia yang universal. Dengan mengutamakan pentingnya akses yang setara bagi setiap warga negara untuk memperoleh air bersih, pembangunan berkelanjutan/sustainability, dan reformasi sistem, komunitas global pada gilirannya akan mampu menjamin adanya masa depan yang lebih sehat, ketika air bersih dapat mengalir secara bebas bagi seluruh umat manusia. Khususnya, warga masyarakat Indonesia yang saat ini mederita kelangkaan pangan dan kelangkaan air akibat kekeringan yang melanda berbagai daerah di Indonesia.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)